Link Banner

Aktivis 98 Sebut Klaim Pemerintah Pertumbuhan Ekonomi 7,07 Persen Sesatkan Publik

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Pertumbuhan ekonomi yang disebut-sebut meroket di kuartal II 2021 hingga 7,07 persen secara year on year (yoy), disebut Aktivis 98 menyesatkan publik. 


Sahat Simatupang (paling kanan)

Pasalnya jika dilihat kasat mata, pertumbuhan ekonomi seperti yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut tidak paralel dengan penurunan angka kemiskinan dan jumlah pengangguran.


Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 Sahat Simatupang mengatakan, pertumbuhan ekonomi tidak boleh dilihat hanya pada pertumbuhan pendapatan produk domestik bruto atau PDB saja.


Masih ada komponen lain yakni, Inflasi nasional dan regional, tingkat penggangguran nasional dan regional, tingkat daya beli, gini ratio indeks, capaian eksport dan import, cadangan devisa, hutang negara dan swasta, neraca negara dan cadangan emas negara.


"Jadi kesimpulan kami, apa yang disampaikan BPS soal angka 7,07 persen hanya bersifat temporer bukan karena fundamen ekonomi Indonesia telah membaik setelah dihantam dampak pandemi Covid -19 yang berkepanjangan," ujar Sahat, Jumat (6/8/2021).


Menurut Sahat, klaim pertumbuhan ekonomi 7,07 persen itu berbahaya apalagi jika Presiden Joko Widodo menggunakan data itu saat pidato kenegaraan setiap tanggal 16 Agustus atau sehari menjelang HUT Kemerdekaan RI.


Sebab, sambung Sahat, angka itu bukan perhitungan sebenarnya laju ekonomi kuartal II 2021 yang terhitung dari April hingga Juni, sebenarnya hanya berada di angka 1,75 persen jika pemerintah jujur mengakui pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 yang berada di angka minus 5,32 persen.


"Maknanya adalah jika diakumulasi, maka pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 adalah minus 5,32 persen ditambah 7,07 persen. Hasilnya 1,75 persen,” ujar Sahat.


Sahat mengatakan, sebagai aktivis dia dan kawan - kawannya sesama aktivis 98 lebih melihat fakta-fakta di lapangan di kuartal II 2021 jumlah pengangguran dan kemiskinan bertambah tinggi dan daya beli melemah.


"Kalau pertumbuhan ekonomi naik karena fundamen ekonomi mulai kokoh, maka investor mulai confident masuk. Namun faktanya kan tidak seperti itu," ungkap Sahat.


Sahat menambahkan, tenaga kerja lulusan sekolah dan universitas tahun 2019 hingga 2021 tidak terserap karena investasi tidak masuk ditambah pengangguran terbuka akibat Covid - 19 maka klaim pertumbuhan ekonomi 7,07 persen itu tidak dalam akal sehat. 


"Coba lihat saja di daerah - daerah dimana APBD harus dikoreksi atau di refocusing untuk bantuan - bantuan sosial dan kesehatan yang seharusnya untuk belanja pembangunan," pungkas Sahat.




Post a Comment

Lebih baru Lebih lama