Korupsi Merajalela Di Rutan KPK

Oleh: Stevani Agustin


Rumah Tahanan (Rutan) KPK tengah dilanda korupsi oleh para penghuninya sendiri. Penghuni yang dimaksud di sini ialah oknum yang notabenenya merupakan pegawai yang bekerja di dalamnya. Oknum-oknum tersebut menerima sokongan pendapatan yang tidak semestinya dari para tahanan dan keluarganya sebagai bentuk imbalan atas bantuan yang diberikan, seperti perpanjangan waktu saat kunjungan dan kondisi kehidupan di dalam Rutan yang lebih baik. Hal ini membuktikan korupsi telah merajalela dan justru dibiarkan begitu saja.


Ilustrasi

Korupsi sebenarnya telah menjadi permasalahan utama yang menjadi sorotan di Indonesia sejak lama. Dari tingkat pemerintahan hingga sektor swasta, praktik korupsi pastinya akan selalu merugikan negara dan masyarakat luas. Tak hanya itu, korupsi juga berdampak pada rusaknya kepercayaan publik terhadap suatu lembaga/institusi, menghambat pembangunan nasional, dan menghambat distribusi sumber daya secara adil dan merata. Meskipun upaya pemberantasan telah dilakukan, tantangan yang satu ini masih menjadi fokus utama dalam upaya memperbaiki tata kelola pemerintahan yang nantinya bisa menciptakan lingkungan bisnis dan pemerintahan yang sehat.


Pemecatan 66 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbukti melakukan dan terlibat dalam aksi pungutan liar terhadap para tahanan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK baru-baru ini menjadi salah satu upaya dalam memberantas praktik korupsi. Tak hanya Pungli, tindakan korupsi lainnya seperti suap-menyuap dan pemerasan juga tak luput terjadi di dalam lembaga antirasuah tersebut. Namun, fakta bahwa praktik-praktik seperti itu telah berlangsung selama bertahun-tahun dan justru ditoleransi oleh beberapa pihak yang ada di dalamnya kemudian menimbulkan tanda tanya besar mengenai kinerja dan efektivitas KPK sebagai lembaga negara dalam mencegah dan memberantas korupsi. Bayangkan saja, permasalahan ini sudah terindikasi sejak tahun 2018, namun baru diusut pada tahun ini dan saya rasa pastinya tidak semua pelaku praktik korupsi tersebut tercium aroma busuknya.


Meski dengan adanya upaya pemecatan 66 pegawai KPK merupakan langkah yang terbilang baik dan mendapat respon positif dari masyarakat lain, namun hal ini hanyalah sebuah langkah kecil untuk mengatasi masalah korupsi yang pada kenyataannya masih ada lebih banyak lagi dan menjadi salah satu permasalahan yang paling disoroti di Indonesia. Mulanya, KPK dibentuk sebagai lembaga yang akan memberantas tindak korupsi, namun lucunya beberapa pihak yang ada di dalamnya justru melakukan hal yang sudah seharusnya mereka tangani. Lembaga antirasuah ini seharusnya bisa mengambil pendekatan yang lebih proaktif dalam mencegah korupsi, utamanya dalam menerapkan kontrol pada internal yang lebih efektif serta memastikan bahwa semua pegawai di bawah naungan mereka dapat bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya.


Tak hanya itu, KPK juga harus bisa mengatasi akar permasalahan korupsi, termasuk kurangnya transparansi dan akuntabilitas di dalam lembaga mereka sendiri. Mekanisme internal KPK harus diperkuat demi mencegah terjadinya korupsi sejak awal supaya kinerja mereka nampak nyata bagi masyarakat. Jadi, bukan hanya sekadar tanggap bereaksi dan beraksi  setelah korupsi terjadi.


Jika kasus korupsi, baik yang melibatkan pihak di dalam maupun di luar KPK, tidak segera ditangani, maka kemudian dapat berdampak serius terhadap integritas dan efektivitas lembaga antirasuah tersebut. Lambannya penanganan kasus juga dapat merusak reputasi dan kredibilitas KPK di mata publik, mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut, serta menimbulkan keraguan publik terhadap kemampuannya dalam memberantas korupsi. Hal ini kemudian turut menciptakan ketidakpuasan dari masyarakat terhadap pemerintah dan sistem hukum secara keseluruhan, serta memberikan kesempatan lebih besar bagi pelaku praktik korupsi untuk terus melakukan tindakan melawan hukum tanpa takut akan konsekuensi dan hukuman yang berat. 


Oleh karena itu, penanganan yang cepat dan tegas terhadap kasus-kasus korupsi menjadi hal krusial dalam mempertahankan integritas dan efektivitas KPK serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum. Sangat penting bagi KPK untuk menunjukkan komitmennya dalam memberantas korupsi, tidak hanya di dalam jajarannya sendiri, namun juga di masyarakat luas. Dengan begitu kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap KPK nantinya juga akan meningkat.


Kemudian, jika berbicara terkait landasan hukum, kasus korupsi yang ada di Rutan KPK ini jelas bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 12 huruf a dan b Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji sebagai bentuk akibat atau disebabkan karena telah melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya maka akan dikenai pidana berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 


Maka dari itu, sudah dipastikan bahwa hukum positif Indonesia melarang secara tegas adanya segala bentuk praktik korupsi. Hal ini dikarenakan praktik korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat proses hukum yang seharusnya bersih dan profesional. Sehingga langkah tegas perlu diambil untuk memberantas korupsi dan memulihkan integritas sistem peradilan.


Akhir kata, kasus korupsi di Rutan KPK merupakan pengingat akan perlunya lembaga antirasuah tersebut dalam mengambil pendekatan yang lebih proaktif dan efektif dalam mencegah dan menangani korupsi. Pemecatan 66 pegawai tersebut merupakan langkah ke arah yang benar, namun hal ini hanya sekedar langkah awal dari upaya yang lebih luas untuk memastikan bahwa KPK adalah model integritas dan transparansi. KPK harus terus mengambil sikap tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan memastikan bahwa semua pegawai di bawah naungannya bisa bertanggung jawab atas tindakan atau perbuatan yang mereka lakukan.


Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Trunojoyo Madura.


Kategori : Opini


Editor      : ARS

1 Komentar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama