Aktivis 98 Desak Pemerintah Hentikan Investasi Kontroversial Kabel Listrik Bawah Laut AA PowerLink

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98, Sahat Simatupang mengatakan, investasi pembangunan kabel bawah laut Australia - Asia PowerLink (AA PowerLink) dari Australia ke Singapura melalui kabel bawah laut Indonesia senilai US$ 2,58 milyar atau setara Rp 36, 7 triliun hanya menguntungkan Singapura dan Australia namun merugikan Indonesia. 


Sahat Simatupang (dok)

Hal itu dikatakan Sahat menanggapi pernyataan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.


Luhut Panjaitan mengatakan, Indonesia mendapatkan investasi sebesar US$ 2,58 miliar atau setara Rp 36,7 triliun (kurs Rp 14.242) dari perusahaan tenaga listrik Australia, Sun Cable.


Investasi itu diberikan karena Sun Cable akan menarik kabel listrik dari Australia ke Singapura melalui laut Indonesia. Melalui kabel proyek Australia-Asia PowerLink (AA PowerLink) akan mengirim listrik dari Australia ke Singapura.


Namun Sahat mendesak Presiden Joko Widodo mengkaji ulang proyek kabel bawah laut tersebut. Menurutnya, bila tidak melewati Indonesia, maka kabel laut tersebut harus memutar dari Lautan India ke Selat Malaka lalu ke Singapura atau lewat Lautan Pasifik,Lautan Filipina, Laut Natuna lalu ke Singapura. 


"Dengan melewati bawah laut Indonesia maka biaya investasi di kabel bawah laut akan berkurang sekitar 50 persen, serta Singapura akan mendapat listrik dengan harga murah. Bila tanpa melewati Indonesia, investasi Singapura akan bengkak 100 persen, dan harga listrik di Singapura akan naik 100 persen. Indonesia yang berjasa membuat investasi ini hanya menguntungkan Singapura mendapat listrik dengan harga murah," kata Sahat, Senin (04/10/2021).


Kabel sepanjang 4.200 kilometer tersebut, sambung Sahat, menghubungkan Australia sebagai penjual listrik tenaga surya 17-20 ribu MW dengan Singapura sebagai pembeli, dan Australia menyiapkan lahan 20 ribu hektare untuk menghasilkan 20 ribu MW listrik tenaga surya.


"Kebutuhan lahan untuk 1 MW adalah 1 hektare. Australia membutuhkan Indonesia untuk meletakan kabel jaringan listrik tegangan tinggi dari bawah laut Indonesia dengan segala resiko tinggi," ujar Sahat. 


Bila benar AA PowerLink adalah investor dan menanam modalnya di Indonesia, maka, sambung Sahat, investor tersebut harus mendapat ijin serta mendapat nomor pokok wajib pajak (NPWP) sebagai pembayar pajak.


"Selain itu negara juga mendapat manfaat selama konstruksi dan selama operasional, serta mendapat pembayaran pajak keuntungan perusahaan dan pajak lainnya," tutur Sahat.


Manfaat yang harus didapat negara, sambung Sahat, seperti kesempatan bekerja, lokal konten untuk material pembangunan dan produk industri dalam negeri adalah hal lumrah. Sebagai contoh, ujar Sahat, jaringan kabel listrik Australia - Singapura tersebut harus menggunakan kabel listrik buatan Indonesia.


"Jadi kalau Luhut menyebut itu investasi, tentu banyak pihak yang harusnya diuntungkan. Perusahaan Listrik Negara atau PLN sebagai pelaksana distribusi listrik dengan kabel jaringan tegangan tinggi juga bisa meraup untung bila dilibatkan dalam proyek ini," ujar Sahat.


Sahat menguraikan, dengan asumsi harga jual listrik saat ini US$ 0,10 per kwh dan biaya distribusi PLN US$ 0,01 per kwh serta biaya produksi listrik PLN (produksi sendiri maupun dibeli dari produsen lain) US$ 0.08 per kwh, maka ada margin PLN US$ 0,01 per kwh.


"Andaikan PLN ditunjuk mendistribusikan listrik Australia ke Singapura 20 ribu MW atau 20 juta KW,  berarti pendapatan jasa distribusi per jam yakni 20 juta x US$ 0.01 = US$ 200 ribu per jam. Maka pendapatan per hari = US$ 200.000 x 24 = US$ 4.800.000 per hari dan pendapatan per tahun = US$ 4,8 juta x 365 hari = US$ 1,75 milyar. Bila dipotong untuk pembiayaan cicilan investasi jaringan kabel 50  persen maka akan dapat US$ 875 juta per tahun," tutur Sahat.


Seharusnya, ujar Sahat, LBP tidak terburu - buru menyebut Indonesia diuntungkan dari proyek Australia - Singapura jika pemerintah menaikkan posisi tawar dan kedaulatan laut Indonesia dengan tujuan melibatkan PLN. 


"Terlalu murah harga laut Indonesia dilewati kabel listrik asing, dan pada saat yang sama PLN kita hanya sebagai penonton. Saya ingin ingatkan PLN sebagai BUMN kelistrikan bahwa pada saat ini semua jaringan listrik tegangan tinggi Indonesia adalah tugas PLN," ujar Sahat.


Seharusnya, sambung Sahat, jaringan kabel bawah laut tegangan tinggi Australia - Singapura tersebut adalah hak PLN untuk membuat dan mengoperasikannya ataupun investasi tersebut harus Build Operate Transfer (BOT) dengan PLN serta harus membayar tol fee kepada Indonesia dan pemerintah daerah yang dilewati proyek kabel bawah laut tersebut. "Tugas PLN jangan direduksi oleh Menko LBP. Indonesia ini negara, bukan perusahaan pribadi," kata Sahat.


Selain tidak melihatkan PLN, Sahat juga mengkritik Luhut Panjaitan yang tidak melibatkan pemerintah daerah membahas penarikan kabel listrik bawah laut. Sesuai aturan Kelistrikan pada Undang - Undang Cipta Kerja Nomor 11/2020 khususnya Pasal 37, ujar Sahat, seharusnya pemerintah pusat mengajak pemerintah daerah membicarakan proyek kabel bawah laut yang akan melewati puluhan batas laut provinsi dan kabupaten sepanjang laut Australia - Singapura


"Sangat jelas tertulis di UU Ciptakerja Pasal 44 ayat 1 setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan. Adapun pasal 2 ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan untuk mewujudkan andal dan aman bagi instalasi; aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya; dan ramah lingkungan," ujar Sahat. 


Kategori : News

Editor     : AHS



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama