Mari Bersama 'Menyulap' Sampah Menjadi Berkah

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Sampah konsumsi di masa pandemi Covid-19 terbilang meningkat, misalnya akibat naiknya minat belanja online. 


Ist

Survei LIPI menyebut aktivitas belanja online masyarakat meningkat hingga 62% selama pandemi, di mana hingga 96% dari total jumlah paket menggunakan selotip, pembungkus plastik, dan bubble wrap. 


Hal ini juga meningkatkan masalah sampah, yang biasanya berujung di tempat pembuangan akhir (TPA).


Octopus hadir berikan solusi, yaitu dengan menyediakan aplikasi untuk membantu mengatasi masalah sampah, yang memungkinkan pengguna atau konsumen mengirimkan kemasan bekas pakai untuk didaur ulang menjadi produk yang bernilai jual. Bukan hanya membantu mengatasi masalah sampah, namun juga menawarkan peluang kerja bagi dengan bergabung menjadi Pelestari.


"Kami bukan saja menyediakan lapangan kerja bagi mereka yang terkena PHK, namun juga bagi Pelestari (kolektor sampah) untuk memperbaiki hidupnya dengan sistem kerja yang lebih baik," kata Co-Founder Octopus, Hamish Daud dalam keterangannya, Jumat (19/11/2021).


Melihat peluang ini, Siti Solihat (30), ibu dua anak asal Bandung, Jawa Barat, memutuskan bergabung menjadi Pelestari 6 bulan silam dengan niat membantu memperbaiki ekonomi keluarga. 


Suaminya yang bekerja sebagai honorer di sebuah institusi terpaksa harus menelan pil pahit terkena dampak pandemi berupa hilangnya penghasilan bulanan. Dalam situasi sulit, Siti membantu memperbaiki kondisi perekonomian keluarga yang tengah guncang.


“Tidak sengaja saya melihat postingan Bapak Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat) tentang Octopus pada April 2021 dan akhirnya saya coba mengikuti menjadi Pelestari. Alhamdulillah Octopus memang sarana untuk mendaur ulang botol botol yang bisa didaur ulang, makanya saya tertarik bergabung,” tutur Siti yang sejak kecil terbiasa melihat perjuangan sang ayah, pengambil sampah dari rumah ke rumah dan harus memilah antara barang yang bisa didaur ulang dan yang tidak.


Sebelum bergabung menjadi Pelestari, Siti bekerja dengan membersihkan rumah kost dengan upah Rp400.000 per bulan. 


“Saya mulai kumpulkan sampah botol botol bekas dari rumah ke rumah maupun dari kostan tempat saya bekerja untuk dijual kembali. Saat awal bergabung menjadi Pelestari, penghasilan bulanan saya Rp 4 jutaan,” ujarnya.


Alasan Siti mau menjadi Pelestari, selain penghasilan yang sangat lumayan menurut ukurannya, jam kerjanya juga fleksibel. 


“Kita hanya menunggu di rumah. Ketika orderan masuk (melalui aplikasi), kita tinggal mengambil orderan dari rumah ke rumah. Jadi tidak perlu lagi mencari dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain. Saya juga bisa mengurus kedua anak saya sambil menjalankan pekerjaan ini,” terangnya yang berkontribusi pada lingkungan.


“Saya senang menjadi Pelestari, bukan hanya karena memberikan pendapatan. Pekerjaan ini juga bermanfaat bagi lingkungan, sampah tidak lagi mencemari sungai atau tanah karena bisa didaur ulang menjadi produk yang berguna. Warga juga terbantu dengan hal ini,” tutur Siti yang mengenyam pendidikan hingga SMP.


Sedangkan Egi Dwijaya (21), asal Kiaracondong, Bandung, Jabar sebelumnya sudah menjadi pemulung sejak tahun 2014. Dia mengenal Octopus dari postingan Ridwan Kamil di akun Instagram. 


“Awal mula mengenal Octopus dari story Instagram Pak Gubernur Ridwan Kamil. Dari situ saya tertarik karena selain menambah penghasilan, juga ikut berkontribusi untuk lingkungan,” ujar Egi yang memutuskan bergabung menjadi Pelestari Octopus April 2021.


Egi menuturkan menjadi Pelestari memiliki kelebihan, di antaranya jam kerja fleksibel, dia juga punya tujuan yang jelas untuk mendapatkan sampah daur ulang dari user. 


“Yang bikin senang, barang yang tidak laku di pengepul, justru di Octopus diterima, seperti kemasan sachet dan popok bekas,” tuturnya.


Selain itu, setelah menjadi Pelestari, Egi tidak perlu lagi keliling mengais tempat sampah seperti ketika ia menjadi pemulung. 


“Ketika jadi pemulung, saya harus keliling cari di tempat sampah. Diterima oleh pengepul pun harganya jauh lebih murah karena barangnya kotor. Sekarang, sampah bisa dijemput dari rumah ke rumah dan umumnya sudah dipilah, juga relatif bersih,” tutur pria yang bisa mengumpulkan hingga 10 kg per hari untuk didaur ulang.


Bagi Egi, sampah menjadi sarana untuk hidup dan sumber penghasilan. “Sampah menurut kebanyakan orang memang dianggap limbah, tapi menurut saya sampah adalah emas, saya bisa hidup dari hasil penjualan sampah dan tidak malu melakukan pekerjaan ini. Saya ingin berkontribusi untuk kebersihan lingkungan khususnya di Kota Bandung,” tandas Egi yang berniat mengajak teman sesama pemulung bergabung menjadi Pelestari Octopus.


Kategori : News

Editor     : AHS


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama