Hari Anti Korupsi dan HAM Internasional, Koalisi: Lawan Dinasti Politik dan Adili Pelaku Pelanggaran HAM Berat

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Demokratis menggelar aksi memperingati hari Anti Korupsi dan HAM internasional di Patung Kuda, Monas, Jakarta, pada Kamis (7/12/2023). Mereka menyerukan agar menyelamatkan demokrasi dengan menolak nepotisme, melawan dinasti politik dan mengadili pelaku pelanggaran HAM berat. 



"Demokrasi di era pemerintahan Jokowi terus mengalami kemunduran dan semakin menjauh dari semangat dan tujuan awalnya yang didorong oleh berbagai kelompok pro-demokrasi pada tahun 1998. Puncak dari kemunduran tersebut adalah dinamika politik Pemilu 2024 yang sarat dengan cara-cara berpolitik yang kotor dan menggunakan segala cara demi ambisi melanggengkan kekuasaan," ujar Koordinator aksi dari Imparsial Ardi Manto Putra dalam aksi tersebut.


Sejumlah agenda reformasi politik awal era reformasi 1998, seperti penghapusan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, kata Ardi, semakin dilupakan bahkan diabaikan oleh para elit politik. Sementara politik elitis yang transaksional dan bahkan cenderung menghalalkan segala cara meskipun hal itu mengkhianati amanat reformasi tahun 1998, tutur dia, semakin menguat dalam dinamika dan arus perkembangan politik, baik di tingkat lokal maupun nasional.


"Gejala kemunduran demokrasi Indonesia sejatinya mulai nampak sejak tahun-tahun sebelumnya. Di antaranya ditandai dengan upaya pelemahan terhadap gerakan anti-korupsi melalui revisi UU KPK. Revisi tersebut telah membonsai kemampuan lembaga anti rasuah untuk membongkar kasus-kasus korupsi yang menjadi penyakit kronis dan akut elit politik kita," jelas Ardi.


"Demikian juga dalam pemilihan pimpinan KPK, juga tidak luput dari intervensi kekuasaan. Hasilnya, KPK hari ini tidak hanya menjadi lemah, tapi juga amburadul dan semakin kehilangan integritasnya. Padahal, KPK sebelumnya menjadi lembaga terdepan harapan rakyat dalam pemberantasan penyakit korupsi di Indonesia," ungkap Ardi menambahkan.



Selain itu, kata Ardi, penyusutan ruang kebebasan sipil juga menjadi penanda lain dari kemunduran demokrasi. Padahal, menurut dia, kebebasan sipil merupakan hal yang esensial dalam demokrasi dan kondisinya makin terkikis di era pemerintahan Jokowi.


Hal tersebut ditandai oleh berbagai pembatasan dan pembungkaman terhadap kebebasan ekspresi dan kritik masyarakat yang dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari kriminalisasi aktivis, ancaman dan intimidasi, brutalitas aparat keamanan (TNI/Polri), dan bentuk-bentuk serangan lainnya. 


"Berbagai bentuk serangan terhadap kebebasan sipil tersebut dijalankan untuk mengamankan kepentingan elit politik kekuasaan dan kekuatan modal, yang dikemas dengan dalih menjaga stabilitas keamanan dan mengamankan pembangunan ekonomi," tandas Ardi.


Koalisi, kata Ardi juga menilai penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi mandat reformasi tahun 1998, seperti Talangsari Lampung, Penghilangan Paksa 1997/1998 dan Trisakti dan Semanggi, dan lain-lain, hanya menjadi janji palsu dan jargon politik serta tidak ada langkah nyata untuk menyelesaikannya secara tuntas. 



Menurut dia, alih-alih menyelesaikan kasus-kasus tersebut, Presiden Jokowi bahkan memberi tempat dan jabatan-jabatan strategis di dalam kekuasaannya kepada sejumlah perwira tinggi militer yang diduga bertanggungjawab dalam kasus-kasus kejahatan kemanusiaan tersebut. 


"Pemberian karpet kekuasaan kepada pelaku pelanggaran HAM berat benar-benar melukai rasa keadilan korban dan keluarga korban yang selama bertahun-tahun mencari dan menantikan keadilan. Presiden Jokowi menjadi pelindung utama pelanggar HAM berat," terang dia.


Dikatakan juga bahwa puncak dari kemunduran demokrasi di era Presiden Jokowi semakin terlihat nyata dalam Pemilu 2024. Menurut Ardi, pemilu yang sejatinya adalah ruang perwujudan prinsip kedaulatan rakyat di dalam demokrasi, justru digunakan oleh Jokowi untuk melanggengkan kekuasaannya melalui pembangunan dinasti politik keluarganya. 


"Tidak tanggung-tanggung, untuk memuluskan kepentingan politik tersebut, instrumen hukum dan kekuasaan juga digunakan. Politik dinasti tentu menjadi hal yang berbahaya dan mengancam masa depan negara hukum dan demokrasi Indonesia. Politik dinasti tidak hanya meminggirkan rakyat dari ruang politik karena kekuasaan digenggam oleh keluarga dan segelintir elit politik, tapi juga sangat berkait erat dengan praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN)," terang dia.



Lebih lanjut, Ardi mengatakan pembangunan politik dinasti oleh Jokowi tampak nyata dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo yang didukung oleh sejumlah partai politik koalisi pemerintahannya. Menurut  dia, untuk memuluskan langkah politik tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) pun dibajak sehingga mengeluarkan putusan yang memuluskan langkah pencawapresan Gibran. 


"Hal ini sulit dibantah mengingat yang menjadi Ketua Majelis Hakim MK memiliki kaitan kekerabatan dengan Presiden Jokowi dan Putranya yakni Gibran Rakabuming Raka. Jelas terdapat konflik kepentingan yang kemudian mempengaruhi putusan MK sebagaimana tergambar jelas dalam putusan majelis Kehormatan MK (MKMK). Pembajakan MK menjadi contoh nyata dari pembajakan dan manipulasi institusi hukum untuk memuluskan jalan politik dinasti keluarga Jokowi," tutur Ardi.


Bahaya lain dari politik dinasti, kata Ardi tidak berhenti sampai di situ. Mengingat dinasti berkait dengan praktik KKN, juga ada potensi besar untuk penyalahgunaan kekuasaan negara, untuk tujuan pemenangan kontestasi politik dalam Pemilu. Menurut Ardi, potensi penyalahgunaan tersebut terlihat dari indikasi penggunaan aparat pertahanan dan keamanan negara.


Persoalan lain yang terjadi dalam politik, tambah Ardi adalah diabaikannya agenda penegakan hak asasi manusia (HAM) dalam Pemilu. Salah satunya, kata Ardi, ditandai oleh masih berkiprahnya pelaku pelanggaran HAM berat dalam panggung politik nasional yang tentu akan berdampak terhadap semakin langgengnya impunitas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. 


"Lebih parahnya lagi, mereka bukan hanya masih melenggang bebas dan terus berkiprah di dalam dunia politik, namun di antaranya ada yang mencalonkan diri, yakni Prabowo Subianto sebagai bakal calon Presiden Indonesia pada Pemilu 2024," tegas Ardi.


Ironisnya, menurut Ardi, Presiden Jokowi yang seharusnya mendorong agar pelaku pelanggar HAM berat dibawa ke ruang pengadilan, justru malah menjadi pihak yang memberi karpet merah dengan mendorong dan mendukungnya. Ardi menilai hal tersebut jelas sangat melukai korban dan keluarga korban, serta tentunya sulit diharapkan Prabowo Subianto yang memiliki rekam jejak yang buruk dalam isu pelanggaran HAM akan menegakan HAM. 


"Karena itu, kami menyerukan kepada semua pihak yang masih peduli terhadap generasi mendatang untuk menyelematkan demokrasi, menolak semua bentuk politik nepotisme, KKN, politik dinasti, dan tolak pelanggar HAM berat dalam kekuasaan. Jangan biarkan demokrasi Indonesia terus mengalami kemunduran, keadilan dan kemanusiaan diinjak-injak oleh elit politik kekuasaan," pungkas Ardi.


Kategori : News


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama