Penangkapan Mahasiswa UNS, Aktivis 98 Minta Wapres Ma'ruf Amin Bersikap

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Penangkapan 10 mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo saat membentangkan poster di beberapa akses masuk menuju Kampus UNS ketika Presiden Jokowi menghadiri acara Forum Rektor Perguruan Tinggi se - Indonesia, Senin (13/9/2021) di Kampus UNS, Solo, Jawa Tengah, menuai kritikan dari berbagai kalangan pegiat demokrasi dan aktivis.


Sahat Simatupang (kiri paling depan)

Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 Sahat Simatupang menilai, pemerintahan Joko Widodo - KH. Ma' ruf Amin seolah - olah menunjukkan sikap dekat rakyat padahal berjarak ketika dikritik.


"Kalau ada kritik kemudian dibungkam dengan cara ditangkap apakah itu tidak berjarak dengan rakyat namanya," kata Sahat Simatupang, Selasa (14/9/2021). 


Sahat mengatakan, penangkapan yang dialami mahasiswa UNS dan seorang warga pengunjuk rasa saat kunjungan kerja Presiden Jokowi di Blitar, Jawa Timur, beberapa waktu lalu, hanya karena mengungkapkan sikap dan isi hati melalui poster, disebut Sahat sebagai ketakutan yang berlebihan.


"Kenapa takut amat membaca isi poster yang dibentangkan mahasiswa. Itu adalah ungkapan rasa yang berhasil diakumulasi mahasiswa dari sekian banyak kegelisahan saat ini," ujar Sahat.


Sikap polisi yang menangkap pengunjuk rasa mahasiswa UNS, sambung Sahat, seharusnya tidak perlu terjadi andai Presiden Jokowi tidak anti kritik.


"Dulu para pengkritik Presiden SBY malah membawa kerbau dan menulis Si Bu Ya dan menempel foto SBY di badan kerbau. Itu tidak ditanggapi SBY sebagai penghinaan simbol negara. Lha, baru membentangkan poster berisi ungkapan keprihatinan kepada KPK dan penuntasan pelanggaran HAM saja, sudah ditangkap. Lantas dimanakah tempat pernyataan Jokowi yang mengatakan rindu di demo itu ?" ujar Sahat.


Penangkapan tersebut, sambung Sahat, mencerminkan langgengnya upaya memberangus kebebasan berekspresi atau freedom of expression di negara yang demokrasinya mulai tumbuh pasca Orde Baru tumbang.


"Kami minta Wapres Ma'ruf Amin berbicara dan bersikap. Jangan diam saja. Sebagai Wapres berlatar belakang ulama yang menghormati hak berpendapat dan berekspresi, seharusnya membuka ruang dialog jika Presiden tidak melakukannya," ujar Sahat.


Sahat menilai, Presiden Jokowi terlalu menyederhanakan ruang dialog dengan cara mengundang tokoh masyarakat dan ulama ke istana jika terdesak keadaan, tapi membungkam aspirasi mahasiswa.


"Ini persis seperti cara yang dilakukan Presiden Soeharto dengan mengundang tokoh masyarakat dan ulama agar terkesan mendengar aspirasi rakyat bawah tapi disisi lain membungkam suara mahasiswa," tutur Sahat.


Sejatinya, sambung Sahat, tidak ada satu kalimat pun dalam poster mahasiswa UNS  yang mengarah pada pereduksian kehormatan seorang Presiden sebagai simbol kepala negara. Bahkan, sambung Sahat, pemerintah seharusnya menjadikan kritik para mahasiswa  sebagai lonceng pengingat betapa masih banyaknya pekerjaan rumah bagi negara untuk segera dituntaskan, terlebih pelanggaran HAM masa lalu seperti penembakan mahasiswa Trisakti dan lain - lainnya.


Diketahui, aparat kepolisian menangkap 10 mahasiswa yang membentangkan poster di beberapa akses masuk menuju Kampus UNS ketika Presiden Jokowi menghadiri Forum Rektor Perguruan Tinggi se-Indonesia. Poster yang mereka bentangkan itu di antaranya bertuliskan "Pak Jokowi tolong tuntaskan pelanggaran HAM".



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama