Koalisi Nilai Putusan MK Soal Usia Capres Bukan untuk Kaum Muda, Hanya untuk Loloskan Dinasti Jokowi

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menilai putusan Mahkamah Konstitusi soal batas minimal usia capres dan cawapres sebagai diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bukan untuk mengakomodir kepentingan kaum muda menjadi pemimpin nasional. Menurut Koalisi, putusan MK tersebut hanya untuk melanggengkan dinasti Joko Widodo melalui Putra Sulung Gibran Rakabuming Raka.



"Secara tegas, Putusan tidak menurunkan batas usia 40 tahun yang membuka ruang bagi anak muda untuk berkarya di dunia politik, namun khusus dihadiahkan untuk Kepala Daerah dengan atribusi usia di bawah 40 tahun, dan hanya Gibran lah yang secara faktual dapat memanfaatkan golden ticket itu," ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis dari WALHI M Islah dalam keterangannya, Sabtu (4/11/2023).


"Artinya, secara politik putusan itu ditujukan untuk kepentingan politik putra Presiden sendiri yakni Gibran Rakabuming Raka agar lolos menjadi bakal Cawapres," tandas Islah menambahkan.


Koalisi, kata Islah menilai telah terjadi konflik kepentingan karena yang ikut memutuskan dan mengabulkan perkara Nomor 90 tersebut adalah paman Gibran, yakni Ketua MK Anwar Usman. Menurut Islah, hal tersebut bukan hanya melanggar kode etik dan perilaku hakim tetapi merupakan bentuk intervensi dan manipulasi kekuasaan dalam putusan tersebut yang dilakukan secara telanjang dan terang benderang. 


"Hal ini merupakan puncak gunung es dari kehancuran hukum dan demokrasi di Indonesia. Kami memandang, apa yang terjadi di MK dalam putusan Perkara No. 90 tersebut, merupakan bentuk Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang terang benderang terjadi," tandas dia.


Islah mengatakan perkoncoan dan nepotisme  dilakukan penguasa untuk kepentingan keluarga dan bukan kepentingan bangsa. Dia menilai hal tersebut jelas bertentangan dengan semangat reformasi yang memandatkan pentingnya menolak segala bentuk nepotisme sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. 


"Praktik nepotisme antara penguasa dan MK ini merupakan bentuk perusakan pada  demokrasi dan hukum di Indonesia yang tidak bisa dibiarkan," ungkap dia.


Lebih lanjut, Islah mengatakan dalam perspektif pemilu, proses awal pemilu yang diwarnai putusan MK ini tentu akan mencederai proses Pemilu yang akan dilakukan. Pasalnya, kata dia, sejak awal kekuasaan sudah menggunakan kekuatannya untuk mengintervensi hukum dalam rangka melanggengkan dinasti politiknya. Menurut dia, sulit untuk dapat meraih proses pemilu yang demokratis dan hasil yang demokratis paska putusan MK. 


"Hal itu karena sejak dini, Penguasa telah memperlihatkan dan mempertontonkan tangan tangan kekuasaan bekerja untuk mengintervensi satu  lembaga yudikatif yakni Mahkamah Konstitusi. Intervensi kekuasaan pada lembaga negara lain pun sangat mungkin terjadi karena kepada MK saja hal itu sudah terjadi. Proses Pemilu sedari awal sudah cacat secara politik paska putusan MK," jelas dia.


Dalam realitasnya, kata Islah, menjelang berakhir masa periode jabatan yang kedua Presiden Joko Widodo, makin mempertontonkan dirinya sebagai perusak demokrasi. Hal ini dilakukan dengan membangun politik dinasti yang sarat dengan praktik kolusi dan nepotisme melalui pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024.


"Kami menilai, kondisi kemunduran demokrasi di akhir era pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi, mengingat demokrasi merupakan capaian politik yang diperjuangkan dengan susah payah pada tahun 1998 dan harus terus dipertahankan. Untuk merespon hal tersebut, dibutuhkan adanya bangunan gerakan pro demokrasi untuk menyelamatkan demokrasi dari kemunduran, termasuk dengan menjadikan politik elektoral sebagai momentum dan media untuk mengoreksi semua kebijakan dan langkah politik Presiden Joko Widodo yang memundurkan capaian politik Reformasi 1998 tersebut," pungkas Islah.


Baru-baru ini, Handesblatt, media massa asal Jerman menyoroti langkah politik Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo yang maju sebagai Cawapres Prabowo Subianto pada Pilpres 2024. Menurut Handesbaltt, pencawapresan Gibran dipandang sebagai bentuk politik dinasti yang merusak dan mematikan demokrasi di Indonesia. Sebelumnya, kondisi kemunduran demokrasi di Indonesia juga diberitakan oleh Time, media dari Amerika Serikat.


Elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis adalah PBHI Nasional, Imparsial, WALHI, Perludem, ELSAM, HRWG, YLBHI, Forum for Defacto, SETARA Institute, Migrant Care, IKOHI, Transparency International Indonesia (TII), Indonesian Corruption Watch (ICW), KontraS, Indonesian Parlementary Center (IPC), Jaringan Gusdurian, Jakatarub, DIAN/Interfidei, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Yayasan Inklusif.


Kemudian Fahmina Institute, Sawit Watch, Centra Initiative, Medialink, Perkumpulan HUMA, Koalisi NGO HAM Aceh, Flower Aceh, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lingkar Madani (LIMA), Desantara, FORMASI Disabilitas (Forum Pemantau Hak-hak Penyandang Disabilitas), SKPKC Jayapura, AMAN Indonesia, Yayasan Budhi Bhakti Pertiwi, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Aliansi Masyrakat Adat Nusantara (AMAN), Public Virtue, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yayasan Tifa, Serikat Inong Aceh, Yayasan Inong Carong, Komisi Kesetaraan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Aceh, Eco Bhinneka Muhammadiyah.


Kategori : News


Editor      : AHS


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama