Hanya Terlambat 6 Menit, MK Tolak Gugatan Pilkada 4 Daerah

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Kuasa hukum Pasangan Calon Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Tanjung Balai dan Provinsi Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Karo secara bersama-sama menyatakan keberatannya terhadap pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan putusannya yang tidak menerima perkara perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dengan dasar adanya keterlambatan masuknya permohonan tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

 

istimewa

“Terlambatnya permohonan dimasukkan ke Mahkamah Konstitusi yang hanya 6 menit untuk kabupaten Tapanuli Selatan, sangat tidak masuk akal. Ini pertimbangan MK untuk menolak permohonan kami," ujar kuasa hukum Pasangan Calon Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan MHD Yusuf Siregar-Robby Harahap, Ranto Sibarani, Jumat (19/2/2021).


Menurut Ranto Sibarani, MK tidak sedikitpun mempertimbangkan bukti kecurangan yang disampaikan. Selain itu, MK juga tidak mempertimbangkan adanya penyelenggara pemilihan yang dipecat karena berpihak dan membagi undangan memilih yang dilampirkan kartu nama salah satu calon.


"Adanya ratusan TPS yang pemilihnya hadir 100% dan adanya pengakuan pemilih yang menggunakan hak pilih lebih dari satu kali dengan menerima sejumlah uang,” kata Ranto Sibarani.

 


Roder Nababan selaku kuasa hukum Eka Sucipto Hadi Calon Walikota Kota Tanjung Balai, juga merasa sangat keberatan karena  tidak diterimanya permohonan dengan alasan tenggang waktu yang telah melampaui batas. Sedang putusan DKPP yang menjatuhkan peringatan keras terhadap penyelenggara karena melanggar kode etik tidak dipertimbangkan sama sekali.


Kuasa hukum Josua Ginting, S.IP – dr. Saberina Br Tarigan MARS sebagai pasangan calon Bupati Karo, Ronald Abdi Negara Sitepu SH menyampaikan, turut kecewa melihat putusan yang dibuatkan Mahkamah Konstitusi.

 
"MK tidak memberikan kesempatan kepada pemohon untuk melanjutkan dalam pemeriksaan saksi. Padahal, sudah jelas dalam bukti yang dilampirkan pemohon ada kejanggalan-kejanggalan yang terjadi antara lain adanya pemilih yang sampai 100%, tidak tersegelnya seluruh kotak suara yang berada di Kecamatan Tiga Binanga. Selain itu, ada pengakuan tertulis dari Ketua KPUD Karo bahwa kejanggalan dan kelalaian itu hal biasa terjadi dalam KPU," ungkapnya.


Dalam  hal ini, MK disebutkan tidak memberikan kesempatan kepada pemohon untuk menghadirkan saksi dan membuktikan kecurangan pemilihan kepala deerah.


Roder Nababan menambahkan, jika penolakan permohonan sengketa hanya didasarkan oleh detik-detik waktu tanpa mempertimbangkan kecurangan pemilihan, sudah melukai rasa keadilan.


"Menurut kami tidak perlu hal tersebut diputuskan oleh 9 orang majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang sangat berpendidikan dan terhormat. Jika memang harus ditolak karena waktu yang dianggap telah lewat, tidak perlu MK menyelenggarakan persidangan untuk pemeriksaan pendahuluan," kata Roder sambil menambahkan, cukup security atau staf administrasi MK yang langsung menolak permohonan tersebut," ungkap Roder Nababan.

 


Ranto Sibarani menyebutkan, pemohon atau para calon kepala daerah menjadi korban untuk kedua kalinya, dengan adanya persidangan di Mahkamah Konstitusi. Jika memang penolakan dilakukan sejak awal karena tenggat waktu yang terlambat, para pemohon tidak harus mengalami kerugian besar dengan menghadiri persidangan persidangan MK di Jakarta.


Disebutkan, MK tidak mesti melengkapi bukti - bukti yang jumlahnya ratusan yang harus di leges berangkap dengan materai yang nilainya tentu tidak sedikit. Untuk apa melengkapi bukti bukti dan memperbaiki permohonan, jika penolakan hanya berdasarkan pertimbangan keterlambatan waktu dalam mengajukan permohonan tersebut.


“Yang tidak masuk akal bagi kami, adalah terkait dengan perkara sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Samosir, yang sudah jelas di ajukan terlambat 3 hari sebagaimana yang tertuang dalam permohonan Pemohon pada point C halaman 4 dan bahkan selisih ambang batasnya lebih dari 14%, namun Mahkamah malah memeriksa perkara tersebut lebih lanjut, padahal jelas-jelas tidak memenuhi Pasal 157 dan Pasal 158 UU Pilkada No 10 Tahun 2016 jo Pasal 7 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2020," terang Ranto.


Dengan pertimbangan pertimbangan yang sangat kaku tersebut, MK terkesan sewenang-wenang dan tidak menunjukkan kontribusinya, atau tidak menunjukkan kualitasnya dalam penegakan hukum dan demokrasi di negara ini. Jika dahulu Mahkamah Konstitusi di juluki sebagai Mahkamah Kalkulator, maka hari ini Mahkamah Konstitusi  bisa saja mendapatkan julukan baru yaitu Mahkamah Kalender," sebutnya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama