Dari Siantar ke Medan: “Kisah Sabam Sirait Menempah Jiwa Nasionalisme dan Belajar Politik di Masa Remaja”

Oleh : Dr. Suprayitno.M.Hum 


Sabam Gunung Panangian Sirait adalah seorang putra Batak kelahiran Pulau Simardan, Tanjung Balai, Sumatera Utara 13 Oktober 1936. Tokoh yang akrab dipanggil Pak Sim (Sabam Sirait) adalah seorang politikus senior yang telah malang melintang dalam percaturan politik nasional. Tidak banyak tokoh politik seperti Sabam Sirait di negeri ini yang terus aktif berkiprah di dunia politik sejak masa Orde Lama sampai dengan masa reformasi dala, tujuh masa pemerintahan presiden yang berbeda. 


Dr. Suprayitno.M.Hum  (ist)

Kiprah politik beliau dimulai dari Sekjend Parkindo sampai dengan Sekjen PDI dan memberikan banyak sumbangsih pemikiran terhadap partai yang kini telah berganti menjadi PDIP (Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia). Selain itu Sabam Sirait juga lama duduk sebagai wakil rakyat di gedung DPR sejak periode 1960-an mewakili Parkindo dan mewakili PDI periode 1970-1980an dan PDIP periode tahun 1990an-2000an.  


Dalam perjalan hidup orang-orang hebat, kisah atau perjalanan hidup dimasa kecil adalah bagian penting yang membentuk atau meberikan karakter terhadap orang tersebut. Sabam Sirait yang menghabiskan banyak masa kecilnya di Siantar dan Medan. Di kedua kota besar di Pulau Sumatera ini Sabam Sirait  mengalami banyak peristiwa; yaitu perang mempertahankan kemerdekaan dan masa krisis  proses integrasi bangsa di tahun 1950-an.   


Beragam peristiwa itu meninggalkan memori yang membekas di benak Sabam Sirait dan  akhirnya membentuk kepribadiannya dalam berpolitik dan membangun demokrasi di Indonesia. Sabam kecil jelas menyaksikan bagaimana bangsa Indonesia berusaha keluar dari belenggu penjajahan Belanda dan membangun demokrasi di masa kemerdekaan. Melihat pengorbanan para pejuang kemerdekaan menumbuhkan kecintaan dan rasa nasionalismenya terhadap negeri ini. 


Masa-masa kehidupanya di Medan juga menempah Sabam Sirait menjadi seorang  yang cerdas dan optimis memandang masa depan. Datang dari kota Satelit seperti Siantar dan menimbah ilmu di kota besar Medan pada tahun 1950-an jelas memberikan pengalaman yang luar biasa terutama tentang politik. Dari Medan Sabam mulai memperlihatkan bakatnya sebagai seorang pembicara ulung yang mampu menyampaikan pendapat dengan elegan dan cerdas.


Nasionalisme Dari Sang Ayah

Ada pribahasa yang mengatakan bahwa “buah jatuh tidak jauh dari pohonya”. Pribahasa ini pas untuk menggambarkan kisah Sabam Sirait. Sabam  lahir dari seorang ayah bernama Fridrik Hendrik Sirait (F.H. Sirait) dan ibu bernama Julia Sibuea yang berasal dari Porsea-Tapanuli. Jiwa Nasionalisme Sabam Sirait boleh jadi adalah ‘gen’ yang diturunkan oleh sang ayah. F.H.Sirait semasa muda memang seorang aktivis pergerakan di wilayah Tapanuli dan Simalungun. 


Fridrik dikenal sebagai salah satu penggerak awal Persatuan Christien Indonesia (Perci) yang didirikan Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang.  Semasa mudanya Fridrik pernah bekerja dibeberapa surat kabar orang-orang pergerakan seperti di Bukittinggi, Tarutung dan Sibolga. Fridrik  bekerja mengatur huruf didalam naskah sebelum diterbitkan. 


Pekerjaan ini membuat Fridrik sering membaca tulisan-tulisan yang isinya selalu menentang kolonialisme Belanda. Karena itu menambah wawasan dan jiwa nasionalisme Fridrik. Salah satu surat kabar tempat Fridrik bekerja adalah Soara Batak pimpinan Mangihut Mangaradja Hezekiel Manullang  atau lebih dikenal dengan sebutan Tuan Manullang. Tuan Manulang boleh dikatakan sesepuh politik bagi orang Batak. 


Beliau sudah terlibat aktif dalam pergerakan politik sejak awal abad ke-20 dan tokoh penting dalam Jong Batak dan Jong Sumatera Bond. Koran Soeara Batak digunakan untuk mengkritik kebijakan kolonial Belanda yang hendak merampas tanah-tanah rakyat Tapanuli untuk dijadikan perkebunan. Misalnya kasus tanah seluas 1.020 bau yang hendak disewakan kepada pengusaha perkebunan Eropa. Pada 7 Juli 1919, Manulang menggerakkan para petani untuk berdemontrasi menentang masuknya kapitalisme perkebunan di Tapanuli. 


Berkat perjuangannya, Tanah Tapanuli terbebas dari ekspansi pengusaha perkebunan. Setelah berkeluarga dengan menikahi Julia Sibuea, Fridik bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial. Ia bekerja di Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja. Meski bekerja dengan pemerintah kolonial tidak membuat Fridrik berpihak kepada Belanda. 


Fridrik justru berhubungan dengan orang-orang pergerakan dan hal ini yang dianggap oleh Sabam Sirait penyebab kenapa ayahnya dipindah tugaskan ke Pulau Simardan selama dua tahun dan kemudian kembali lagi ke Siantar. Di Siantar Fridrik mulai mengenalkan dunia politik ke pada Sabam dengan mengajak Sabam kebeberapa gedung pertemuan seperti Gedung Nasional Siantar dimana ayahnya pernah berpidato. 


Sabam Sirait (ist)

Belajar sambil Jualan Rokok: Sabam Kecil di Kota Siantar

Sabam Sirait berpindah dari Pulau Simardan ke Pematang Siantar pada akhir 1930an mengikuti sang ayah yang dipindah tugaskan oleh pemerintah kolonial. Pematang Siantar sendiri sejak tahun 1913 sudah menjadi ibukota dari Afdelling Simalungun en Karolanden yang sebelumnya beribukota di Seribudolok dan pada tahun 1917 Siantar menjadi Kotapraja atau Gemeente Siantar.  


Siantar pada masa itu adalah kota kolonial yang heterogen, dimana banyak dihuni oleh berbagai macam etnis. Berdasarkan volkstelling (sensus penduduk) tahun 1930 menunjukkan komposisi Gemeente Pematangsiantar di dominasi etnis Cina sebesar 4.964 jiwa (23,62%), disusul Toba sebanyak 2.968 jiwa (19,17%), Mandailing 1.297 jiwa (8,26 %), Angkola 953 jiwa (6,16%) dan Simalungun 495 jiwa (3,20%).   


Situasi Siantar yang dihuni oleh beragam etnis membuat pemerintah kolonial melakukan pemisahan antar kelompok baik berdasarkan etnis atau agamanya sehingga tercipta kampung-kampung seperti kampung Eropa, kampung Cina, Timbang Galung (islam/Jawa) dan Kampung Kristen.  


Penjelasan ini dapat menngambarkan bagaimana Siantar pada tahun-tahun 1930-an sampai 1940-an dimana Sabam Sirait menjalani masa kecilnya sampai beranjak remaja. Persilangan budaya menjadikan Siantar sebagai wahana pembelajaran bagi Sabam untuk memahami tentang keberagaman.  


Kehidupan Sibam Sirait sebagai anak-anak di Siantar pada masa itu tidaklah mudah. Meskipun ayahnya adalah seorang pegawai pemerintahan tidak membuat kehidupan Sabam dan keluarganya serba berkecukupan. Pada satu waktu sang ibu sampai harus berdagang beras untuk membantu kebutuhan keluarga mereka. 


Situasi sulit seperti itu membuat Sabam sebagai anak tertua tergerak untuk bisa membantu keadaan keluargannya dengan berinisiatif untuk berjualan rokok dan koran di stasiun kerta api Siantar yang tidak jauh dari rumahnya.  Sabam Sirait yang harus turun ke jalan untuk membantu ekonomi keluarganya juga bergaul dengan teman-teman dilingkungannya. 


Anak-anak Siantar sendiri memang terkenal keras dan disegani dalam arti yang positif, bahkan ada istilah Siantarman dan begitulah Sabam Sirait menyebut dirinya sebagai seorang yang tumbuh sebagai anak di Siantar. Selama tinggal di Siantar, Sabam Sirait mendapatkan pendidikan formal di sekolah dasar atau sekolah rakyat (SR) yang ia selesaikan pada tahun 1949.  


Ayahnya sering memberikan ia koran dan pamanya Elam Sibuea juga sering membawakan lembaran surat kabar ketika berkunjung ke Siantar. Selain membaca surat kabar, Sabam juga sering pergi ke perpustakaan kecil yang ada di Siantar untuk membaca buku. Walaupun sering bermain diluar dan berjualan di stasiun kereta api tidak menjadikan Sabam Sirait ikut dalam pusaran budaya jalanan seperti teman-teman sebayanya. 


Sabam Sirait tidak lupa akan pentingnya pendidikan. Sabam Sirait sendiri mengatakan ada dua hal yang membuatnya rajin belajar saat masa kecilnya. Pertama, karena secara pribadi ia mangaggumi dan meneladani keluarga Mangaraja Sutan Soaduon Simatupang. Kedua, karena keadaan yang serba sulit di masa perang kemerdekaan.  Pendidikan adalah kunci menuju perubahan dan kemajuan. Moto ini menjadi daya gerak yang luar biasa bagi Sabam untuk selalu belajar meski dalam situasi yang sulit. 


Nasionalisme Sabam Tumbuh di Kota Revolusioner Siantar.

Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Soekarno dan Mohd. Hatta pada 17 Agustus 1945 disambut gembira oleh sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk masyarakat di Kota Siantar. Sabam menyaksikan langsung bagaimana semangat merdeka dari warga kota Siantar saat itu Sabam Sirait merasakan benar bagaimana antusiasnya semua masyarakat ketika Kota Pematang Siantar di tunjuk menjadi ibukota Provinsi Sumatera menggantikan Medan. 


Penyebab utama dipindahkannya pusat pemerintahan Provinsi Sumatera dari Medan ke Pematang Siantar pada waktu itu adalah masalah keamanan yang tidak kondusif. Sejak peristiwa Revolusi Sosial Maret 1946, situasi di kota Medan semakin tidak aman. Di Medan Komandan Inggris yang baru, Heddley mulai melakukan serangan militer terha¬dap basis-basis militer Republik di perbatasan Medan-Area. Dalam serangan itu beberapa tokoh politik dapat ditawan, seperti M. Saleh Umar. 


Pada tanggal 9 Maret 1946 pasukan Inggris kembali menyerang basis militer lasykar rakyat di daerah Sunggal. Sehari kemudian basis militer TRI yang berada di Pancur Batu dan Trepes, diserang dan beberapa senjata dapat dirampas oleh Inggris. Sebuah unit pasukan Inggris kemudian ditempatkan di depan Istana Sultan Deli untuk mengawal istana dari gangguan para pemuda revolusioner. 


Kerasnya tindakan Inggris di Medan Area menimbulkan beberapa permasalahan bagi pemimpin pemerintahan Republik. Baik Dr. Amir maupun Achmad Tahir menyadari bahwa sebuah konfrontasi besar dengan Inggris akan mengancam keselama¬tan Pemerintahan Republik di Sumatera. Untuk menstabilkan situasi, pada tanggal 12 April Mr.T.M. Hasan memutuskan pengangkatan 100 anggota DPR Sumatera agar dapat membuat keputusan-keputusan penting untuk bisa terus menjalankan roda pemerintahan yang ada. 


Setelah DPR Sumatera terbentuk, pada tanggal 17 April 1946 diadakan sidang yang dihadiri oleh seratus anggota. Gubernur Mr. T.M. Hasan dipilih sebagai Ketua Sidang dan pemimpin Partai Sosialis, Dr. Gindo Siregar sebagai Wakil Ketua. Beberapa anggota Dewan Ekseku¬tif juga telah dipilih yaitu: Dr. Gindo Siregar dan Dr. Sunaryo (Sumatera Timur), Mr. Rufinus Lumbantobing (Tapanu¬li), Soetikno (Aceh), Tjik Wan (Sumatera Selatan), dan Mohammad Nasrun (Sumatera Barat). 


Dalam sidang ini menghasilkan beberapa keputusan penting dan salah satunya adalah pemindahan ibu kota provinsi Sumatera dari Medan ke Pematang Siantar. Perpindahan pusat pemerintahan berlangsung secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari ancaman dan tindakan dari penguasa militer Sekutu/NICA. 


Setelah dipindahkannya kantor Gubernur Sumat¬era dan Markas Besar TKR Divisi IV/TRI Komandemen Sumatera pada akhir April 1946 , kemudian diikuti oleh  Badan-badan perjuangan tingkat Sumatera Timur pindah ke Tebing Tinggi, termasuk 2 (dua) buah Surat Kabar lokal masing-masing Soeloeh Merdeka dan Mimbar Oemoem termasuk unit percetakannya. 


Meskipun proses perpindahan itu berjalan lancar, namun problemnya adalah kurangnya gedung-gedung di Pematang Siantar yang dapat dipakai sebagai kantor pemerintahan dan dapat menampung semua pegawai yang turut pindah. Tetapi semangat revolusioner telah menghapus hambatan itu. Dengan semangat gotong royong, sebuah kantor yang seharusnya layak jadi kantor sebuah Jawatan, dijadikan kantor Walikota. 


Jawatan dan dinas-dinas Provinsi bergabung sekantor dengan dinas-dinas dan jawatan tingkat kabupaten. Percetakan dan Harian Soeloeh Merdeka” menempati Gedung toko “Dezon” dan disitu pulah semua pegawainya bertempat tinggal. Balai Kota Pematang Siantar yang dahulunya menjadi Kantor Assisten Residen Simalungun en Karolanden dijadikan Kantor Pemerintah Provinsi Sumatera yang sekarang terletak di Jalan Merdeka Pematang Siantar. 


Pematang Siantar dikenal juga sebagai Kota revolusioner. Kota ini dihuni oleh para pejuang revolusi yang memiliki semangat dan jiwa berapi-api dalam mempertahankan Republik Indonesia dari penjajah Belanda dan kaki tangannya. Di kota ini  para pejuang berbaur pula dengan pengungsi dan para birokrat pemerintah sipil dan militer. Tidak jarang sering terjadi adu mulut antara pemimpin laskar dengan pejabat pemerintahan Gubernur Sumatera mengenai masalah pemenuhan logistik perang. Marnicus Hutasoit salah seorang Staf Gubernur yang mengurusi masalah lasykar melukiskan dengan baik suasana revolusioner itu sebagai berikut; 


“Gaji pegawai sudah harus dibayar, tentara dan lasykar meminta bagiannya. Front Medan Area harus dipertahankan. Perhatian dan kegiatan pindah dari front ke belakang front, yaitu ke Tebing Tinggi dan Pematang Siantar sekeliling kantor Residen dan kantor Gubernur. Bagian yang terpenting dari kantor-kantor ini adalah bagian lisensi hasil perkebunan dan bagian-bagian keuangan. Badan-badan perjuangan sering meminta lisensi untuk mengekspor hasil perkebunan. Lisensi kebanyakan dijual kepada saudagar-saudagar. Orang-orang dari lasykar biasanya tidak cukup modal untuk mereali¬sir lisensi hingga dapat diekspor sendiri....Akhirnya semua lisensis jatuh ke tangan-tangan orang Tionghoa. 


Banyaklah saudagar-saudagar yang menjadi anggota bagian perbekalan lasykar. Mereka biasanya tinggal di belakang lasykar. Yang disuruh ke depan ialah kepala-kepala perbekalan lasykar yang mengerumuni kantor Residen dan kantor Gubernur. Jika datang ke kantor biasanya ,mengenakan pakai¬an pejuang, sepatu tinggi dan pistol tidak lupa. Waktu meminta lisensi keluarlah ucapan-ucapan:"Anak-anak kita tidak makan lagi: anaka-anak di front sudah tidak ada pakaian. 


Jika anak-anak meninggalkan posnya Belanda akan jalan terus ke Tebing Tinggi". "Apa harus anak-anak sendiri yang datang dari front untuk mengambil lisensi, nanti Bapak sendiri yang diambil oleh anak-anak." Bapak jangan lupa, karena anak-anak berjaga di front maka bapak bisa duduk di sini dengan tenang." Pistol biasanya diletakkan di atas meja, atau ikat pinggang gantungan pistol agak digeser ke depan sehingga pistol agak jelas kelihatan. 


Pernah kejadian bahwa loteng kantor Gubernur ditembaki karena uang kurang cepat dikeluarkan. Seorang kepala lasykar memasukkan jarinya ke dalam mulutnya, kemudian mengeluarkannya dan berkata "Jangan tunggu sampai jari ini kering. Uang harus ada."  


Itu adalah salah satu dialog antara Marnicus Hutasoit seorang anggota Dewan Pertahanan Daerah dengan salah seorang pemimpin lasykar rakyat yang ditugaskan untuk mengambil logistik perang termasuk uang untuk keperluan perjuangan di garis depan. Dari dialog itu jelas tergambar bagaimana pentingnya peran kota Pematang Siantar pada awal revolusi kemerdekaan di Sumatera. 


Pematang Siantar adalah ibukota Pemerintahan Republik di Sumatera. Dari sinilah dikendalikan semua strategi perjuangan menghadapi militer Belanda untuk kawasan Sumatera. Aboe Bakar Loebis menyatakan bahwa Pematang Siantar pada waktu itu seperti kota-kota di Amerika Serikat akhir abad ke19. Dimana-mana terlihat orang-orang bersenjata, anggota-anggota lasykar yang berada di dalam kota. 


Satu sisi, itu merefleksikan bagaimana besarnya dukungan masyarakat terhadap Republik Indonesia, tapi di sisi lain juga menunjukkan rendahnya kesadaran bernegara, karena setiap lasyakar rakyat itu mempunyai cara dan strategi sendiri-sendiri dalam berjuang. Koordinasi antar kesatuan bersenjata republik sangat minim sekali. Suasana revolusioner adalah suasana yang “panas”, sehingga sering terjadi gesekan dan adu mulut antar sesama pejuang.  


Sabam Sirait tentu paham betul situasi yang dijelaskan pada alenia diatas karna pada waktu itu ia tinggal di Pematang Siantar. Situasi itu jelas banyak mempengaruhi kehidupanya. Dimasa perang kemerdekaan ini pendidikan Sabam dan adik-adiknya terganggu dan hal itu yang menyebabkan ia baru menyelesaikan sekolah dasarnya/sekolah rakyat pada tahun 1949 ketika berumur 13 tahun.  


Bagi Sabam Sirait peristiwa-peristiwa seputar perang revolusi kemerdekaan di Pematang Siantar tidak akan pernah ia lupakan terutama pada Juli 1947 dimana terdengar kabar bahwa akan datang tokoh penting Republik Indonesia yaitu Wakil Presiden Mohd. Hatta yang akan mengunjungi Pematang Siantar dan menghadiri rapat masa yang akan diselenggarakan di lapangan Merdeka Kota Siantar dalam rangka melakukan konsolidasi politik mempersatukan tekad perjuangan karena masih adanya ancaman kembalinya Belanda menjajah Indonesia. 


Kunjungan ini adalah kunjungan pejabat tertinggi pemerintahaan yang pertama kali datang ke Sumatera dan rencananya sampai ke Kutaraja (Banda Aceh). Rombongan Hatta berangkat dari Stasiun Tugu, Jogjakarta pada bulan Mei 1947 menuju Jakarta (Tanah Abang) menemui Perdana Menteri Sutan Syahrir, kemudian ke Serang Banten dan dari Merak menyeberang ke Pulau Sumatera. Perjalanan menuju Pematang Siantar dilalui dengan jalan darat. 


Rombongan Hatta, dijeput oleh Gubernur Sumatera, Mr. T.M. Hasan di Lampung. Dari Lampung mereka bergerak menyusuri pulau Sumatera dan singgah dibeberapa kota besar, seperti Palembang, Bengkulu, Jambi, Pakan Baru, Bukit Tinggi, Tarutung, dan Sibolga. Dari Sibolga perjalanan diteruskan menuju Pematang Siantar dan sampai pada tanggal 5 Juli 1947. 


Mengetahui kabar ini masyarakat Siantar bersemangat menyambut kedatangan sang proklamator kemerdekaan. Sejak pagi hari 23 Juli 1947 anak-anak sekolah, pemuda, laskar tentara dan masyarakat tampak di mana-mana dengan rupa-rupa atribut kebangsaan di pakaian atau asesoris mereka yang serba merah putih.  Sebenarnya Sabam ingin datang ke lapangan kota untuk mendengarkan pidato dari Mohd. Hatta. Tapi, niat itu ia batalkan karena melihat tanda-tanda yang tidak beres di jalanan Kota Siantar. Keadaan di sekitar kediaman bupati tampak kacau. 


Ada orang menurunkan bendera merah putih dan menaikkan “merah putih biru” (bendera Belanda) di sana. Dari kejauhan, Sabam bisa melihat “merah putih biru” melambai di rumah bupati. Ia kemudian mendengar kabar bahwa yang menaikkan bendera Belanda itu adalah pasukan Poh An Tui yang menjadi kaki-tangan pasukan NICA. Melihat bendera Merah Putih di turunkan dan digantikan dengan bendera Belanda membuat Sabam Sirait menangis. 


Situasi Siantar menjadi tidak kondusif karena terdengar kabar bahwa pasukan Belanda baru saja sampai di Sumatera Timur. Gerakan pasukan Belanda yang didukung pesawat tempurnya makin mengancam pemerintahan republik di Sumatera. Bantuan pasukan mereka sudah mendarat di Pantai Cermin. Dari Pantai Cermin militer Belanda dipecah dua, satu menuju Medan dan satu lagi menuju Pematang Siantar. Pada tanggal 22 Juli, pesawat militer Belanda telah menyerang Sinaksak (Markas Pasukan BHL Sargih Ras).  


Mengingat situasi ini, Wakil Presiden Mohd. Hatta menyampaikan amanatnya dalam rapat umum di Lapangan Merdeka Kota Siantar tanggal 23 Juli 1947 yang khusus diadakan untuk menyambut kedatangan beliau. Dalam amanatnya, beliau mengajak massa untuk memupuk persatuan nasional dan memperkuat tekad untuk mengusir penjajah dari Indonesia.


Gerak maju pasukan Belanda tidak dapat dibendung. Kota Medan, Binjai dan Tebing Tinggi jatuh ke Tangan Belanda. Dari Tebing Tinggi pasukan Belanda terus bergerak menuju Pematang Siantar, tanpa perlawanan yang berarti.  Kota Siantar akhrinya jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 29 Juli 1947. 


Dalam peristiwa penyerbuan pasukan Belanda ke Siantar, Sabam Sirait yang berusia 11 tahun waktu itu ingat benar bagaimana kondisi akibat pertempuran yang terjadi. Pertempuran berjalan tidak seimbang antara pasukan Belanda dan pasukan laskar oleh karena pasukan Belanda berjumlah lebih banyak dan bersenjata lebih lengkap dan kendaraan lapis baja. 


Pasukan Belanda memberondong dari loteng-loteng toko mengarahkan senjata mereka ke arah pasukan laskar. Sungai Bah Bolon menjadi penuh dengan jasad manusia. Setelah pertempuran diketahui tak kurang dari 115 laskar kehilangan nyawanya. Salah satu barisan bersenjata yang turut andil dalam mempertahankan kota Pematang Siantar dari serbuan pasukan Belanda 29 Juli 1947 adalah Divisi Panah, sebuah pasukan bersenjata dari Partai Kristen Indonesia (PARKINDO) yang dipimpin oleh Melanchton Siregar. 


Dalam Partai besutan Melanchton Siregar inilah kemudian Sabam Sirait berkiprah mengaktualisasikan bakat politiknya yang sudah tertanam sejak masa remaja. Setelah Pematang Siantar dikuasi, Belanda memanggil semua pegawai pemerintahan Gubernur Sumatera untuk berkumpul di Siantar Hotel. 


Dalam pertemuan itu, semua pegawai itu diharuskan bekerja seperti biasa, tentu sebagai pegawai Belanda. Ada yang menerima, tetapi sebagian besar yang berjiwa republik memilih angkat kaki dari kota Pematang Siantar menuju daerah-daerah yang masih dikuasai pasukan republik. 


Ayah Sabam Sirait yang bekerja di pemerintahan sejak zaman Kolonial Belanda memilih untuk tidak meingikuti perintah tersebut. Sabam dan keluargannya memilih untuk pergi mengungsi mencari tempat aman ke Porsea tanah leluhur Sabam Sirait. Dengan menyusuri Sungai Asahan yang berhulu ke dataran tinggi Toba, rombongan keluarga menuju Tanah Jawa dan melalui jalan-jalan setapak yang berbukit untuk menghindari berpapasan dengan pasukan Belanda. Sabam Sirait dan keluarga sampai harus tiga kali masuk keluar hutan dan sering bertemu dengan orang-orang dari laskar pejuang dari berbagai kesatuan.  


Dalam perjalanan bersama keluarga dan para pengungsi lainnya menuju Porsea, lewatlah sebuah truk yang membawa mayat-mayat para laskar yang telah gugur dalam peperangan. Truk itu berasal dari Tembung dan menuju Tapanuli untuk memakamkan jenazah yang dibawa. Seketika truk tersebut diberondong peluru oleh pasukan Belanda dan membuat truk terbakar sehingga menghanguskan semua jenazah. 


Melihat kejadian itu Sabam Sirait benar-benar terguncang. “Sudah mati bertempur ditembaki lagi hingga hangus terbakar” itulah ungkapan miris Sabam melihat pengorbanan para laskar pejuang. Peristiwa ini meneguhkan keyakinan Sabam Sirait menjadi seorang republiken. Selama masa pengungsian di Porsea Sabam Sirait dan adik-adiknya berhenti bersekolah. Setelah situasi kondusif, sejak Belanda mengakui kedaulatan R.I. pada KMB akhir tahun 1949, Sabam dan keluarganya kembali ke Siantar. 


Sabam kemudian meyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya ditahun 1949 dan menyelesaikan SMP tahun 1952.  Bagi Sabam Sirait, peristiwa luar biasa ditengah pergolakan revolusi kemerdekaan itu tidak akan terlupakan sepanjang hidupnya. Melebihi banyak kejadian dalam perjalanan hidupnya, peristiwa di Pematang Siantar itulah yang paling menggugah rasa nasionalismenya, sehingga selanjutnya dia menyebut dirinya sebagai seorang republiken. 


Belajar Politik di Kota Medan

Setelah menamatkan SMP di Pematang Siantar, Sabam meminta kepada orangtuanya untuk melanjutkan pendidikan SMA di Medan, permintaannya dikabulkan oleh kedua orang tuanya dan pada tahun 1952 Sabam Sirait hijrah ke Medan untuk menuntut pendidikan. Di Medan ia tinggal bersama dengan pamanya, Bungaran Sibuea di Gang Aren Jalan Serdang. 


Awalnya sabam diminta oleh kedua orang tuanya untuk masuk SGA (Sekolah Guru Atas) dengan tujuan agar Sabam bisa cepat mendapatkan kerja dengan menjadi guru. Sabam memilih untuk tidak mengikuti saran ayahnya dan berniat masuk ke SPMA (sekolah pertanian menengah atas), tetapi Sabam telat mendaftar karena pendaftaran  sudah berakhir. Sabam berpaling dan berencana mendaftar di SMA favorit Kota Medan yaitu SMA Negeri 1 Medan. Tetapi ia berubah pikiran karena merasa tidak yakin akan diterima di sekolah favorit itu. 


Sabam pada akhirnya memilih untuk mendaftar masuk SMA Nasrani yang ada di Padang Bulan dan ia diterima disekolah itu mengambil jurusan Ilmu Pasti. Sekolah nasrani pada masa itu adalah sekolah yang dikenal bagus dan tak kalah dari sekolah negeri lain yang ada di Medan. 


Siapa yang menyangka Sabam Sirait yang di masa mendatang adalah tokoh politik hebat, ternyata adalah seorang yang cerdas dalam bidang ilmu pasti dan selalu mendapatkan nilai matematika yang bagus. Meskipun berada dikelas ilmu pasti, mata pelajaran yang paling Sabam sukai adalah pelajaran sejarah dan dalam mata pelajaran ini Sabam selalu mendapatkan nilai yang bagus juga. 


Sabam juga dikenal sabagai siswa yang gemar menulis. Biasanya Sabam menulis sajak dan mengirim sajaknya untuk dimuat di koran Mimbar umum. Sabam Sirait sangat suka membaca buku untuk menambah wawasan dan pengetahuannya, maka dari itu Sabam sering datang keperpustakaan yang berada dekat di jembatan stasiun kerta api Medan. 


Penulis favorit Sabam adalah Betrand Russel, seorang inggris yang dikenal banyak menulis tentang filsafat, sejarah,agama dan politik. Meski banyak buku yang ia baca berbahasa Inggris seperti buku Betrand Russel, Sabam tidak peduli dan tetap saja membacanya dengan membuka kamus untuk memahami setiap arti kalimat didalam buku. 


Betrand Russel bisa dikatakan seorang yang banyak mengilhami Sabam terutama dalam memahami konsep-konsep ideologi dunia seperti Marxisme dan Sosialisme. Paman Sabam yang berlangganan surat kabar Mimbar Umum membuat Sabam tidak bisa melewatkan untuk membaca koran itu setiap hari meskipun ia tidak tahu pasti arah politik dari koran mimbar umum, apakah  koran itu berafiliasi dengan PSI atau Masyumi atau kelompok politik lainnya. 


Dari surat kabat Mimbar Umum, Sabam Sirait mengetahui bahwa ada acara debat di kantor Mimbar Umum yang berlokasi di Jalan Sutomo, Medan. biasanya debat diikuti oleh 20 orang dan mereka berdebat dengan bahasa Inggris. Merasa tertarik, Sabam datang untuk melihat debat yang diadakan setiap minggu itu dan ia selalu datang di minggu-minggu berikutnya sampai dianggap sebagai anggota tetap. Dari situ ia bergabung ke club debat tersebut. 


Sabam merasa banyak mendapatkan pembelajaran di club debat terutama kemampuan dan keberanian dalam mengutarakan pendapat didepan orang banyak. Dari club debat ini Sabam dikenal sebagai pembicara muda yang tagkas dan itu sebabnya ketika ia pulang ke Siantar, teman-temannya di PPKI (Persatuan Pemuda Kristen Indonesia) meminta ia untuk berceramah dan itu menjadi ceramah pertama Sabam Sirait di depan umum. 


Selama tiga tahun 1952-1955 Sabam Sirait menempuh pendidikan SMA di Kota Medan. Masa ini adalah masa krusial bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang baru merdeka. Terjadi beberapa peristiwa dalam sejarah Indonesia dikenal dengan pergolakan daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI.  Pada periode ini tokoh tokoh politik Nasional datang ke Kota Medan berpidato di Lapangan Merdeka untuk memompa semangat persatuan Indonesia dikalangan masyarakat. 


Lapangan Merdeka selalu dijadikan Panggung Politik bagi tokoh-tokoh Nasional dan Lokal untuk membakar semangat warga kota Medan dalam mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lapangan Merdeka dijadikan pusat penggalangan dukungan bagi usaha menghancurkan gerakan separatis, upacara Hari Sumpah Pemuda, dan upacara Peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI.  


Dengan bersepeda, Sabam Sirait selalu menyempatkan diri untuk datang menghadiri rapat rapat raksasa di Lapangan Merdeka. Dari sinilah beliau juga mendapatkan pendidikan politik langsung dari tokoh tokoh politik nasional, bagaimana gaya dan cara mereka berorasi membakar semangat rakyat, meski untuk mendapatkannya, Sabam harus kehilangan sepeda kesayangannya.


Di masa remaja ini, banyak pengalaman dan pengetahuan politik yang ia dapat sewaktu dirinya menjadi pelajar SMS di Medan. Kedua pamanya Elam Sibuea dan Bungaran Sibuea banyak memberikan nasihat-nasihat tentang politik kepadanya terutama Elam Sibuaea yang dianggap guru politik pertamanya. Elam sendiri memang seorang yang aktif di dunia politik sejak zaman kolonial sampai kemerdekaan republik, mulai dari pegiat Persatuan Christien Indonesia (Perci) dan sampai aktif di Parkindo dan pernah menjabat Bupati Tapanuli Utara pada tahun 1964.  


Penutup

Fase kehidupan Sabam Sirait ketika ia anak-anak sampai dengan remaja di Siantar dan di Medan adalah satu bagian kehidupan penting yang membentuk jiwa dan karakter Sabam Sirait menjadi seorang yang Nasionalis. Masa-masa sulit kehidupan Sabam ketika perang revolusi kemerdekaan di Siantar memberikan Sabam arti pentingnya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, terutama ketika melihat pengorbanan para pejuang dalam upaya memerdekakan bangsa Indonesia, yang seketika mematri didalam jiwa dan pikirannya bahwa ia adalah seorang yang seharusnya mencintai bangsannya menjadi seorang republiken, menjadi seorang yang nasionalis. 


Bagian kehidupan remaja Sabam Sirait ketika di Medan juga merupakan hal yang penting dalam membentuk Sabam Sirait dimasa mendatang sebagai politikus besar di negeri ini.  Perkenalannya ke dunia Politik dengan dimentori oleh pamannya seorang tokoh politik Sumatera Utara ia dapatkan di Medan dan menjadi bekal penting untuk Seorang Sabam. 


Kecerdasan dan keberaniannya mengutarakan pendapat ketika berbicara di depan umum memang satu hal yang menonjol dan diakui oleh teman-teman semasa remajanya dan semua ini terus ia asa ketika berpindah ke Jakarta untuk melajutkan kuliah.


Penulis merupakan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cab.Sumatera Utara



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama