Oleh: Tosim Gurning, Anggota Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Pendahuluan
Konflik tanah eks-HGU PTPN II di Sumatera Utara bukan sekadar perselisihan agraria biasa. Ini adalah potret lengkap bagaimana aparat negara, BUMN, dan pihak berwenang di daerah memelintir mandat hukum demi membuka pintu penguasaan lahan negara oleh segelintir pihak. Masyarakat yang mestinya menjadi penerima manfaat reforma agraria, justru didorong keluar dari tanah yang sebelumnya telah mereka garap turun-temurun.
*Apa itu eks-HGU menjadi tanah negara?*
Eks-HGU adalah Hak Guna Usaha yang masa berlakunya telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi oleh pemegang hak atau karena regulasi mensyaratkan penyusutan atas perpanjangan betikutnya. Maka berdasarkan pasal 2 dan pasal 34 UUPA, serta pasal 129 PP No. 18/2021, tanah tersebut otomatis kembali menjadi tanah negara. Berstatus tanah negara! Bukan tanah milik negara.
Konsekuensinya:
1. Tanah itu bukan lagi milik atau aset pemegang HGU (dalam hal ini PTPN II).
2. Tidak bisa dialihkan, disewakan, atau dimanfaatkan tanpa penetapan baru oleh negara.
3. Harus menjadi bagian dari Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sesuai Perpres No. 86/2018 pasal 5 dan Permen ATR/BPN No. 19/2021.
4. GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria) memiliki mandat untuk memverifikasi, menetapkan, dan mendistribusikan eks-HGU kepada:
- Petani penggarap,
- Masyarakat setempat,
- Program kepentingan umum (pemukiman rakyat, fasilitas sosial, dsb), ini lazim dilakukan di pulau Jawa, utamanya Jawa Barat.
Dengan kata lain, setiap upaya menjadikan eks-HGU sebagai “aset negara” untuk dikelola BUMN atau pihak ketiga tanpa proses GTRA, maka hal itu bertentangan dengan hukum. Itu penyimpangan kewenangan.
*Akar masalah eks HGU PTPN II terungkap dari surat BPN Sumut yang mengubah hukum*
Surat BPN Kanwil Sumut No. HP.03.01/1733-12.300/VII/2025 menyebut tanah eks-HGU PTPN II sebagai “aset negara”, bukan tanah negara. Surat itu secara tidak segaja namun isinya tegas membuka modus penyimpangan kewenangan yang selama ini terjadi sehingga sampai leluasa pengembang yang berada di atas lahan eks HGU PTPT II memperdagangkannya. Perubahan istilah aset negara itu yang memutarbalikkan ketentuan hukum:
1. Tanah negara seharusnya langsung ke TORA melalui GTRA, bukan jadi aset negara.
2. Jika jadi aset negara, maka BUMN bisa menahan, menyewakan, atau mengalihkan setelah izin Menteri BUMN.
3. Uniknya, statusnya sudah menjadi eks HGU mengapa bisa kembali menjadi aset? Apa mekanisme hukumnya?
Hasilnya, tanah yang seharusnya untuk rakyat menjadi terjebak dalam status “aset” yang kemudian terbukti dimanfaatkan untuk proyek komersial oleh PTPN II.
*Peran PTPN II dan jaringan kepentingan*
Akhirnya PTPN II tidak hanya menahan eks-HGU di luar TORA, tetapi juga menjadi seperti benar sehingga:
- Menyewakan 1.500 ha tanpa izin Menteri BUMN (terlihat pada LHP BPK tahun 2016, dengan temuan potensi kerugian Rp 1,8 triliun).
- Menghapus aset tanpa dasar hukum (pada LHP BPK tahun 2023, temuannya nilai Rp 11,9 triliun).
- Mengalihkan lahan ke pengembang seperti Ciputra Group untuk proyek komersial (contoh: Citraland) tanpa prosedur tender atau pelepasan aset resmi.
*Gubernur Sumut dan SK BPN 2002*
Melalui SK BPN No. 42-44/HGU/BPN/2002, pengelolaan eks-HGU diserahkan ke Gubernur Sumut. Ini mekanisme yang telak-telak menentang regulasi GTRA, karena:
1. SK itu jelas-jelas tidak menyebut mekanisme GTRA. Ini fatal, terlihat nyata penyimpangannya.
2. Gubernur mengeluarkan izin dan persetujuan pemanfaatan tanpa pelepasan aset dari Menteri BUMN.
3. Tindakan ini berpotensi batal demi hukum (pasal 103 UU BUMN).
Lagi-lagi itu pelanggaran hukum!
*Jejak LHP BPK bukti kerugian negara di eks-HGU PTPN II*
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama lebih dari satu dekade menunjukkan pola yang konsisten, yaitu tanah HGU dan eks-HGU PTPN II dikuasai, disewakan, dan dialihkan tanpa dasar hukum yang sah, dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah setiap tahun.
Tahun 2008, melalui LHP BPK No. 26/LHP/XVIII.MDN/12/2008, terungkap bahwa 2.150 hektare lahan HGU telah dikuasai pihak ketiga tanpa dasar hukum. Temuan ini menjadi sinyal awal bahwa pengelolaan aset agraria negara di Sumatera Utara berjalan di luar kendali regulasi.
Tahun 2016, LHP BPK No. 18/LHP/XVIII.MDN/03/2016 membongkar skema penyewaan 1.500 hektare lahan tanpa izin dari Menteri BUMN, yang memicu potensi kerugian negara hingga Rp 1,8 triliun. Praktik ini jelas melanggar pasal 103 UU BUMN dan menegaskan adanya penyalahgunaan kewenangan.
Tahun 2021, dalam LHP BPK No. 23/LHP/XVIII.MDN/06/2021, ditemukan 1.243 hektare lahan HGU aktif yang tidak dimanfaatkan sama sekali. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip pemanfaatan tanah dalam UUPA dan menunjukkan pembiaran yang merugikan kepentingan publik.
Tahun 2023, LHP BPK No. 07/LHP/XVIII.MDN/04/2023 mencatat pengalihan tanah eks-HGU ke pengembang besar tanpa mekanisme tender. Nilai kerugian atau potensi rugi akibat praktik ini mencapai Rp 3,4 triliun per tahun, angka yang menggambarkan masifnya kebocoran penerimaan negara.
Semua terjadi terang-benderang!
*Kasus hukum yang memperkuat dugaan*
1. Tipikor Medan (2018): Hakim divonis karena menerima suap terkait sengketa eks-HGU.
2. Penyidikan Kejati Sumut (2020): Dugaan korupsi penjualan tanah eks-HGU oleh mantan Dirut PTPN II senilai Rp 3,1 miliar.
3. Laporan KPK 2023: Dugaan gratifikasi dalam proyek properti di atas eks-HGU.
4. Proses di Polda Sumut: Sengketa pengosongan paksa lahan garapan warga antara 2020–2023.
*Masyarakat tidak memulai pelanggaran*
Salah satu contoh, Komunitas Cinta Tanah Sumatera (CTS) terbukti telah bersurat ke Menteri BUMN, Menteri ATR/BPN, Gubernur Sumut dan lainnya:
1. Mengusulkan eks-HGU sebagai TORA sejak 2011.
2. Mengirim surat resmi ke BPN Sumut pada 2011, 2018, dan 2023.
3. Menyertakan bukti garapan dan data citra satelit.
Semua diabaikan. Justru, pengosongan paksa dan alih fungsi lahan terjadi di tengah proses usulan.
*Indikasi tindak pidana atas hal tersebut*
1. Penyalahgunaan wewenang – pasal 3 UU Tipikor.
2. Memperkaya diri/orang lain – pasal 2 UU Tipikor.
3. Penyerobotan tanah negara – pasal 385 KUHP jo. pasal 34 UUPA.
4. Pengalihan aset BUMN tanpa izin – pasal 103 UU BUMN.
5. Pelanggaran reforma agraria – Perpres 86/2018, Permen ATR/BPN 19/2021.
*Rekomendasi IAW*
1. KPK dan Kejagung sebaiknya meminta dilakukan audit investigatif terhadap seluruh transaksi eks-HGU PTPN II, telusuri aliran dana pengembang ke pejabat.
2. BPN Pusat ideal mencabut SK BPN 2002, blokir sertifikat yang terbit di atas eks-HGU tanpa dasar hukum.
3. Mahkamah Agung tempat publik mengajukan judicial review terhadap pasal 129 PP 18/2021.
4. Masyarakat/organisasi sipil layak melayangkan gugatan PTUN terhadap BPN Sumut atas kelalaian menetapkan TORA.
*Kesimpulan*
Eks-HGU adalah tanah negara yang wajib masuk program reforma agraria, bukan stok dagangan untuk proyek properti.
*BPN Kanwil Sumut adalah pemicu awal konflik tanah negara eks HGU PTPN II dengan mengubah status hukum demi memuluskan kepentingan tertentu*.
Seharusnya reforma agraria bukan sekadar janji konstitusi, jika dibiarkan, ia berubah menjadi komoditas politik dan bisnis.
Kategori : News
Editor : ARS
Posting Komentar