Tanpa 2 Alat Bukti yang Sah, Hanya Berdasarkan Chat dan Catatan, Lisa Rachmat Dituntut 14 Tahun Penjara

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Lisa Rachmat, pengacara Gregorius Ronald Tannur, dituntut penjara 14 tahun dan denda Rp750 juta, subsider enam bulan penjara. Tuntutan tersebut disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (28/5) lalu.


Ilustrasi

JPU Parade Hutasoit SH menyatakan, Lisa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi memberikan suap dan menerima gratifikasi. “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa (Lisa Rachmat) dengan pidana penjara 14 tahun," tegas JPU.


Terdakwa lain, Zarof Ricar dituntut 20 tahun penjara, dan Meirizka Wijaya 4 tahun.


Lisa didakwa memberikan suap kepada Erituah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo, majelis hakim di PN Surabaya yang menjatuhkan putusan bebas dalam dugaan kasus pembunuhan terhadap Dini Sera, dengan  terdakwa Ronal Tannur. JPU juga mendakwa Lisa melakukan permufakatan jahat bersama Jarof Ricar dalam penanganan perkara kasasi Ronal Tannur di Mahkamah Agung (MA).


Kuasa hukum Lisa, Andi Syarifuddin SH MH mengatakan, tuntutan JPU tidak berdasar dan mengabaikan fakta-fakta yang terungkap pada persidangan. Perkara suap yang dituduhkan kepada Lisa bukan karena tertangkap tangan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP.  


“Perkara tersebut telah terjadi beberapa bulan. Kemudian  dilakukan penggeledahan, penangkapan dan penyitaan,’’ beber Andi. Bahkan, ungkap Andi, “tidak ada  surat perintah penggeledahan, surat perintah penangkapan dan ijin penyitaaan dari pengadilan yang berwenang.”


“Untuk peristiwa pidana bukan karena ketangkap tangan,” lanjut Andi, “harus melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang disertai dengan adanya surat perintah penyelidikan dan penyidikan, surat perintah penangkapan, surat perintah penggeledahan dan ijin penyitaan dari pengadilan yang berwenang.”


Berdasarkan fakta tersebut, ujar Andi, “penggeledahan, penangkapan dan penyitaan yang tidak didahului dengan proses penyelidikan dan penyidikan yang sah adalah proses hukum yang tidak sah berdasarkan  KUHAP dan peraturan lainnya.”


Andi membeberkan, fakta yang terungkap di persidangan, Lisa Rachmat  diadili hanya berdasarkan bukti permulaan. Yakni  chat WA dan catatan-catatan yang bersumber dari barang bukti berupa catatan/buku dan henphone yang disita oleh JPU dari terdakwa.


Dr Muzakkir SH MH, ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang dihadirkkan di depan persidangan menjelaskan, suatu dugaan tindak pidana yang terjadi beberapa bulan sebelumnya, atau waktu lampau bukanlah masuk sebagai peristiwa ketangkap tangan. “Sehingga penangkapan, penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik tanpa didahului dengan proses penyelidikan dan penyidikan yang sah adalah tidak sah berdasarkan uandang-undang,” ujar Muzakkir


“Proses hukum yang diawali dengan cara tidak sah, kemudian terdakwanya di bawa ke pengadilan dan dijatuhi putusan bersalah dengan amar putusan sah dan meyakinkan bersalah,” tandas Muzakir,  “putusan tersebut tidak sah atau batal demi hukum.”


Chat WA dan catatan-catatan, merupakan bukti permulaan yang tidak boleh berdiri sendiri. “Harus ada minimal dua alat bukti utama yang sah sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 KUHAP yang menjelaskan perbuatan terdakwa yang secara nyata melakukan tindak pidana sebagaimana tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada terdakwa,” jelas Muzakkir.


Muzakkir melanjutkan, “apabila tidak ada alat bukti utama yang sah  yang mendukung bukti permulaan, maka proses hukum tersebut harus dihentikan dalam tahap penyelidikan dengan alasan tidak cukup bukti.”


Andi Syarifuddin menambahkan,  semua saksi fakta yang dihadirkan oleh JPU di  persidangan tidak melihat, tidak mendengar, tidak mengalami dan tidak  mengetahui tindakan Lisa melakukan penyuapan. 


“Semua saksi fakta yang dihadirkan JPU menjawab tidak tahu atau tidak mengerti,” beber Andi. Keterangan para saksi fakta, ujar Andi, “membuktikan tidak ada fakta yuridis yang menjelaskan bahwa benar Lisa  telah melakukan tindak pidana suap sebagaimana diuraikan di dalam dakwaan JPU.”


Di persidangan,  beber Andi, tidak ada satupun keterangan saksi, bukti surat, keterangan ahli, bukti petunjuk dan pengakuan terdakwa  yang menguatkan  Lisa  telah melakukan perbuatan suap kepada Majelis Hakim yang memutus bebas perkara Ronal Tanur. 


Terhadap pengakuan Hakim Erituah Damanik yang menerima uang  dari Lisa merupakan hal yang  berdiri sendiri. Tidak memenuhi syarat sebagai satu alat bukti saksi yang sah. “Erituah Damanik juga terdakwa sehingga keterangannya hanya berlaku untuk dirinya sendiri dan bukan untuk terdakwa lain,” kata Andi.


Andi mengungkap keterangan Lisa yang menyebutkan,  di BAP awal  Damanik tidak mengaku menerima uang dari Lisa. Tapi Damanik kemudian mengubah keterangannya. 


“Berdasarkan keterangan  Damanik yang disampaikan langsung kepada Lisa,” beber Andi, “bahwa dirinya mengaku  menerima suap dari Lisa, sekalipun faktanya tidak menerima uang suap dari Lisa, hanya karena ditahan di ruangan tahanan yang ber-AC.”


Andi mengingatkan,  Pasal 183 KUHAP jelas berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.


“Mengacu pada fakta persidangan dan  Pasal 183 KUHAP tersebut,  Lisa Rachmat harus dibebaskan dari segala tuntutun hukum, dan diputus bebas oleh majelis hakim pengadilan yang mengadilinya,” tandas Andi.


Tentang dakwaan permufakatan jahat, Andi menjelaskan,  permufakatan jahat harus memiliki kualitas yang sama antara  penyuap dan penerima suap. Penyuap memberi agar tujuannya tercapai, penerima suap menerima dengan cara menyalagunakan wewenangnya. Dalam perkara  tindak pidana korupsi suap yang  menyalagukan wewenangnya adalah penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil.  Berdasarkan Pasal 15 UU Tipikor perbuatannya tidak  bisa berdiri sendiri. Harus dihubungkan dengan Pasal 5 atau Pasal 6 UU Tipikor yang berkaitan dengan unsur penyalagunaan wewenang dalam perkara suap.


Dalam perkara ini, Lisa bersepakat dengan Jarof Ricar yang bukan lagi Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri Sipil. Perbuatan Pidana yang dituduhkan kepada Lisa tersebut tidak memenuhi unsur perbuatan pidana.


“Lisa tidak dapat dinyatakan bersalah dalam tindak pidana permufakatan jahat,  dan harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan dijatuhi putusan bebas oleh hakim pengadilan yang mengadilinya,” ujar Andi.


Andi mengingatkan, hendaknya putusan majelis hakim terhadap Lisa tidak bertentangan dengan tujuan hukum. Yakni menciptakan ketertiban, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat. “Setiap orang diperlakukan secara adil dan setara sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” kata Andi.


Andi juga sangat menyayangkan, tuntutan penjara 14 tahun tanpa adanya dua alat bukti yang sah diperberat hanya hanya karena Lisa  dianggap tidak kooperatif dalam persidangan. “Seharusnya tuntutan atau penjatuhan hukuman didasarkan pada bukti hukum, bukan sikap pribadi terdakwa di ruang persidangan,” tutur Andi.

 

“Atas nama tim kuasa hukum Lisa Rachmat, kami berharap majelis hakim yang mengadili perkara  ini dapat memberikan putusan bebas atau putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan fakta persidangan,” pungkas Andi.


Kategori : News


Editor     : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama