JAKARTA, suarapembaharuan.com - Pemerintah kembali mengubah syarat perjalanan udara atau syarat naik pesawat di Jawa dan Bali. Terbang tak perlu lagi tes Polymerase Chain Reaction (PCR) melainkan cukup tes antigen.
Sahat Simatupang (SP) |
Pengumuman ini disampaikan dalam jumpa pers terbaru terkait PPKM yang disampakan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Senin 1 November 2021.
Muhadjir mengatakan, perjalanan udara di wilayah Jawa dan Bali tidak lagi mengharuskan tes PCR tetapi cukup tes antigen. Sama dengan yang sudah diberlakukan wilayah luar Jawa non Bali.
Sebelumnya pemerintah merevisi aturan dengan memperpanjang masa berlaku tes PCR menjadi 3x24 jam untuk syarat perjalanan darat udara dan memperluas ke moda transportasi laut dan darat.
Selain masa berlaku tes PCR yang diperpanjang, tarifnya juga mengalami penurunan. Kementerian Kesehatan telah menetapkan tarif PCR untuk Jawa dan Bali sebesar Rp 275 ribu, sementara untuk luar Jawa dan Bali sebesar Rp 300 ribu dan berlaku mulai 24 Oktober 2021. Namun hari ini, Menko PMK mengumumkan perubahan aturan wajib tes PCR itu.
Sejumlah pihak sempat memprotes aturan PCR tersebut. Tak tanggung - tanggung, bisnis pengadaan alat PCR dituding jadi penyebab aturan tes PCR diberlakukan lagi meski angka penularan Covid - 19 sudah melandai dan vaksinasi massal terus ditingkatkan. Salah satu yang memprotes pemberlakuan tes PCR adalah aktivis 98.
Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 Sahat Simatupang menuding aturan pemberlakuan tes PCR sebagai bisnis kelompok oligari. Sejumlah nama konglomerat dan pejabat dituding dibekalang bisnis PCR.
Sebelumnya kepada Suara Pembaharuan, Minggu (24/10/2021), Sahat mengungkap sejumlah perusahaan dan yayasan berada dibalik impor tes PCR.
"Pebisnis dan oligarki hanya memikirkan untung. Negara seperti tak berdaya membuat regulasi," kata Sahat Simatupang, pekan lalu.
Menanggapi tes PCR sebagai syarat penerbangan dihapus, Sahat meminta aturan itu bukan sekedar diatas kertas. Aturan tersebut, ujarnya harus jelas, tegas.
"Dan harus dipatuhi semua penyelenggara perjalanan udara," kata Sahat, Senin 1 November 2021. Dia mencurigai aturan tersebut dikeluarkan sekedar meredam protes pemberlakuan tes PCR sebagai syarat terbang.
Sahat menuding, importir tes PCR berasal dari kelompok yang itu - itu juga, dari perusahaan tekstil, perusahaan kosmetik hingga yayasan." Kenapa test PCR mahal dan wajib bagi penumpang pesawat? Karena alokasi keuntungannya kami duga mengalir untuk pelaksana test, airline, bandara serta lembaga pemberi ijin pelaksanaan tes," ujar Sahat.
Mestinya, sambung Sahat, pemerintah menerapkan pilihan - pilihan untuk test Covid - 19 sebagai syarat terbang.
"Nah, termasuk wajib tes PCR dihapus dan diganti tes antigen. Tapi tes antigen itu juga terlalu mahal dan di monopoli kelompok importir oligarki itu juga. Pelan tapi pasti, rakyat tahu tingkah laku kelompok ini. Kami menjaga nama baik Presiden Jokowi," ujarnya.
Sahat menambahkan, perusahan pengimpor alat tes PCR dari Korsel sebenarnya beragam merek dan harganya tidak semahal yang dipakai di Indonesia. Hanya saja, ujar Sahat, jaringan bisnis kelompok oligarki memilih alat tes PCR yang banyak untungnya.
"Ya jadinya test PCR sangat mahal. Kalau pun terpaksa impor, saya kasih contoh produk solgent molecular diagnostic kits buatan Korsel yang bersertifikat Food and Drug Agency certificate USA dan Community Europa certificate harganya jauh lebih murah yakni harga US$ 2/kit dan dipakai di banyak negara," ujar Sahat.
Tapi karena pebisnis kelompok oligarki itu lebih memilih alat test PCR buatan Korsel yang bikin untung besar, dampaknya, sambung Sahat, penumpang pesawat harus membayar mahal tes PCR.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar