Reformasi Polri di Tengah Momentum Hari Bhayangkara: Tantangan dan Harapan Baru

Oleh: Dr. I Wayan Sudirta (Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan)


Pada 1 Juli 2025 ini, Bangsa Indonesia khususnya Polri memperingati Hari Bhayangkara ke-79 yang menandai masa eksistensi Polri di tengah masyarakat dalam berbagi banyak momen atau fenomena. Kita semua telah menyaksikan perjalanan Polri hingga saat ini yang penuh dengan tantangan dan hambatan. Sederet prestasi maupun catatan mewarnai perjalanan Polri hingga memasuki usianya yang ke-79. Berbagai slogan, moto, ataupun tagline telah dihasilkan untuk menggambarkan visi dan misi Polri dalam sejumlah kepemimpinan. 


Dr. I Wayan Sudirta, SH, MH. Ist

Polri telah memasuki berbagai tahapan dalam upaya mencapai “kedewasaan” atau kemandiriannya yang tentunya dipenuhi dengan prestasi maupun kegagalan, fluktuasi tingkat kepercayaan maupun kapasitas, hingga berbagai momen penting seperti politik nasional maupun global. Kini Polri mengurung tagline “Presisi” (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan) yang menunjukkan tahapan menuju Polri yang berkualitas dan kredibilitas tinggi (strive for excellence).


Lebih dari itu semua, berbagai catatan-catatan Polri, utamanya pasca-reformasi, selalu menjadi sebuah hal yang menarik. Hari Bhayangkara tentunya lebih dari sekadar seremoni. Pada setiap hari Bhayangkara, merupakan momen berharga bagi kita semua untuk melihat atau mengevaluasi kembali peran dan kinerja Polri. Momen ini menjadi titik tumpu bagi Polri—untuk meneguhkan panggilan reformasinya, memperbaiki diri, serta menjawab harapan publik. Hal ini tentang merefleksikan perjalanan dan masa depan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Apa yang kemudian menjadi citra dan kondisi, tantangan dan permasalahan, serta harapan masyarakat di hari Bhayangkara.


Citra Polri di Mata Masyarakat


Menarik untuk dicermati adalah bagaimana tingkat kepercayaan publik terhadap Polri serta upaya untuk pemulihan dan peningkatan kepercayaan dan kepuasan publik oleh Polri dari satu waktu ke waktu. Data statistik survei menunjukkan bahwa kepercayaan publik pada Polri cukup tinggi walaupun belum terbilang stabil terutama dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kasus internal Polri, prestasi Polri di kancah nasional dan internasional, akuntabilitas dan profesionalisme Polri di lapangan, hingga inovasi layanan publik.


Kita bisa mengambil contoh, daya tarik Polri terhadap publik yang sempat tergoncang pada Agustus 2022 (49,8 %), namun berhasil kembali naik secara signikan ke 76,4 % pada Juni–Juli 2023. Pada segmen penegakan hukum, kepercayaan publik juga tumbuh dari 49,8 % menjadi 74,8 %, sementara kepercayaan kepada Polri dalam hal pembasmi korupsi naik dari 63,9 % ke 69,2 %. Pada 2022 menurut survei Indopol dan Litbang Kompas, tingkat citra kepercayaan publik terhdap Polri berkisar antara 55-69%. Angka ini kemudian meningkat tajam ke 65-87% (LSI dan Litbang Kompas) pada berikutnya. Survei Puslitbang Polri dan Lemkapi pada tahun 2024 menunjukkan angka stabil pada 82-84%. 


Sedangkan pada tahun ini, tingkat kepuasan mencapai 70-87% (Indikator Politik dan Survei KedaiKopi), namun tingkat kepercayaan terhadap Polri baru menyentuh angka 31% (survei Civil Society for Police). Dari sisi lain, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada April 2025 mencatat hanya 50,3 % responden yang puas dengan tingkat transparansi Polri. Selanjutnya 51,6 % mendukung revisi KUHAP agar penyidik Polri setara dengan lembaga lain. Ini mencerminkan masih adanya ketimpangan antara tren pemulihan kepercayaan dengan ketidakpuasan terhadap keterbukaan institusi secara struktural. 


Masyarakat tentu tidak terlupa juga dengan berbagai fenomena gerakan kritis seperti no viral no justice, percuma lapor polisi, dan lainnya yang pernah menjadi momok bagi citra Polri disamping berbagai pelanggaran oleh oknum Polri yang pernah viral di media. Angka-angka dan peristiwa-peristiwa tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa Polri memang sangat menarik perhatian masyarakat, mengalami fluktuasi tingkat kepuasan dan kepercayaan publik, dan mencerminkan harapan masyarakat kepada Polri untuk segera melakukan transformasi.


Catatan Perjalanan Polri


Dalam berbagai fenomena hukum yang terjadi, kita tentu dapat mengambil beberapa faktor dan tema yang mengiringi upaya untuk meningkatkan kredibilitas Polri. Pertama adalah mengenai budaya kekerasan yang masih terjadi pada Polri. Laporan Setara Institute (pada Oktober 2024) misalnya, mencatat adanya budaya kekerasan yang melekat, termasuk penyiksaan, pemaksaan pengakuan, dan pemalsuan tanda tangan. Selain itu masih adanya penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran hukum atau etik lainnya. Akuntabilitas masih minim dan penanganan oknum sering tidak diikuti sanksi yang tegas. 


Selain itu, adanya beberapa kasus yang terjadi di tahun 2024-2025 yang bersentuhan dengan professionalism Polri. Misalnya, kasus penembakan terhadap siswa SMK di Semarang, Pembunuhan oleh oknum Polri di Bogor, penganiayaan tahanan di Jambi dan Sulawesi Tengah, pelecehan seksual terhadap anak di NTT, kasus pemerasan DWP, Pengendalian atau keterlibatan dengan Narkoba di sejumlah wilayah, termasuk penjualan senjata ilegal di Papua. Kasus-kasus tersebut merupakan permasalahan yang mencoreng nama baik Polri. Namun harus diakui pula bahwa Polri telah memberikan sanksi tegas dan proses hukum yang responsif, walau terkadang masih mendapat citra “melindungi teman sendiri”.


Kedua, kelemahan Polri dalam menghadirkan transparansi. Citra keterbukaan dan transparansi masih menjadi catatan untuk dapat dilakukan pembenahan. Layanan inovatif Polri seperti digitalisasi layanan (SIM, STNK, SKCK, dan Pengaduan Online) patut mendapat apresiasi tinggi, namun dalam fungsi penegakan hukum, citra Polri masih tertutup atau tidak transparan. Selain itu, pelayanan publik juga masih berkutat pada wilayah-wilayah dengan kota besar daripada wilayah lainnya yang masih mencirikan dengan lamban dan rawan dengan pungli.


Ketiga, soal responsivitas Polri yang mengalami naik-turun. Di era digital, framing media terhadap beberapa kasus juga menggerus legitimasi institusi Polri. Peranan Polri diibaratkan sangat mewakili Pemerintah dan kekuasaan yudikatif, sehingga rawan pula dengan isu politisasi dan keterlibatan dengan tindak pidana atau mafia hukum. 


Namun begitu, Komisi III DPR mencatat pula bahwa responsivitas Polri dalam menjawab berbagai permasalahan yang viral maupun mendapat potret dari berbagai media dan pihak cukup cepat sehingga juga memberikan harapan dan angin segar bagi masyarakat. Polri yang kini telah didukung dengan peralatan canggih hingga infrastruktur baru (seperti direktorat siber) memegang peranan yang sangat penting untuk menghadirkan Polri dan Negara yang menjadi sahabat masyarakat, mudah diakses, dan diawasi.


Harapan Baru Polri


Dari berbagai tantangan dan catatan tersebut, masyarakat kini menatap harapan baru di hari Bhayangkara ini. Polri diharapkan mampu secara nyata menghadirkan transformasi. Terdapat sejumlah harapan publik terhadap Polri untuk menghadirkan Polri yang Presisi serta profesional, adil, independen, dan berintegritas. 


Untuk itu, wujud nyata dari transformasi ini adalah upaya bersama Polri dan seluruh pihak untuk mewujudkan sistem kinerja Polri yang transparan dan akuntabel. Kedepannya, perlu adanya pengawasan yang independen dan efektif untuk menilai profesionalisme dan akuntabilitas, terutama dalam melayani dan mengayomi masyarakat. Pasca kasus Ferdi Sambo dan Teddy Minahasa yang sangat menyedot perhatian masyarakat untuk melakukan pembenahan terhadap Polri secara besar-besaran, masyarakat kini menatap pada keseriusan dan konsistensi Polri untuk menghadirkan reformasi kultur dan struktur Polri, keterbukaan, dan pembangunan integritas dan kapasitas anggota Polri.


Selain itu, dalam mewujudkan reformasi budaya dan tata kelola Sumber Daya Manusia, Polri perlu melakukan sejumlah pembenahan dari sistem rekrutmen, pendidikan, pelatihan, hingga meritokrasi kerja dan pengisian atau penempatan jabatan. Polri harus mampu menghadirkan citra Polri sebagai sahabat masyarakat yang adil, berkapasitas, dan berintegritas. 


Ke depannya, Polri juga harus didukung dengan sistem digitalisasi layanan yang lebih cepat, responsif, dan transparan. Melalui dukungan tersebut, Polri juga dapat meningkatkan komunikasi publik melalui sosialisasi dan narasi yang seimbang untuk senantiasa menjaga kredibilitasnya. Harapan besar selanjutnya adalah bagaimana Polri menjaga kemandirian dan independensinya, terutama dalam fungsi penegakan hukum. 


Tentang bagaimana Polri dapat secara netral dan tidak memihak terhadap kekuasaan atau politisasi, sekalipun berdiri di ranah eksekutif. Polri yang memiliki fungsi penegakan hukum dan pelindung masyarakat mampu untuk menyeimbangkan perannya antara Polri sebagai penjaga dan pemelihara keamanan dan ketertiban – dengan pelindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan pelayanan masyarakat yang optimal. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia menjadi salah satu indikator utama dalam penilaian nantinya. Penegakan hukum oleh Polri harus independen, tidak pandang bulu, dan tidak terarah semata hanya pada pelindungan kekuasaan (tajam ke bawah tumpul ke atas).


Hari Bhayangkara adalah sebagai titik pemantik reformasi. Oleh sebab itu, hari Bhayangkara harus dijadikan momentum evaluasi dan pelurusan reformasi. Citra Polri harus terus ditingkatkan dengan menghapus berbagai kelemahan dan celah secara komprehensif dan menyeluruh. Budaya Polri sebagai pelindung HAM dan pengayom masyarakat atau garda terdepan dalam pemelihara stabilitas keamanan dan ketertiban perlu untuk diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan masyarakat. 


Polri yang transparan, profesional, berkeadilan, berintegritas, dan berkualitas menjadi tujuan baru yang sangat perlu untuk dipahami setiap insan di Polri. Harapan publik di Hari Bhayangkara 2025 ialah agar reformasi bukan sekadar slogan—melainkan tindakan sistemik: membuka pengawasan independen, menegakkan disiplin, memodernisasi layanan, dan menjaga netralitas. Seperti kata pepatah bahwa “kepercayaan bukan hadiah, melainkan tanggung jawab yang harus diperbarui setiap hari.” Semoga refleksi ini mendorong pergerakan nyata dalam mewujudkan Polri yang profesional, humanis, dan sepenuhnya dipercaya rakyat. 

Selamat Hari Bhayangkara ke-79!


Kategori : Opini


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama