Universitas Simalungun Pastikan Keberadaan PT TPL Tidak Lakukan Pencemaran dan Kerusakan di Danau Toba

MEDAN, suarapembaharuan.com - PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) salah satu perusahaan penghasil Pulp di Indonesia. Berada di provinsi Sumatera Utara, perusahaan berbahan baku Eucalyptus ini kembali mendapat tudingan dan fitnah dari sejumlah  Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).


Rektor Universitas Simalungun (USI) Dr. Sarintan Efratani Damanik, S.Hut, M.Si.

Sejak perusahaan ini berubah nama dari Inti Indorayon Utama (IIU) menjadi TPL pada tahun 2003, perusahaan tersebut diterpa berbagai fitnah dan tudingan tanpa fakta yang jelas.


Mulai dari pencemaran air di kawasan Danau Toba (1998), pengrusakan tanaman endemik Andaliman dan Kemenyan (2005-2014), tudingan mengambil alih tanah adat di Tapanuli Raya (2014-2024), sampai kepada tudingan melakukan pengrusakan ekologi di kawasan Danau Toba (2025).


Tudingan dan fitnah tanpa dasar dan fakta ini seperti sudah tersusun dalam skenario, dan disesuaikan dengan kepentingan suatu kelompok diduga juga dalam upaya persaingan bisnis perdagangan Pulp dunia.


Berikut hasil wawancara sejumlah media dengan Rektor Universitas Simalungun (USI) Dr. Sarintan Efratani Damanik, S.Hut, M.Si, salah satu kampus yang memiliki Program Studi Kehutanan Jurusan Managemen Hutan di Sumatera Utara.


1. Tudingan bahwa pencemaran Danau Toba disebabkan oleh aktivitas industri kehutanan, bagaimana pendapat anda?


"Kita perlu bicara berdasarkan kajian yang obyektif. Justru dari hasil penelitian yang dilakukan World Bank bekerjasama dengan pemerintah pusat, provinsi dan daerah di kawasan Danau Toba tahun 2018 yang lalu, bahwa pencemaran air Danau Toba berasal dari aktivitas kerambah jaring apung. 


Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa proses biogeokimia di danau masuk melalui sistem pembuangan ke alur sungai," kata Rektor sambil menunjukkan link hasil penelitian https://documents1.worldbank.org/curated/en/899651564470684307/pdf/Improving-the-Water-Quality-of-Lake-Toba-Indonesia.pdf


Sarintan mengatakan dari hasil penelitian tersebut jelas bahwa nutrisi diserap oleh alga (fitoplankton) yang menghasilkan oksigen melalui fotosintesis, dan mengonsumsi oksigen melalui respirasi. Hal ini mengakibatkan variasi oksigen harian di Danau Toba, dengan konsentrasi oksigen meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari. 


Ketika alga mati, mereka berubah menjadi detritus yang mengendap di lapisan danau yang lebih dalam. Detritus dapat terakumulasi di hipolimnion (lapisan bawah kolom air). 


Di sana, detritus dapat dimineralisasi kembali menjadi nutrisi anorganik. Karena proses mineralisasi mengonsumsi oksigen, hal ini menurunkan konsentrasi oksigen di lapisan danau yang lebih dalam. Selain itu, proses fermentasi dapat menyebabkan akumulasi metana atau karbon dioksida lokal.


"Di danau yang dalam, seperti Danau Toba, pertumbuhan alga biasanya dibatasi oleh cahaya. Hal ini disebabkan oleh kedalaman epilimnion (lapisan permukaan air) yang besar tempat alga bercampur," tutur Sarintan mengungkap hasil fakta penelitian World Bank.


2. Persepsi bahwa tanaman eukaliptus itu rakus air dan merusak sumber air masyarakat.


"Tuduhan ini memang menjadi stigma yang sering beredar. Tapi bila kita melihat hasil kajian dari Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli tahun 2021, bahwa secara tegas dinyatakan Hutan Tanaman Industri (HTI) TPL dikawasan Danau Toba, tidak berdampak signifikan terhadap ketersedian air tanah maupun ekosistem lokal.


Dan hasil penelitian kebutuhan air untuk pertumbuhan ekaliptus berkisar antara 815 – 916 mm per tahun dengan water use efficiency antara 0,0008 – 0,0123 (m3 kayu yang dihasilkan dari m3 air). Sehingga tidak berdampak dengan tingginya permukaan air Danau Toba.


Jika dibandingkan dengan tanaman kehutanan yang lain seperti pinus maka kebutuhan air eucalyptus relatif masih lebih kecil. Menurut beberapa literature,  kebutuhan air dari tanaman pinus yang berdaun jarum lebih tinggi dari tanaman berdaun lebar seperti ekaliptus," katanya.


Sarintan Efratani Damanik  juga mengatakan hasil penelitian BPK Aek Nauli juga dapat di akses secara terbuka dan di publish ke sejumlah media https://www.suarapembaharuan.com/2021/09/kajian-pengaruh-hti-ekaliptus-terhadap.html.


"Kebutuhan air dari pinus berkisar antara 1002 – 1253 mm/tahun dan untuk tanaman pinus muda mencapai 1539 mm/tahun. Kebutuhan air untuk tanaman pertanian juga relatif besar seperti untuk jagung yang mencapai 1635 mm/tahun, tanaman padi yang mencapai 200 – 700 mm/100 hari atau tanaman kopi yang memerlukan curah hujan antara 2500 – 3000 mm/tahun.

Q

Jadi HTI eukaliptus yang dikelola TPL di wilayah sekitar Danau Toba tidak berdampak signifikan terhadap ketersediaan air tanah maupun ekosistem lokal. Ini penting diketahui masyarakat agar tidak terbawa oleh opini yang tidak berbasis data.," katanya. 


3. Isu bahwa banjir bandang di Parapat disebabkan oleh aktivitas industri HTI.

 

"Kalau menurut saya tudingan ini juga sudah dilakukan kajian dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH II) Pematangsiantar, dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sumatera Utara. Ini juga bisa di akses dan sudah di rilis hasilnya di Media,https://sumut.antaranews.com/berita/616673/penyempitan-sungai-batu-gaga-diduga-penyebab-banjir-bandang-parapat). (https://www.hariansib.com/v1/Headlines/422237/longsor-dan-banjir-di-parapat-akibat-aliran-sungai-batugaga-tersumbat/).


Serta hasil penyelidikan Tim Pansus DPRD Simalungun yang disampaikan oleh Wakil Ketua Pansus, Bernhard Damanik SE (https://www.sumutpos.id/2025/04/penyebab-banjir-bandang-di.html), secara konsisten menyatakan bahwa banjir bandang yang terjadi tidak disebabkan oleh aktivitas PT TPL," ungkap Rektor.


Menurutnya jelas penyebab utama kejadian tersebut adalah penyempitan aliran Sungai Batugaga akibat longsor alami yang menutup jalur sungai. Curah hujan yang tinggi dan terus-menerus menyebabkan aliran sungai tidak mampu menahan debit air, sehingga meluap dan membawa lumpur serta material batu ke permukiman warga.


4. Audit lingkungan juga disebut-sebut sudah dilakukan terhadap TPL.


"Universitas Simalungun sudah seriang melakukan kerjasama dan saling mendukung dunia pendidikan dengan perusahaan TPL. Audit lingkungan secara komprehensif sudah dilakukan terhadap TPL, dari hulu ke hilir. 


Saya rasa, kalau publik ingin tahu hasilnya, sebaiknya ditanyakan langsung ke instansi yang berwenang, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka yang memiliki otoritas dan data lengkap," katanya.


5. Bagaimana Anda melihat pernyataan dari salah satu pimpinan gereja terkait seruan penutupan TPL?


"Saya percaya pimpinan gereja menyuarakan kepedulian berdasarkan informasi yang mereka terima. Tapi saya juga berharap bahwa penilaian terhadap sebuah perusahaan atau kebijakan publik dilakukan berdasarkan data dan kajian dari institusi resmi seperti Kementerian Lingkungan Hidup, atau kajian ilmiah yang terbuka,' ungkap Rektor USI.


6. Ada tudingan bahwa TPL justru merusak hutan. Apa tanggapan Anda?


"Kalau soal tudingan ini saya pasti kurang sependapat. Karena TPL justru hidup dari hutan, bahan bakunya berasal dari hutan tanaman industri yang dikelola sendiri. Karena itu, mereka wajib menjaganya agar bisnisnya berkesinambungan.


Satu rotasi tanaman eucalyptus berlangsung sekitar lima tahun. Selama itu hutan dijaga, dan setelah panen, langsung ditanam kembali. Tanpa kelestarian hutan, perusahaan tidak akan bertahan. Jadi merawat hutan adalah bagian dari kelangsungan usaha mereka sendiri," tutur Rektor USI Sarintan Efratani Damanik. 


Kategori : News


Editor      : ARS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama