Klaim Kelompok Tani Mandiri Perak Dinilai Tidak Berdasar

DELISERDANG, suarapembaharuan.com - Hak Guna Usaha atau HGU adalah produk hukum agraria yang dikeluarkan berdasarkan fakta-fakta yang telah diverifikasi secara menyeluruh. Sehingga tidak mungkin ada HGU yang tumpang tindih dengan alas hak lain atau peruntukan lain.



Hal itu ditegaskan Kabag Hukum PTPN 2 menanggapi klaim dan tudingan Kelompok Tani Mandiri Perak yang menyebutkan terjadi tumpangtindih di HGU No.103 PTPN 2 kebun Bulu China Kecamatan Hamparan Perak. 


Dalam laporan mereka ke Menteri ATR/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI Hadi Tjahjanto, melalui surat bernomor 10/ KTMP/KR/VII/2022 tanggal 22 Juli 2022 yang ditandatangani Ketua Burhanuddin dan Sekretaris Armawi serta Bendahara Tengku Iskandar SH, Koptan Mandiri Perak menuding lahan HGU PTPN 2 No.103 tumpang tindih dengan areal pertanian warga yang menerima pembagian lahan tersebut melalui Keputusan Gubernur Sumut Gubsu No. 4/HM/LR/1969 tanggal 22 Maret 1969 yang pokoknya mendistribusikan 275,3 hektar lahan pertanian di Kota Rantang kepada 136 petani. 


Yang kedua SK Gubsu No.592.1-147/DS/I/1985 tanggal 18 Januari 1985 atas distribusi lahan pertanian seluas 38,4 hektar kepada 61 petani.


Dalam penjelasannya Ganda Wiatmaja mengungkapkan, sejarah tanah perkebunan Kebun Buluh Cina diperoleh Negara RI dari pelaksanaan Nasionalisasi perusahaan –perusahaan Perkebunan milik Belanda berdasarkan Undang-Undang No 86 Tahun 1958 jo PP No 4 Tahun 159, dalam ketentuan Pasal 2 UU  No 86 Tahun 1958 dinyatakan  Negara RI memberikan ganti kerugian kepada Perusahaan perkebunan milik Belanda yang dikenakan Nasionalisasi,  sehingga mustahil Negara melakukan nasionalisasi tanah milik masyarakat dengan memberikan ganti kerugian kepada perusahaan perkebunan milik Belanda.


Tanah perkebunan Bulu Cina, pertama sekali diberikan hak guna usaha berdasarkan SK Menteri Agraria No. SK/HGU/65 tanggal 10 Djuni 165, dimana dari luas lahan yang dimohonkan HGU  seluas 250.000 ha, Menteri Agraria dalam SK tersebut hanya memberikan persetujuan pemberian HGU seluas 59.000 ha sedangkan sisanya seluas 191.000 ha dijadikan tanah objek Landreform. 


Selanjutnya BPN menerbitkan sertifikat HGU NO 1/Buluh Cina tanggal 11 Mei 188 dan diberikan perpanjangan HGU sesuai SK Kepala BPN No 42/HGU/BPN/2002 tanggal 29 Nopember 2002 dan sertifikat HGU No 103,  dengan demikian  tidak mungkin lahan HGU PTPN II  tumpang tindik dengan tanah objek landreform atau tanah HGU PTPN II menjadi tanah objek landreform.


Sesuai ketentuan PP No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, pada pasal 15 ditentukan bahwa masyarakat/petani yang menerima tanah objek landreform mempunyai kewajiban membayar ganti kerugian. Sedangkan Koptan Mandiri Perak tidak dapat membuktikan bahwa masyarakat/petani telah memenuhi kewajiban membayar ganti rugi atas penerimaan tanah objek landreform tersebut. 


Menteri Negara Agraria/Kepala BPN dalam surat Keputusan Nomor 11 Tahun 1997 tentang Penertiban Tanah-Tanah Objek Redistribusi Landreform, pada Diktum pertama menyatakan” Surat-Surat Keputusan Redistribusi Tanah Objek Landreform/Objek Pengaturan Penguasaan Tanah, yang penerima redistribusinya setelah jangka waktu 15 tahun lampau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusannya, dinyatakan batal dengan sendirinya dan tidak berlaku lagi”. 


Dengan demikian karena masyarakat Koptan Mandiri Perak tidak dapat membuktikan telah memenuhi kewajiban, maka surat Landreform No. 4/HM/LR/1969 demi hukum dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi dan sudah dipastikan lokasinya tidak berada di tanah lokasi HGU PTPN II.


“Jadi tidak benar kalau ada tumpang tindih di atas lahan HGU No.103 itu. Kita memiliki bukti dan fakta-fakta yang cukup,” jelas Ganda Wiatmaja.


Pihak PTPN 2 sendiri tidak mengetahui apa dasar yang membuat sejumlah pihak selalu mengklaim lahan-lahan HGU PTPN sebagai lahan pertanian masyarakat. Sebab dalam proses penerbitan HGU selalu dilakukan proses yang panjang dan verifikasi yang jelas terhadap lahan-lahan HGU yang selama ini digunakan PTPN 2 sebagai lahan perkebunan. Mulai dari era tembakau, tebu sampai kelapa sawit yang dikembangkan saat ini.


Saat ini Tanah HGU PTPN II banyak diklaim oleh masyarakat dengan dasar surat landreform, dan kami bisa membuktikan bahwa surat landreform yang diajukan oleh masyarakat palsu.


"Saat ini kami telah membuat melaporkan ke Polda Sumatera Utara dan saat ini pihak penyidik sedang memprosesnya dan kami optimis dalam waktu dekat penyidik Poldasu aka menetapkan ketua kelompok dan masyarakat/petani menjadi tersangka. Untuk itu kami juga akan membuktikan kebenaran/keaslian surat Landreform No. 4/HM/LR/1969 jika terbukti surat tersebut palsu, maka kami juga akan melaporkan ke Poldasu," jelasnya.


Sebagai perusahaan negara, menurut Ganda, pihaknya selalu mengedepankan proses hukum. Apalagi menyangkut areal perkebunan yang cukup luas. “Jadi tidak masuk akal kalau PTPN 2 dan menguasai lahan HGU dilakukan secara asal-asalan. Pihak BPN pun tidak akan begitu saja mengeluarkan sertifikat HGU kalau memang ada persoalan di areal yang diajukan perpanjangan HGU-nya,” tambah Kabag Hukum PTPN 2 ini.


Di sisi lain, Ganda berharap, kalangan masyarakat jangan mudah terprovokasi oleh oknum atau pihak-pihak tertentu yang selalu dengan mudah menawarkan lahan-lahan HGU untuk dikuasai.”Sebab apa pun dalihnya, mereka yang menguasai lahan HGU adalah pelanggaran hukum. Ada sanksi pidananya,” tegas Ganda Wiatmaja.


Kategori : News

Editor     : AHS


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama