JAKARTA, suarapembaharuan.com - Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Aimah Nurul Anam menyoroti sejumlah persoalan yang membelit PT PLN (Persero) dalam agenda Rapat Kerja dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta.
![]() |
Ilustrasi |
Ia menyoroti soal gangguan sistem token listrik, dugaan kenaikan tarif yang memberatkan masyarakat, hingga program listrik desa yang terus menelan anggaran besar namun tak kunjung tuntas.
“Dalam minggu ini juga banyak sekali rakyat kami yang merasakan ketika mereka mengisi token tiba-tiba gagal, pulsanya ketika dimasukkan tidak nyangkut. Kami ingin diaudit juga soal itu Pak, kenapa ini bisa terjadi,” ujar Mufti.
Ia juga mempertanyakan dugaan kenaikan tarif listrik yang kini banyak dikeluhkan masyarakat.
“Saat itu kami tanya di rapat PLN di tempat ini, tapi tidak ada jawaban yang memuaskan soal betul tidak PLN itu tarifnya naik 30-50 persen. Sampai hari ini rakyat kami masih merasakan bahwa tarif mereka naik 30-50 persen,” katanya.
Mufti kembali mengingatkan masalah lama terkait program listrik desa yang dikerjakan PLN tidak kunjung beres.
Dijelaskannya, pada tahun 2020 lalu, PLN pernah meminta Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp5 triliun untuk menuntaskan program listrik desa.
Tahun 2023, PLN kembali meminta anggaran dengan jumlah lebih besar, yakni Rp10 triliun, untuk alasan serupa. Bahkan, pada tahun 2024, PLN memperoleh tambahan PMN sekitar Rp5,86 triliun untuk menyalurkan listrik ke lebih dari 2000 desa.
“Kami dari 2020 yang lalu di tempat ini PLN minta PMN Rp5 triliun katanya untuk listrik desa. Setelah itu katanya tuntas listrik desa. Tapi kemudian jenengan tahu, tahun 2023 PLN juga minta lagi di tempat ini untuk penuntasan listrik desa yang katanya hanya tinggal 5 ribu. Dan kemudian sampai hari ini tahun 2024 akhirnya minta Rp10 triliun, dikasih juga, dan katanya seluruhnya untuk program listrik desa,” beber Mufti.
Meski demikian, laporan yang ia terima berkata lain. Berdasarkan data terbaru PLN, rasio desa berlistrik telah mencapai 99,92 persen atau sekitar 83.693 desa di seluruh Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sekitar 77.942 desa dilayani langsung oleh jaringan PLN, sementara sisanya masih mengandalkan sumber non-PLN atau lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) yang disuplai melalui program Kementerian ESDM.
Sementara itu, Kementerian ESDM mencatat rasio elektrifikasi rumah tangga nasional baru mencapai sekitar 99,63 persen, dengan target baru tuntas pada angka 99,7 persen pada 2025.
Perbedaan pendekatan penghitungan antara PLN yang menggunakan indikator desa berlistrik dan ESDM yang menekankan rumah tangga berlistrik inilah yang kerap memicu kebingungan.
Mufti menilai perbedaan data antara PLN dengan Kementerian ESDM mengindikasikan lemahnya koordinasi dan pengawasan program.
Hal itu, makin terang ketika Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam rapat beberapa waktu lalu ikut mempertanyakan data yang berbeda-beda soal desa berlistrik.
“Desa yang belum teraliri listrik sekarang berapa sih datanya? Kok datanya tidak pernah sama begitu? Tahun 2023 saya sudah tegaskan di tempat ini kepada Pak Menteri, kepada Pak Dirut PLN, beliau berjanji itu adalah tahun terakhir program listrik desa. Tapi nyatanya di tahun 2024 masih minta anggaran yang sama, bahkan jauh lebih besar dan ternyata tidak tuntas juga,” ucapnya.
Karena itu, Mufti mendesak Kementerian BUMN untuk segera melakukan audit investigatif. Baginya, upaya ini penting demi memastikan setiap rupiah dari uang negara melalui PMN benar-benar terserap dengan efektif.
Sehingga rakyat di desa dapat merasakan langsung manfaat listrik, bukan hanya berhenti pada laporan serapan anggaran.
"Kami minta Bapak untuk dalami soal hal ini, agar ke depan saat kami rapat bersama Dirut PLN lagi, persoalan listrik desa ini sudah tuntas atau setidaknya datanya sudah clear. Supaya berikutnya ketika minta anggaran bisa lebih jelas dan terang-benderang,” jelas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu.
Kategori : News
Editor : RAS
Posting Komentar