Oleh Irsyad Muchtar
Mengapa koperasi justru berkembang pesat di negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Belanda—padahal koperasi identik dengan semangat gotong royong dan sosialisme? Pertanyaan ini terus menggelitik.
Coba lihat Mondragon di Spanyol, Rabobank di Belanda, hingga Zen-noh di Jepang. Mereka adalah contoh koperasi kelas dunia yang sukses, bahkan AS menyumbang 71 dari 300 koperasi besar dunia versi World Cooperative Monitor 2022.
Ironisnya, di Indonesia koperasi masih dipandang remeh. Ia hanya dianggap sebagai pelengkap sektor UMKM, bukan pemain utama ekonomi. Pertanyaannya, kenapa koperasi di sini gagal berkembang? Apakah karena manusianya belum paham koperasi atau karena kebijakan yang tidak mendukung?
KUD: Jejak Masa Lalu yang Sarat Kendali dari Atas
Di era Orde Baru, sempat ada masa kejayaan koperasi lewat KUD (Koperasi Unit Desa) yang dibentuk tahun 1973. Namun, koperasi ini muncul bukan dari inisiatif warga, melainkan program dari pemerintah pusat—alias top-down.
KUD lebih seperti alat bantu negara untuk mencapai target swasembada beras, bukan organisasi yang dibangun dan dikendalikan anggota. Maka tak heran, saat Orde Baru tumbang, KUD ikut tenggelam.
Bandingkan dengan koperasi-koperasi di Eropa yang lahir dari inisiatif warga (*bottom-up*) seperti yang diajarkan Bung Hatta. Artinya, koperasi ideal adalah yang dibentuk oleh dan untuk anggotanya, bukan dari atas.
Tak Harus Meniru Rochdale
Namun kita juga tak harus fanatik pada satu model koperasi, misalnya yang lahir di Inggris seperti Rochdale. Menurut pakar koperasi Hans Munkner, koperasi bisa fleksibel, menyesuaikan dengan kondisi politik dan ekonomi suatu negara. Ia bisa jadi alat negara, gerakan sosial, atau bahkan bisnis besar—selama prinsip dasarnya tetap: keadilan, sukarela, dan tolong-menolong.
Eropa memberi kelonggaran dalam praktik koperasi. Di sana, dua orang saja bisa mendirikan koperasi. Di Indonesia, sempat harus 20 orang, kini turun menjadi 9. Tapi tetap, urusan legalitas kadang masih ribet.
Ekonom Dawam Rahardjo juga menegaskan bahwa koperasi sebagai “soko guru” ekonomi adalah gagasan lokal kita sendiri, bukan doktrin dari luar negeri. Prinsipnya tetap: semua anggota punya hak yang sama, bergabung secara sukarela, dan saling membantu.
Cara Pandang Koperasi
Sri-Edi Swasono menyebut prinsip tolong-menolong dalam koperasi sebagai dasar dari mutualism dan brotherhood—saling bantu untuk saling menguatkan. Koperasi bukan seperti perusahaan biasa, karena anggotanya adalah pemilik sekaligus pemakai produk atau jasanya.
Herman Soewardi, Rektor pertama IKOPIN, menyebut semangat koperasi sebagai harmoni: masyarakat yang hidup dalam keselarasan, jauh dari konflik dan kegaduhan. Sayangnya, dalam praktiknya, koperasi sering berubah menjadi “koperasi juragan” milik perusahaan besar, yang lebih mirip korporasi biasa dan jauh dari semangat gotong royong.
Contohnya, kasus seperti Koperasi Indo Surya atau Hansoon yang ramai dibicarakan karena gagal menjalankan prinsip koperasi sejati. Akibatnya, muncul konflik dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap koperasi.
Koperasi Itu Gerakan Sosial-Ekonomi
Koperasi sejati bukan hanya soal simpan pinjam. Ia adalah gerakan sosial dan ekonomi yang memperkuat masyarakat dari bawah. Tapi kalau koperasi hanya jadi alat elite atau kedok bisnis pribadi, jangan heran kalau kepercayaan masyarakat hilang.
Sudah saatnya koperasi di Indonesia kembali ke jati dirinya: dibangun dari bawah, dijalankan bersama, dan dimiliki oleh anggotanya. Bukan sekadar formalitas, apalagi jadi alat cari untung segelintir orang.
Kategori : Opini
Editor : AHS
Posting Komentar