Romo Swasono: Orang Tua menjadi Peran yang Utama dalam Pendidikan, Bukan Sekolah

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Ketua Pembina Yayasan Santo Markus, Romo Ignatius Swasono SJ, menegaskan orang tua menjadi peran yang utama dan pertama dalam mendidik anak, bukan sekolah maupun guru. Hal ini termasuk dalam menanamkan pendidikan karakter di rumah. 



“Saya mengusahakan bagaimana peran pendidikan, orang tua itu menjadi yang utama dan pertama, bukan sekolah,” katanya saat Dirgahayu 7 Windu atau HUT ke-56 tahun Yayasan Sekolah Santo Markus yang bertema "Membangun Komunitas Pembelajar yang Sinodal" di Sekolah Santo Markus 1, Cililitan, Jakarta Timur, Jumat (19/5/2023).


“Jadi jangan mengatakan bahwa sebagai orang tua sudah membayar iuran dan semuanya bisa selesai begitu di rumah. Maka dari itu, saya memberikan materi bagi para keluarga bahwa jangan hanya menikmati hubungan suami isteri kalau sudah bahagia, selesai urusan anak,” lanjutnya. 


Romo Paroki Gereja Santo Bellarminus Cililitan Jakarta Timur menuturkan situasi anak zaman sekarang seperti ini cukup rapuh karena tidak mempunyai ketahanan. Apabila memiliki masalah, langsung mundur dan tidak punya daya juang yang kuat. Itu adalah gambaran anak-anak sekarang. 


“Kelirunya dimana, bukan di sekolah tetapi di rumah yang memanjakan anak-anak. Makanya saya mengatakan sekolah dan komite sekolah harus kerjasama. Contohnya, tolong katakan seandainya anak punya gejala yang tidak beres, maka sebaiknya diutarakan kepada gurunya supaya di sekolah dilanjutkan pembinaan tersebut,” jelas dia. 


Hal ini merupakan kolaborasi antara keluarga dan sekolah sebagai komunikasi dua arah yang baik. Jadi orang tua sebaiknya melaporkan pada sekolah atau guru bimbingan psikologi (BP). 


“Jangan takut atau menutupi hal itu karena gengsi, malu atau takut, padahal hal itu untuk perkembangan pengembangan pribadi anak. Itu yang paling penting,” ucap Rm Swasono SJ. 


Kolaborasi sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan, apalagi saat ini memasuki didalam era knowledge each, belajar itu tidak bisa hanya urusan guru saja, tetapi bersama. Artinya belajar atau mengajar adalah sebagai kolaborasi dalam bidang modul ajar, perangkat ajar, dan penilaian. 



Tadi pagi sebenarnya ada rapat penilaian di dinas, kita belum tahu yang disebut penilaian akhir untuk mengatakan suapaya anak itu selesai belajar seperti apa. Makanya sedang mencari, segala sesuatu ada didalam perubahan. 


“Maka dari itu, jangan sendiri-sendiri. Itulah kolaborasi yang kami angkat sebagai komunitas pembelajar yang sinodal atau kolaborasi,” tegasnya.


Artinya Sekolah Santo Markus berkolaborasi dengan berbagai pihak seperti sekolah negeri, sekolah katolik atau swasta lainnya karena pihaknya mendapat kepercayaan dari orang tua murid untuk mendidik sebanyak 1.600 siswa. 


“Makanya kalau kita tetap mau sendiri-sendiri tidak mungkin dalam kondisi, dimana Kurikulum Merdeka sedang dicanangkan yang didalamnya terdapat kemandirian dan kebebasan. Kalau ini sendiri-sendiri, akan sangat berat,” ungkap dia. 


Oleh karena itu, peserta didik harus memahami bagaimana melakukan komunikasi-komunikasi secara etis menghargai orang, termasuk penguasaan teknologi yang memiliki dua sisi yakni positif dan negatif.

 

“Yang namanya anak-anak berkelahi atau menyontek itu sungguh kegagalan dunia pendidikan. Maka kami akan agak keras, jangan lakukan itu dan apa adanya. Kenapa, karena sekarang ini basisnya bukan guru, tetapi siswa itu sendiri,” ucap Rm Swasono. 


“Seandainya kamu hasilnya hanya menyontek atau tidak ketidakjujuran, hal itu tidak akan mengembangkan. Lebih baik tidak usah naik kelas saja, tetapi nanti dia sadar mengembangkan diri secara jujur. Disinilah peran sekolah dan guru sebagai sahabat didalam belajar. Maka siswa ditanam nilai etika, kerjasama, moral dalam komunikasi dan lain halnya,” ucapnya. 



Rm Swasono SJ menuturkan bahwa pendidikan itu memiliki levelnya masing-masing. Ia sendiri  8 tahun level perguruan tinggi, tetapi sekarang ini mendampingi untuk anak kelompok bermain (KB), taman kanak-kanak (TK), SD dan SMP. 


Komite Sekolah SD Santo Markus 2, Erlangga Simatupang, mengatakan pada prinsipnya apapun perkembangan zaman itu, mau tidak mau dan suka tidak suka harus mengikuti, karena kalau tidak bakal terpinggirkan dengan sendirinya.


“Pola pikir dan mental yang bagus saat menjalankan pendidikan akan menjadi modal yang baik juga dalam perkembangan si anak. Hal ini berpengaruh dalam sudut pandang. Artificial intelligence atau kecerdasan buatan itu bisa tambah buruk atau baik, hal itu tergantung si pemahaman siswa. Makanya pola pikirnya harus benar dahulu. Begitu dengan dunia digitalisasi kedepan ini,” ungkap dia. 


Untuk Sekolah Santo Markus sendiri, pihak komite sekolah membantu sekolah mengisi pola pikir karena dengan mental dan pola piker yang dijadikan dasar pendidikan akan menjadi karakter yang baik pula untuk para murid.


“Harapan kami komite sekolah yang mewakili para orang tua, sekolah maupun guru dengan orang tua dapat berkolaborasi agar peserta didik mendapat pendidikan dan penanaman karakter  yang bijak. Dalam kolaborasi tidak ada ego-egoan karena semua ini untuk kepentingan bersama khususnya untuk kepentingan siswa,” pungkasnya. 


Dalam memperingati Dirgahayu 7 Windu atau HUT ke-56 tahun Yayasan Sekolah Santo Markus diawali dengan perayaan misa syukur yang dipimpin Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Kardinal Suharyo Kardinal Suharyo didampingi Rm Ignatius Swasono, SJ, Rm Alexander Dirja Susanto SJ, Rm Yohanes Harry Kristanto SJ dan Rm Paulus Andri Astanto SJ.  


Beserta para alumni Sekolah Santo Markus yaitu Rm Christoforus Kristiono Puspo SJ, RD Rm Carolus Putranto Trihidayat, RD Andreas Subekti dan Rm Tjatur OSC. Usai misa syukur, acara dilanjutkan dengan digelarnya pentas seni yang ditampilkan oleh siswa-siswi Sekolah Santo Markus 1 dan 2 mulai dari TK, SD hingga SMP lewat berbagai tarian, nyanyian lagu, paduan suara, fashion show, hingga pencak silat.


Kategori : News


Editor      : AHS


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama