Mengenang sang Lima Budiman

Hal istimewa sepanjang 2021 ini adalah hidup berjalan biasa saja. Seperti tahun-tahun sebelumnya dengan tempo dan dinamika yang masih boleh dikatakan sama. Perbedaan cuma pada rasa dan warna. 


Ist

Oleh karena istimewa, maka tahun ini adalah waktu-waktu yang kusyukuri. Meski di balik rasa syukur itu ada duka.


Lima orang yang dengan mereka, aku pernah berinteraksi berpulang tahun ini. Aku dan mereka tak bisa dibilang akrab. Namun, pertemanan dan pertemuan dengan mereka meninggalkan kesan mendalam.


Ali Yusran. Dia seorang aktivis dan sastrawan. Meninggal di usia 81 tahun pada 30 Maret. Aku mengenalnya tahun 2004 di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Jalan Perintis Kemerdekaan Medan. 


Saat itu hingga 2006 aku masih sering main-main ke sana. Hampir setiap hari. Pertemuan dan perbincangan dengannya lebih sering di kantin.


Setiap perbincangan dengan sosok bergelar Datuk Majo Indo ini adalah diskusi dan nyaris tak pernah bergosip. Setidaknya dalam pertemuan-pertemuan kami. 


Dia selalu memperlakukan tiap orang sebagai rekan setara. Tak pernah dia menempatkan diri sebagai pinisepuh atau senior atau guru. Pikirannya terbuka. Tak pernah menganggap dirinya sumber kebenaran hakiki. 


Pernyataannya boleh dibantah. Asalkan dengan logika. Dia memang sangat rasional. Jauh dari klenik dan mitos meski menghormati bentuk keyakinan apapun termasuk keyakinan atas klenik dan mitos yang dianut orang lain.


Ali Yusran juga seorang penikmat humor. Dia tak pernah tersinggung dicandain bahkan oleh orang yang berumur jauh di bawahnya. Ledekan-ledekan ditanggapinya santai. 


Sesantai dia menjalani hidup. Apa adanya. Duaman Hamonangan Pospos. Teman SD yang terakhir bertemu di sekolah saat pengambilan NEM dan STTB. Bertemu lagi tahun 2002 setelah 9 tahun. 


Waktu itu perkumpulan pemuda gerejanya menggelar kompetisi lagu rohani dan seorang temanku di gereja ikut serta. Bersama rekan-rekan pemuda gereja kami, aku ikut nonton babak penyisihan hingga final.


Di antara hari penyelenggaraan kami sekali jumpa di rumahnya. Ngobrol dan bertemu ibunya. Itu bukan kali pertama. Saat sekolah aku beberapa kali main ke rumahnya. Pemandangan masih sama. Duaman masih seorang anak penurut orangtua. 


Beda denganku dan kebanyakan anak-anak lain yang kerap membantah ayahanda dan ibunda, Duaman tak pernah. Temanku ini sepertinya menyadari posisinya sebagai sulung dan contoh bagi 2 adiknya, Julius dan Daniel.


Setelah event itu kami tak pernah bertemu sampai terhubung di facebook dan grup WA alumni. Kesempatan bertemu sebenarnya bisa terjadi lewat kegiatan alumni saat dia masih bekerja di Medan, tapi tak sekalipun kuhadiri. 


Terakhir, Duaman ditempatkan di Palangkaraya sebagai area office head. Di sana pula dia berpulang pada 8 Mei. Tiga puluh enam hari setelah dia merayakan ulangtahun ke-40. Karena covid 19.


Triwahjuono Harijadi. Kegiatan Tour d Tao yang diadakan Earth Society, sebuah komunitas pencinta Danau Toba, tahun 2008 jadi perjumpaan pertama dengan seniman yang akrab disapa Mas Yono ini. 


Orang-orang mengenalnya sebagai pribadi ramah dan murah senyum. Begitulah dia. Bersama kelompoknya, Komunitas JeDe (JD = Jawa Deli), dia merawat kesenian Ketoprak Dor dan  kesenian Jawa lain seperti wayang.


Mas Yono sama seperti Datuk Ali Yusran. Egaliter. Tak pernah menganggap sosoknya sebagai orang penting yang tanpanya dunia akan berantakan. 


Saat bertemu, dia menyalam erat sambil menyapa hangat dengan memandang langsung mata kawan bicara. Penampilannya sederhana. Tak sekalipun menonjolkan diri sebagai pemimpin kelompok.


Seseorang bagi Mas Yono bukan sekadar teman berbincang atau rekan kerja. Dia selalu ingin mengenal pribadi dan kehidupan orang-orang yang dikenalnya. 


Bukan karena kepo. Bukan karena motivasi kepentingan. Namun, sebagai bentuk perhatiannya sebagai seorang manusia yang utuh. Keutuhan yang dibawa pulang Sang Pemilik Hidup pada 25 Oktober.


Parlin Manihuruk. Aktivis ini adalah penggerak demo buruh pada 14 April 1994, pendiri Aliansi Gerakan Rakyat Sumut (Agresu), pendiri CV Crispy Pora-Pora, serta pendiri dan pengurus Young Men’s Christian Association (YMCA) Medan periode 2018-2021. 


Di YMCA pula aku mengenalnya saat bergabung tahun 2005. Satu kali YMCA Medan mengadakan pelatihan di Retreat Center GBKP Gelora Kasih Sibolangit, Deli Serdang. Bang Parlin menjadi salah satu pemateri. 


Dia menyampaikan materi Gerakan Spiritual Yesus. Kami dikumpulkan di halaman depan gedung pertemuan dengan formasi duduk melingkar. Di bawah naung pepohonan dia memaparkan teori kesadaran Paulo Freire.


Kesadaran manusia, sebutnya mengutip Freire, terdiri dari 3 tingkatan. Kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Anggota YMCA Medan harus berada di fase akhir dan pergerakan YMCA dengan kesadaran kritis itu mesti sesuai spiritualitas Yesus. 


Sinergi kesadaran dan spiritualitas ini menempatkan masyarakat, warga, rakyat sebagai motivasi.


Bang Parlin menyampaikan materinya dengan tenang. Dia memang pribadi yang sangat tenang. Emosinya hampir tak terlihat. Bagiku dia adalah perpaduan Rahib dan Yogi. 


Ketenangan itu yang juga terlihat dalam 2 tahun masa pengobatannya. Kondisi sakit tak pernah dia keluhkan. Dia bahkan membagikan optimisme dan semangat hidup melalui media sosialnya.


Satu hal yang mestinya diikuti para aktivis dari beliau adalah pilihannya masuk ke dalam sistem melalui DPRD dan DPR RI. Meski hingga kepergiaannya pada 18 Desember dia tak juga lolos ke rumah rakyat, tapi tekadnya adalah sebuah teladan. 


Aktivis mestinya menguasai partai politik, menguasai parlemen dan pemerintahan, memperbaiki negara ini secara langsung lewat sistem. Tak lagi sekadar bergerak dalam organ-organ.


Leo Siahaan. Satu kali sepeda motorku rusak. Berbulan-bulan. Ke mana-mana mesti menumpang angkot. Termasuk saat mengantar pulang sang kekasih. Tiba di rumahnya tentu aku tak langsung pulang. 


Kami masih ngobrol hingga malam. Paling lama jam 10. Pernah pula sampai jam 11. Kepulangan inilah yang kemudian jadi masalah. Apa masih ada angkot ke rumahku?


Untungnya, masalah ini disudahi kebiasaan seorang sopir angkot yang narik sampai tengah malam. Terselamatkanlah aku. Begitu pula saat pertandangan berikutnya. 


Aku bertemu lagi dengan angkot dan sopir yang sama. Aku dan sopir yang belakangan kutahu bernama Leo Siahaan akhirnya saling menandai. Kami pun mulai membuka percakapan.


Di luar relasi bisnis antara sopir dan penumpang, kadang-kadang kami bertemu di kedai saat sama-sama membeli rokok. Sekali dua kali berpapasan saat dia narik. Rumah kami berjarak tak begitu jauh.


Menurut cerita yang kudengar, Bang Leo meninggal karena tifus. Dia mengalami demam, tapi hanya mengkonsumsi obat kedai. Berhari-hari tak sembuh. Nyawanya pun tak tertolong. Masih dari cerita yang kudengar, salah satu penyebab sakitnya adalah kebiasaannya narik sampai tengah malam.


Jika cerita itu benar, apapun, Bang Leo sudah mengambil jalan yang membuatnya menjadi pahlawan bagiku dan bagi orang-orang yang karena pekerjaan atau satu-dua urusan terpaksa pulang malam. Lewat pekerjaannya dia menolong banyak orang.


Hormatku kepadamu, Bang Leo, Bang Parlin, Mas Yono, Duaman, Datuk. Kalian adalah buku. Membaca kalian adalah membaca petunjuk menuju jalan refleksi diri. Menziarahi kenangan yang kalian tinggalkan adalah wisata yang mengenyangkan batin. 


Bersenang-senanglah di alam kalian. Semoga keluarga yang kalian tinggalkan senantiasa diberi berkat dan kesejahteraan. Semoga menyenangkan juga tahun-tahun hidup kami di 2022, 2023, 2024.


Dikutip dari Blog Sihar Emry



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama