Konflik Internal Selama 61 Tahun di Indonesia


Oleh : Laksamana Magya TNI ( purn) Freddy Numberi 


Tulisan ini pernah diturunkan oleh media cetak tanggal 13 April 2023, tidak ada salahnya ditulis kembali dan diturunkan oleh media cetak dengan beberapa perubahan oleh penulis. 



Perdana Menteri Nikita Kruschev berkata kepada Presiden Sukarno : 


"Kami (Uni Soviet) mendukung penuh tuntutan penyatuan Irian Barat dengan negara Anda, Indonesia”. (Freddy Numberi, Papua Kerikil Dalam Sepatu, Gibon Books, Jakarta, 2022 : hal 124).


Rasanya tidak keliru kalau dikatakan bahwa dalam dunia pasca Kolonial dan pasca Perang Dingin, sebagian besar adalah perang internal atau konflik internal antara saudara sebangsa dan setanah air.


Kekuatan sosial dan kepentingan ekonomi akan bertentangan satu sama lain dalam perbatasan era kolonial apalagi yang diciptakan era kolonial itu bom waktu. Contoh di Tanah Papua adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Khusus di Papua, konflik internal sudah berlangsung selama 61 tahun, sejak 1 Mei 1963 hingga hari ini , antara saudara sebangsa dan setanah air. 


Pertanyaanya adalah bentuk intervensi yang bagaimana akan muncul dalam konflik internal yang sudah berlangsung selama 61 tahun ini. Pelibatan Internasional melalui PBB telah terbukti tidak tegas dan sangat tidak kompeten dalam menangani konflik, apalagi konflik itu terjadi dalam sesuatu negara yang berdaulat. Paham konflik baru telah melahirkan literatur baru, contoh Bosnia dan Kosovo yang melihat jalur adil intervensi militer dimana elemen-elemennya adalah : 


Bahwa pemimpin politik dalam suatu negara dapat menggunakan politik pengkotakan untuk menakutkan suatu kelompok masyarakat dan mengadu domba mereka. 


Bukan merupakan kebangkitan nasionalisme, melainkan memainkan politik buas yang dijalankan para elit untuk mempertahankan kedudukanya serta menguras kekayaan bagi kepentingan diri sendiri atau kelompok. 


Kekerasan yang didesentralisasi dan ditujukan untuk masyarakat atau etnis tertentu.


Perkembangan global dewasa ini mengakibatkan para elit korup yang berkuasa mengandalkan hasil jarahannya dan menjual bahan mentah untuk mempertahankan kedudukannya. 


Paul F. Diehl, mengatakan: “Internal territorial conflict is ussually associated with the concrete manifestatioan of territory either as a strategic or economic resource (konflik teritorial internal biasanya dikaitkan dengan manifestasi nyata wilayah baik sebagai sumber strategik atau ekonomi).” (dimodifikasi dari Paul F. Dhiel, A Road Map to War, Territorial Dimensions of International Conflict, Vanderbilt University Press, Tennessee, 1999:hal.3).


Konflik Indonesia melawan Belanda berlangsung 1950 1962 (12 tahun), dibandingkan konflik Indonesia melawan saudaranya sendiri di Tanah Papua dari Tahun 1963 - 2024 (61 Tahun). Rasanya tidak mudah membangkitkan dan menumbuhkan rasa nasionalisme masyarakat Papua dalam negara yang berdaulat untuk mencintai negaranya, karena merasa dikhianati oleh saudara sendiri. 


Professor Thoby Mutis (Rektor Universitas Trisakti), mengatakan : “Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna" (Freddy Numberi, Papua Kerikil Dalam Sepatu, Gibon Books, Jakarta, 2022 : hal 179). Perasaan itulah yang ada dewasa ini diantara generasi milenial OAP, sehingga sulit bagi Pemerintah RI membangkitkan semangat Nasionalisme Kebangsaan Indonesia di Tanah Papua. 


Khusus untuk konflik internal di Tanah Papua, pertanyaanya adalah : “Kebijakan apa yang harus ditempuh Pemerintah Republik Indonesia (Pemri) agar membangkitkan kembali rasa nasionalisme generasi milenial Papua, akibat penderitaan selama 61 tahun Rezim pemerintahan Presiden H. Ir. Joko Widodo telah bolak balik ke Tanah Papua, namun tidak menyelesaikan konflik internal yang terjadi, meskipun Presiden Jokowi telah memerintahkan : “Kita ingin Papua Tanah Damai dan tidak ada konflik lagi. 


Tidak ada agenda khusus Presiden Jokowi untuk menyikapi eskalasi konflik bersenjata internal di Tanah Papua. Khusus untuk pembangunan ekonomi kerakyatan OAP tidak berjalan sesuai dengan harapan Presiden Jokowi, baik di Pusat maupun di Tanah Papua karena tidak fokus pada Filosofi pembangunan secara universal, yaitu :


Bagaimana mengentaskan kemiskinan yang ada di Tanah Papua, karena daerah itu kaya raya namun selama 61 tahun ini OAP tetap miskin. Ini merupakan suatu paradoks tersendiri bagi Indonesia. 


Bagaimana membuka lapangan kerja seluas luasnya di Tanah Papua agar baik yang berpendidikan maupun yang tidak, dapat bekerja dan menafkahi keluarganya; Bagaimana Pemerintah RI mendorong pertumbuhan di Tanah Papua supaya bisa menopang dan berkontribusi bagi pertumbuhan nasional. 


Karakteristik budaya OAP adalah pemberian Tuhan yang harus diintegrasikan ke dalam pembangunan yang ada, sehingga sifat pembangunan di Tanah Papua harus sesuai wilayah budaya masing-masing OAP, sesuai dengan amanat PBB pada Resolusi 2504 (XXIV) tanggal 19 November 1969, yaitu memperhatikan kondisi spesifik masyarakat Irian Barat. 


Sehingga sifat pembangunan di Tanah Papua dengan karakteristik yang ada harus (Formula THISS) : 


Tematik, yaitu tema yang jelas untuk OAP yang berada di pegunungan, di tengah, maupun di pantai. 


Holistik, yaitu merangkul semua OAP yang ada biar sejahtera. 


Integratif, semua program yang ada di kementerian pusat maupun di daerah harus dintegrasikan bersama dalam rangka menuntaskan kemiskinan dan membuka lapangan kerja bagi OAP. 


Spasial, tata ruang peruntukan ekonomi kerakyatan harus diberdayakan melalui DPRD, agar tidak diubah lagi peruntukannya, bila mana ganti pejabat. 


Sustainable, program tersebut harus berkelanjutan agar OAP bisa sejahtera dan mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 


Menurut Rocky Gerung (CNN, tanggal 6 Mei 2024) kita tidak bisa lagi mengatakan: " NKRI harga mati. Biarlah mengalir secara alamiah, yang penting Masyarakat Indonesia hidup akrab dan sejahtera lahir dan bathin mulai dari matahari terbit sampai dengan matahari terbenam, yaitu dari Merauke (Tanah Papua) sampai dengan Sabang (Tanah Rencong). Dengan terpilihnya Prabowo Subyanto dengan Gibran Rakabumi Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden, mudah-mudahan menyelesaikan masalah-masalah di Papua, sehingga OAP menyadari bahwa “NKRI adalah harga mati”, karena sejahtera lahir dan bathin. Tahta seharusnya untuk rakyat Indonesia termasuk Masyarakat Papua, menurut Nucholis Madjid (2004) :


“Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti" (setiap kebencian, kemarahan, kekerasan hati akan luluh oleh kelembutan, kebijaksanaan, dan kesabaran). Menurut penulis : “Banyak orang pintar, tapi tidak bijak (Katah tiyang pinter, mboten bijak)". 


Kesejahteraan OAP merupakan mission de sacre (misi suci) pemerintah RI agar OAP melupakan Memoria Passionis (ingatan penderitaan akibat luka-luka masa lalu) dan menjadi Memoria Felicitas (ingatan kebahagiaan sebagai bangsa dan warga negara Indonesia), agar lebih mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 


[Penulis adalah Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi, mantan Menhub, mantan Menpan-RB, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Italia merangkap Malta dan Albania, Wakil Tetap RI untuk organiasasi internasional dibawah PBB, yaitu FAO, IFAD dn WFP, pendiri Numberi Center].


Kategori : Opini


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama