JAKARTA, suarapembaharuan.com — Sebanyak 24 tokoh antikorupsi menyampaikan pandangannya sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) terkait uji materi (judicial review) atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31/1999 jo Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Permohonan uji materi diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Syahril Japarin (mantan Direktur Utama Perum Perindo), Kukuh Kertasafari (mantan pegawai Chevron Indonesia), Nur Alam (mantan Gubernur Sulawesi Tenggara), dan Hotashi Nababan (mantan Direktur Utama Merpati Airlines).
“Uji materi tersebut telah menarik perhatian kami yang tergabung dalam Gerakan Pemberantasan Korupsi yang Berkeadilan (GARDA). Kemudian kami sepakat menyampaikan pandangan yang dituangkan secara tertulis dan ditandatangani bersama. Keterangan tertulis ini telah kami kirimkan sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan ke MK,” ujar mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas, saat konferensi pers Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan oleh para tokoh anti–korupsi penanda tangan Amicus Curiae, Rabu, 27 Agustus 2025.
Dalam keterangan tersebut, para tokoh secara prinsip setuju dengan permohonan yang diajukan para pemohon uji materi. Menurut mereka, pemberantasan korupsi yang terjadi di Indonesia telah salah arah dan justru tidak efektif. Korupsi tidak lagi dilihat sebagai perbuatan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang tidak sah, namun sebatas pada semua perbuatan yang dipandang merugikan keuangan negara.
“Orang-orang yang beritikad baik dan tidak punya niat untuk korupsi, dan orang yang menjalankan kewajibannya tanpa menerima suap, bisa menjadi terpidana korupsi. Hal ini terjadi karena perkara korupsi lebih fokus pada unsur kerugian keuangan negara yang perhitungannya kerap tidak nyata dan tidak pasti, bahkan menggunakan asumsi atau prediksi,” imbuh Erry yang menjadi Koordinator GARDA.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menekankan pada dua elemen utama, yaitu perbuatan melawan hukum dan dampak berupa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Sementara Pasal 3 UU Tipikor mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatannya, yang berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Dalam praktiknya, penanganan perkara korupsi di Indonesia cenderung lebih menekankan pada aspek kerugian negara daripada unsur memperkaya diri secara melawan hukum; padahal potensi rugi atau untung merupakan konsekuensi dari pengambilan keputusan, misalnya dalam konteks bisnis BUMN. Hal ini mengaburkan esensi korupsi itu sendiri, yaitu perbuatan curang yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara tidak sah, baik bagi diri sendiri maupun pihak lain,” kata Wijayanto Samirin, ekonom yang pernah menjadi Staf Khusus Wakil Presiden RI.
Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat menambahkan, salah fokus dalam pemberantasan korupsi berdampak buruk pada kualitas penegakan hukum, menciptakan ketidakpastian bagi mereka yang bekerja di sektor publik, dan menjadikan upaya pencegahan bukan sebagai prioritas.
“Dengan banyaknya contoh kasus yang ada, para pejabat termasuk direksi BUMN menjadi takut untuk membuat keputusan strategis yang dapat membawa risiko keuangan, meskipun keputusan tersebut bertujuan untuk kebaikan publik,” ujarnya.
Pakar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengatakan, definisi korupsi dalam UU Tipikor yang menekankan kerugian negara sebagai indikasi korupsi tidak diakui negara lain. Mengacu pada Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC) tahun 2003, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain secara melawan hukum. “Kelemahan ini membuat proses mutual legal assistance (MLA) sulit dijalankan karena syaratnya adalah perbuatan tersebut harus dianggap sebagai kejahatan di kedua negara yang bekerja sama,” tegasnya.
Berikut Daftar Amici Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan :
Agustinus Pohan, SH, MS (Ahli Hukum Pidana Universitas Parahyangan)
Ahmad Khoirul Umam, PhD (Peneliti Bidang Antikorupsi Universitas Paramadina)
Anthony Budiawan (Managing Director Political Economy and Policy Studies)
Arief T Surowidjojo (Advokat, Pendiri Sekolah Hukum Jentera)
Bambang Harymurti (Wartawan Senior, Wakil Ketua Dewan Pers 2006-2009)
Betti Alisjahbana (Pengusaha, Anggota Pansel Pimpinan KPK 2015)
Catharina Widyasrini (Praktisi Komunikasi Publik)
Danang Widoyoko (Koordinator Badan Pekerja ICW 2009-2014)
Erry R. Hardjapamekas (Komisioner KPK 2003-2007)
Prof. Dr. Hikmahanto Juwana (Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia)
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Ketua Dewan Pers)
Martiono Hadianto (Eksekutif senior, mantan Dirjen Bea dan Cukai)
Marzuki Darusman (Pengacara, Jaksa Agung 1999-2001)
Mas Achmad Santosa (Pendiri Indonesia Center for Environmental Law (ICEL)
Metta Dharmasaputra (Co-founder dan CEO Katadata)
Meuthia Ganie (Sosiolog, Anggota Pansel Pimpinan KPK 2015)
Natalia Soebagjo (Anggota International Council of Transparency International)
Nurman Djumiril (Profesional dan pelaku industri sektor migas)
Piter Abdullah (Ekonom, Direktur Eksekutif Segara Research Institute)
Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara)
Sudirman Said (Pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia, Menteri ESDM 2014-2016)
Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia)
Taufiequrachman Ruki (Ketua KPK 2003 – 2007)
Wijayanto Samirin (Ekonom, Stafsus Wakil Presiden RI 2014-2019).
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar