Oleh : Manuntun Parulian Hutagaol, Guru Besar pada IPB University
Setelah seruan tutup PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) yang digaungkan oleh seorang tokoh gerejawi bulan lalu, sekarang klaim tanah adat atas tanah konsesi TPL kembali marak. Kelihatannya klaim tanah adat tersebut dimaksudkan untuk memperkuat alasan penutupan TPL. Pertanyaannya adalah apakah pengalihan status hak tanah tersebut akan mendukung kelestarian lingkungan hidup di Kawasa Danau Toba (KDT)? Pertanyaan ini sangat relevan untuk diinvestigasi mengingat bahwa kerusakan lingkungan adalah alasan utama dibalik seruan tutup TPL tersebut di atas.
![]() |
Guru Besar IPB, Manuntun Parulian Hutagaol. |
Keberadaan Tanah Adat dan Masalah Kerusakan Lingkungan
Tanah adat tidak sama dengan tanah milik pribadi dan juga berbeda dengan tanah negara yang dikelola oleh perusahaan komersil berdasarkan konsesi seperti tanah yang TPL kelola. Tanah adat adalah tanah milik bersama. Pemiliknya adalah para anggota komunitas yang mengajukan klaim tanah adat atas tanah negara. Berbeda dengan tanah milik pribadi yang dikelola secara individual oleh pemiliknya, pengelolaan tanah adat dilakukan secara bersama untuk kepentingan bersama.
Gerrit Hardin (1968) telah mengkritik keberadaan tanah yang pemilikannya secara komunal seperti tanah adat. Menurutnya tanah milik bersama akan rusak karena tidak dirawat para pemiliknya. Sebagai akibatnya produktivitasnya menurun. Bila dibiarkan maka suatu saat tanah tersebut akan kehilangan kapasitas produksinya sehingga tidak berguna lagi untuk mendukung kehidupan para pemiliknya. Sebagai konsekuensinya tanah tersebut akan dibiarkan terlantar. Tanah yang terlantar menyebabkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan akan mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat sekitarnya karena kerusakan tersebut akan mengakibatkan tanah longsor dan banjir.
Mengapa tanah milik bersama tersebut tidak terawat? Sebab, menurut Hardin, masing-masing anggota komunitas fokus pada upaya mengambil sebanyak mungkin benefit yang dihasilkan oleh tanah adat sehingga upaya konservasinya terabaikan. Padahal, konservasi tanah dibutuhkan untuk menjaga dan memperbaiki kapasitas produksinya sehingga produktivitasnya tidak menurun tetapi meningkat. Namun, konservasi tersebut membutuhkan investasi yang tidak sedikit dan perlu waktu yang relatif panjang untuk pengembaliannya melalui kenaikan produktivitas tanahnya. Seorang investor akan melakukan investasi untuk konservasi tanah hanya bila dia mempunyai hak eksklusif atas kenaikan produktivitas setelah kegiatan konvervasi dilakukan. Karena pemilikan bersama klaim hak eksklusif atas benefit yang dihasilkan dari investasi yang ditanamkan dalam konservasi tersebut tidak mungkin dilakukan oleh pihak investor.
Halnya berbeda bila tanah tersebut dimiliki seseorang secara pribadi (hak milik pribadi) atau tanah dikuasai oleh suatu perusahaan berdasarkan hak konsesi dari negara (hak konsesi). Bila tanahnya milik pribadi, pemilik mempunyai insentif yang kuat untuk melakukan upaya-upaya untuk merawat dan meningkatkan kualitas tanahnya (tindakan konservasi). Pemiliknya tidak akan ragu untuk melakukan konservasi atas tanahnya meskipun investasinya besar sebab dia mempunyai hak eksklusif atas hasil produksi tanah tersebut. Selain itu, konservasi yang berdampak pada peningkatan produktivitasnya juga akan membuat harga pasar tanahnya meningkat. Potensi peningkatan harga jual tersebut menambah dorongan bagi pemilik tanah untuk melakukan investasi dalam konservasi tanah miliknya tersebut.
Dalam hal insentif untuk konservasi, perusahaan seperti TPL yang menyewa tanah negara untuk budidaya Eucalyptus juga mempunyai dorongan yang kuat untuk merawat tanah konsesinya. Soalnya keuntungan usaha dan keberlanjutannya sangat tergantung pada produktivitas tanah konsesi tersebut dalam menghasilkan kayu serta ketersediaannya dalam jumlah yang cukup secara berkelanjutan. Oleh karena itu, perusahaan akan berusaha keras merawat tanah konsesinya agar tetap produktif menghasilkan kayu yang merupakan bahan baku untuk pembuatan pulp.
Elinor Ostrom (1990) menolak pendapat Gerrit Hardin tersebut di atas. Menurutnya pendapat Hardin mengenai kerusakan tanah milik bersama, seperti tanah adat tersebut di atas, bukanlah suatu fenomena umum di dunia ini. Di berbagai negara, berbagai jenis sumberdaya alam (SDA) dengan pemilikan komunal tetap terkonservasi baik, meskipun sudah digarap secara kolektif selama ratusan tahun. Temuan ini membuktikan adanya faktor selain apa yang disebutkan oleh Hardin berperan dalam menentukan apakah tanah komunal seperti tanah adat akan terkonservasi dengan baik atau terlantar.
Dari penelitian Ostrom (1990; 2005) dapat disimak ada dua faktor kunci yang berperan dalam menentukan konservasi SDA milik bersama yang dikelola secara kolektif. Faktor pertama adalah adanya kerjasama yang solid di antara para anggota komunitas. Kerjasama ini menyangkut merumuskan aturan pengelolaan, hak dan kewajiban serta menegakkannya secara kolektif. Faktor kedua ketergantungan yang tinggi dari masing-masing anggota dalam memenuhi kebutuhannya pada penghasilan yang diperoleh dari pemanfaatan SDA milik bersama tersebut. Ketergantungan inilah yang membuat para anggota komunitas harus koperatif dalam pengelolaan dan merawat SDA tersebut. Sebab keberlanjutan kehidupan mereka dan komunitasnya tergantung produktivitas SDA yang mereka kelola dan keberlanjutannya.
Kata adat yang melekat pada perkataan tanah adat mengandung makna tradisi. Tradisi menyangkut kebiasaan yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Aturan-aturan dalam pemanfaatan tanah adat tentunya tidak dibuat oleh pemiliknya sekarang melainkan oleh nenek moyang mereka. Demikian juga halnya dengan mekanisme penegakannya dan sanksi yang dikenakan bila terjadi pelanggarannya mereka tidak merumuskan sendiri, melainkan mereka mewarisi dari nenek moyangnya. Komunitas yang mengelola tanah adat dengan aturan-aturan yang diwarisi dari nenek moyang disebut masyarakat adat. Singkatnya, tanah adat dimiliki oleh masyakat adat yang mengelolanya sesuai aturan-aturan yang mereka warisi dari para generasi pendahulu.
Pertanyaan yang relevan adalah mengapa suatu komunitas masyarakat adat taat melakukan aturan-aturan adat dalam pengelolaan tanah adatnya secara kolektif sehingga tanah adat tersebut tetap terawat secara baik? Di sinilah letak pentingnya peran faktor kedua tersebut. Ketergantungan mereka akan pendapatan yang dihasilkan dari pengolalaan tanah tersebut akan menentukan ketaatan mereka. Ketergantungan yang tinggi membuat mereka akan menjunjung tinggi aturan-aturan yang diwarisi dari nenek moyangnya sebab keberlanjutan hidup dan komunitas adat mereka sangat tergantung pada tegaknya aturan-aturan tersebut.
Ketergantungan tinggi seperti ini terjadi hanya bila komunitas tertutup terhadap dunia luar. Mereka menghidupi keluarga dan komunitasnya dari hasil produksi yang dihasilkan tanah adatnya secara eksklusif, sehingga mereka merasa perlu untuk menjaga kemampuan produksinya tidak merosot dengan melakukan konservasi. Implikasinya, masyarakat adat yang aktif terlibat dalam perekonomian pasar dan menghidupi keluarganya tidak hanya dari hasil yang diperolehnya dari mengelola tanah adat secara kolektif tidak akan punya minat melakukan upaya konservasi untuk merawat produktivitas tanah adatnya. Sebagai akibatnya, tanah adat tersebut akan kehilangan kapasitas produksinya. Bila dibiarkan, maka kelak tanah adat tersebut akan menjadi tanah tidak berguna sebab tidak mempunyai kemampuan produksi lagi. Akhirnya tanah tersebut ditelantarkan oleh para pemiliknya. Tanah telantar akan merusak lingkungan.
Di Indonesia, salah satu contoh masyarakat adat yang memenuhi kriteria-kiriteria ketaatan pada aturan-aturan adat yang diwarisi dari generasi pendahulunya adalah masyarakat Badui yang hidup di pelosok Provinsi Banten. Sampai sekarang masyarakat adat ini masih relatif tertutup. Transaksi ekonomi dengan masyarakat luar hampir tidak ada. Mereka menghidupi dirinya secara mandiri dari pengusahaan tanah adatnya. Tanah adat dan hutan yang ada di dalam kawasan tanah adat terkonservasi dengan baik sehingga hingga saat ini belum pernah terjadi banjir dan tanah longsor di kawasan Badui.
Hutan tropis yang berada di Kawasan Amazon merupakan hutan tropis terluas di dunia. Di dalam kawasan hutan Amazon ada berbagai komunitas adat Indian Amerika. Mereka hidup secara eksklusif, hampir tidak berinteraksi dengan masyarakat di luar komunitasnya. Kebutuhannya dipenuhi secara mandiri dari mengelola tanah adatnya. Akhir-akhir ini marak pembukaan hutan oleh berbagai perusahaan multi-nasional untuk pembangunan berbagai macam perkebunan dan untuk pembangunan kawasan peternakan sapi skala besar.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran hilangnya hutan tropis Amazon yang merupakan “paru-paru” dunia. Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah ancaman yang ditimbulkannya terhadap eksistensi komunitas-komunitas masyarakat Indian yang ada di dalam kawasan. Pembukaan hutan telah mengancam keberadaan tanah adat mereka. Tanpa tanah adat yang lestari, mereka ini tidak akan mampu bertahan hidup. Untuk merespon situasi ini, berbagai LSM internasional menggulirkan suatu program perlindungan tanah adat di kawasan Amazon. Tujuannya adalah meredam ancaman tersebut di atas.
Perubahan Status Tanah Konsesi TPL Menjadi Tanah Adat Berpotensi Memperburuk Kualitas Lingkungan Hidup di KDT
Dari diskusi tersebut di atas, dapat disimpulkan suatu komunitas masyarakat mampu mengelola tanah adatnya secara lestari hanya bila komunitasnya tertutup dan tergantung secara eksklusif pada hasil produksi dari tanah adatnya dalam memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Bila kondisi ini tidak terpenuhi maka tanah adat tersebut akan mengalami nasib yang serupa dengan apa yang Gerrit Hardin prediksi. Kualitas tanah adat tersebut terdegradasi karena para anggota komunitas hanya fokus pada maksimisasi produksinya.
Pertanyaannya adalah apakah masyarakat adat yang menuntut tanah adat atas tanah konsesi TPL tersebut di atas memenuhi kedua ciri masyarakat adat yang pro-konservasi yang baru saja dijelaskan? Sejauh ini belum pernah ada berita mengenai keberadaan masyarakat adat yang tertutup dan memenuhi kebutuhannya secara eksklusif dari mengolah tanah komunal. Masyarakat tani di KDT mengelola tanah pertanian miliknya sendiri atau menggarap tanah yang diperoleh dari pihak lain dengan perjanjian sewa atau bagi hasil.
Masyarakat Batak di KDT sudah sangat terbuka pada perekonomian pasar. Dari zaman sebelum merdeka pasar-pasar tradisional sudah tersebar sampai ke pelosok-pelosok KDT. Pasar tradisional yang dikenal dengan sebutan “onan” beroperasi sekali seminggu dengan pengaturan jadwal agar pasar bergilir dari satu lokasi ke lokasi lain. Pasar tersebut bukanlah pasar barter, tapi pasar di mana uang kartal digunakan sebagai alat transaksasi. Banyak dari mereka ini yang menjadi pedagang di pasar tradisional tersebut. Bahkan mereka berdagang berpindah-pindah dari satu “onan” ke “onan” lain mengikuti jadwal pasar. Berdasarkan fakta-fakta ini dapat dikatakan tidak mungkin di KDT ada komunitas masyarakat adat yang tertutup pada dunia luar dan tergantung secara eksklusif pada tanah adatnya.
Implikasinya, mengubah status tanah negara yang dikelola TPL menjadi tanah adat dan menyerahkankan pengelolaannya pada komunitas masyarakat adat lokal justru akan sangat potensil membuat tanah tersebut terlantar tidak terawat karena masing-masing anggota komunitas masyarakat adat menerima tanah tersebut akan fokus untuk mengambil benefit yang hasil tanah adat tersebut tanpa ada niat untuk melakukan tindakan konservasi untuk melestarikan kapasitas produksinya. Masalahnya adalah konservasi tanah adat membutuhkan kerjasama yang solid di antara para anggota komunitas adat, sementara tidak ada faktor pengikat yang membuat mereka mau bekerjasama solid dalam melaksanakan konservasi tanah adatnya.
Kerusakan lingkungan akan membuat masyarakat semakin menderita dan semakin miskin. Menurut Simon Kuznets kemiskinan adalah salah satu faktor pemicu kerusakan lingkungan. Untuk mencegahnya kemiskinan harus diberantas melalui pembangunan ekonomi yang berkelanjutan agar semua masyarakat menikmati kemakmuran. Kemakmuran akan membuat masyarakat pro-pelestarian lingkungan. Industrialisasi akan menghapus kemiskinan di KDT. Terhapusnya kemiskinan akan mendukung pelestarian lingkungan hidup di KDT.
Kategori : Opini
Editor : AHS
Posting Komentar