Obituari dan Kenangan Pdt Dr SAE Nababan

*Anda Tahu Bahasa Jerman?*

Medio tahun 2001, kami melakukan perjalanan ke Jerman untuk menghadiri Festival Pertanian Internasional. Tidak sekadar menjadi pengunjung, kami juga mendapatkan kesempatan dan kehormatan memakaikan busana kebesaran adat Batak Toba dan menyerahlkan seperangkat Gondang Sabangunan kepada Presiden Republik Federasi, Jerman Johannes Rau. 


Istimewa

Pimpinan rombongan kami adalah Pdt Dr SAE Nababan, dengan peserta antara lain Ephorus HKBP saat itu, Pdt Dr JR Hutauruk, Ephorus Emiritus GKPS, Pdt A Munthe, Ketua DPRD Tapanuli Utara, Pak Torang Lumbantobing, kami sendiri selaku Bupati saat itu, bersama rombongan pemain musik Batak dari SMAN Siborongborong. 


Perjalanan itu disponsori oleh Menteri Pertanian , Prof Bungaran Saragih. Turut juga bersama kami, tim Kementerian Pertanian.


Apa rahasianya sehingga kami mendapat perhatian dan kesempatan sangat khusus di tengah festival internasional yang dihadiri utusan seluruh negara itu? Siapa lagi jika bukan sosok SAE Nababan.  Beliau sudah berada di sana sebelumnya, mempersiapkan segala sesuatunya. 


Tim Indonesia bisa mengambil peranan yang sangat strategis bahkan fantastis dalam acara yang dihadiri kontingen dari seluruh dunia itu karena memang Dr SAE Nababan sangat dekat dan bersahabat karib dengan Presiden Johannes Rau. 


Hal itu juga membuat misi dan agenda kerja sama yang dibawa Prof Bungaran Saragih bisa terwujud dengan lancar, dalam kaitan membangun hubungan yang semakin baik antara  Pemerintah RI dengan Republik Federasi Jerman.


Istimewa


Sebelum kami tiba, Dr SAE Nababan telah mengatur segala sesuatunya, mempersiapkan berbagai agenda, termasuk pertemuan dengan pimpinan pemerintah daerah di Jerman, dan juga berbagai organisasi gereja di sana. 


Tidak hanya itu, Dr SAE Nababan juga punya peranan sentral yang kemudian memungkinkan Presiden Jerman, Johannes Rau mendatangi Gereja HKBP Penara di Deli Serdang, dalam kunjungannya ke Indonesia bersama ibu negara Jerman, Christina Rau, 22 Februari 2001.


Selama kami bersama-sama di Jerman saat itu, benar-benar terlihat betapa ketat dan disiplinnya beliau dalam merancang dan melaksanakan semua kegiatan. Pak SAE, begitu sapaan keseharian beliau, akan menegur secara langsung kalau ada yang terlambat walaupun hanya satu atau dua menit. Beliau juga sangat mendetail memperhatikan segala sesuatu, termasuk memperhatikan jika pakaian atau penampilan kita tidak rapi. 


Melihat ketegasan dan tindakan beliau yang sangat disiplin, teratur, dan tepat waktu, kami juga dengan cepat menyesuaikan diri. Jika akan bepergian ke mana-mana, kami akan bergerak cepat masuk ke kendaraan sebelum beliau tiba. Tidak ada yang berani terlambat apalagi bergerak lamban.


Sebelum beliau bergabung di kendaraan, Pdt A Munthe akan menyegarkan suasana. Kadang dia mengajari kami percakapan dasar bahasa Jerman. Pak Munthe ini memang orang yang senang bercanda. Kadang dia menirukan gaya dan cara bicara Pak SAE yang tegas, efisien, lugas, dan tetap elegan.


Suasana jadi riuh penuh tawa. Akan tetapi, begitu Pak SAE masuk ke mobil atau bus, semua akan langsung terdiam, persis seperti kelas yang tadinya ribut langsung tertib begitu guru masuk kelas. 


Setelah berakhirnya semua agenda kunjungan dan pertemuan, sebelum kembali ke tanah air, rombongan makan siang di satu restoran di Berlin. Sebagaimana biasa, Pak SAE yang mengatur segala sesuatunya. Beliau memesan berbagai jenis makanan dan minuman kepada pelayan, tentu saja dalam bahasa Jerman yang sangat fasih. 


Pdt Dr JR Hutauruk, tidak akan pernah memberi komentar dan tetap diam dengan tenang, dengan senyum senantiasa menghiasi wajah beliau. Malah sesekali Pdt Munthe yang kadang memberi pendapat kepada Pak SAE. 


Penasaran, saya bertanya. “Mengapa Amang berani bicara bahkan canda kepada Pak SAE?” Sembari tertawa kecil, beliau katakan, dia berani karena istrinya Boru Tobing, sama dengan Nyonya SAE Nababan. Dengan demikian mereka marpariban.


Saat makanan sudah terhidang, tiba-tiba Pak SAE memanggil pelayanan dan berbicara dalam bahasa Jerman. Meskipun saya sama sekali tidak mengerti, tapi bisa saya rasakan beliau bicara dengan nada tegas. Pelayannya terlihat mengangguk beberapa kali, kemudian mengambil satu jenis makanan dari meja kami, dan kemudian mengantarkan gantinya.


Saat itu, Pdt Munthe yang duduk persis di samping saya berbisik, “Apakah Pak Bupati tahu apa yang dikatakan Pak SAE kepada pelayan itu? Pak SAE mengatakan, ‘Apakah Anda tahu bahasa Jerman?’”, padahal pelayan nya Orang Jerman. Ternyata makanan yang disajikan tidak sesuai dengan pesanan Pak SAE sebelumnya. 


Pak SAE memang pribadi yang sangat luar biasa. Tegas, berwibawa, berpengetahuan luas, punya kepemimpinan yang kuat.


Perjalanan ke Jerman itu hanyalah satu dari banyak kenangan saya dengan beliau dalam hidupnya. Kami juga bekerja sama sangat dekat dalam acara Perayaan 50 tahun Gereja-gereja Asia (CCA) Tahun 2007 di Sumatera Utara, di mana saya dipercaya sebagai ketua Umum Panitia dan beliau saat itu sebagai Presiden Dewan Gereja gereja Dunia (WCC). 


Beliau juga mendorong saya untuk melakukan pelatihan transparansi kepada para Kepala Desa di Tapanuli Utara Tahun 2000, yang saat itu masih " tabu" untuk aparat bersikap transparan dalam pelaksanaan tugasnya.


Pdt Dr SAE Nababan telah mengakhiri pertandingan yang baik, telah mencapai garis akhir dan telah memelihara imannya sepanjang hidupnya.


Selamat jalan, Pak Pdt Dr SAE Nababan.

*Dr RE Nainggolan, MM*
Bupati Tapanuli Utara 1999- 2004
Sekda Provinsi Sumatera Utara 2008-2010

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama