Oleh: Shilva Lioni
Dosen Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Permasalahan tumbuh kembang anak seperti kenakalan remaja, kesulitan mengontrol emosi, tantrum, speech delay, dan gadget adiktif merupakan permasalahan-permasalahan populer yang dihadapi dan tak terelakkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat pada saat sekarang ini.
![]() |
Shilva Lioni |
Anak merupakan anugerah langsung dari Tuhan yang Maha Esa. Dalam menghadapi kompleksnya fase tumbuh kembang seorang anak, para orang tua seringkali melupakan fase-fase penting dalam hidup sang anak dan bahkan luput untuk menyadari betapa penting dan besarnya pengaruh yang dapat ditimbulkan orang tua dalam kehidupan sang anak kedepannya baik itu dalam membentuk sikap, kepintaran, emosi, dan karakter. Seorang anak memerlukan sebuah proses untuk tumbuh, baik secara emosional maupun fisikal. Ada fase-fase yang harus dan akan dilewatinya sebelum sampai pada proses pematangan.
Untuk menjadikan seorang anak hebat dibutuhkan sebuah proses serta didikan yang panjang, dan bentuk tindak bahasa serta sikap orang tuanya dalam hal ini dapat menjadi kunci penentu. Ibarat sebuah lukisan, sebelum menjadi sebuah lukisan ciamik nan indah, goresan garis per garis, titik per titik, warna per warna perlu ditorehkan terlebih dahulu, begitu juga dengan seorang anak. Titik, garis, dan warna yang ditorehkan dalam diri sang anak dalam hal ini dapat meliputi hal-hal yang disampaikan, digunakan, dan dicontohkan oleh orang tua terhadap anaknya.
Lebih lanjut sebagai sebuah ilustrasi kita dapat analogikan melalui sebuah keadaan ketika seorang orang tua mengharapkan anaknya untuk tidak tantrum. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mungkin hal tersebut dapat terlaksana jika orang tua sang anak tidak pernah mau menerima dan mengelola proses itu dengan baik sebelumnya. Kita sebagai orang tua juga tidak bisa mengharapkan seorang anak mampu dan lancar untuk berbahasa tanpa sekalipun pernah memberikan input dan pengalaman yang memadai.
Sama halnya juga dengan kondisi disaat kita sebagai orang tua tidak bisa mengharapkan anak kita tumbuh menjadi anak yang percaya diri, namun dalam seisi hidupnya kita tidak pernah mampu memberikan pilihan kepadanya dan justru sibuk untuk membanding-bandingkannya. Hal inilah juga yang terjadi pada situasi ketika seorang anak tidak mampu menjawab ketika dilemparkan sebuah pertanyaan tertentu. Jawabannya yakni karena orang tua sang anak yang tidak pernah memberikan pengalaman atau mengenalkan maupun memvalidasi hal tersebut sebelumnya kepada sang anak.
Sebuah pemahaman pada dasarnya muncul dari sebuah pengalaman baik itu pengalaman fisik ataupun pengalaman leksikon seperti pernah mendengar dan menyimpan hal tersebut sebelumnya atau bahkan sekedar ingat dalam ingatan. Sementara itu sebuah implementasi dan aplikasi lahir dari sebuah pemahaman. Begitulah cara kerja tumbuh kembang anak.
Tumbuh kembang seorang anak pada dasarnya sangatlah bergantung pada didikan yang diterimanya dari lingkungan sekitarnya. Tuturan atau cara berbicara dalam hal ini bukan sekadar alat komunikasi, namun juga media sarana transfer nilai, penanaman norma, bahkan cermin dari pola asuh. Ketika dunia seseorang anak hanya dipenuhi dengan perbandingan, cacian, teriakan, ancaman, dan suruhan, maka tidak mustahil kemudian seseorang dengan karakter penakut, takut salah, tidak percaya diri, emosional, dan selalu ingin tampil perfeksionis akan tumbuh. Hal inilah yang dikenal sebagai sistem kerja input dan output.
Istilah input merujuk pada suatu hal esensial yang dapat menstimulus pematangan sistem saraf dan mengaktivasi pematangan sistem saraf. Input sangat berpengaruh terhadap perkembangan diri seorang anak. Dalam studi ilmu bahasa yakni linguistik bahkan dijelaskan bagaimana pentingnya dan bermaknanya kehadiran input dalam menunjang tumbuh kembang anak terutama bahasa. Seorang anak tidak akan menjadi seorang pemarah atau lembut hatinya, rendah diri maupun percaya diri, tanpa input yang tumbuh dari lingkungan sekitarnya yakni seperti dimana ia lahir dan tumbuh serta melihat dan mencontoh karakter orang sekitarnya.
Ibarat seperti sebuah lukisan yang kita ilustrasikan sebelumnya, input dalam hal ini merupakan setiap coretan yang hadir sementara kanvas putih adalah memori anak. Pengalaman, pemahaman, dan pengetahuan yang diterima dan ditorehkan dalam hidupnya akan mengajarkan anak untuk dapat berkomunikasi dan bertindak. Ketika seorang anak mampu menggunakan sebuah kata maupun mengambil sebuah tindakan serta memutuskan bagaimana ia akan bertindak maka itu menunjukkan bahwasanya ia memiliki pemahaman dan pengalaman terkait dengan hal tersebut.
Anak adalah peniru ulung. Mereka belajar bukan hanya dari apa yang diajarkan secara formal, tetapi dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan setiap hari, dan dalam proses tumbuh kembangnya orang tua memegang peran sentral dalam hal ini. Menjadi orang tua tentu bukanlah perkara mudah. Dalam tekanan, kelelahan, atau kesibukan, sangat wajar jika terkadang keluar kata-kata yang tidak ideal, namun kesadaran akan dampak jangka panjang dari tutur kata dan sikap yang dipertontonkan pada sang anak diharapkan mampu menjadi langkah awal menuju pola komunikasi yang lebih membangun.
Kategori : Opini
Editor : AHS
Posting Komentar