MALANG, suarapembaharuan.com - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Hukum Brawijaya menegaskan sikap kritis terhadap kondisi stagnan penyelesaian kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib dan sejumlah pelanggaran HAM berat di Indonesia. Sikap kritis ini disampaikan melalui kegiatan diskusi publik dengan tema 'Negara Gagal: Stagnasi Penyelesaian Kasus Munir dan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia' di Sekretariat HMI Hukum Brawijaya, Malang, Senin (25/8/2025).
![]() |
"Kegiatan diskusi ini juga merupakan rangkaian kegiatan untuk menyambut momentum September Hitam. Dalam kegiatan ini HMI Hukum Brawijaya menilai bahwa Komnas HAM dan Kejaksaan Agung telah gagal menunjukkan komitmen serius dalam mengusut tuntas kasus-kasus tersebut," ujar Ketua Umum HMI Hukum Brawijaya Mauladani dalam diskusi tersebut.
Dalam forum diskusi yang digelar, para kader HMI Hukum Brawijaya menyoroti stagnansi penyelesaian kasus Munir. Meskipun sejak awal telah dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF ) Munir melalui Keppres No. 111 Tahun 2004, hingga kemudian pemerintah kembali menerbitkan Keppres No. 17 Tahun 2022 terkait Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat, kata Mauladani, berbagai upaya tersebut belum berjalan efektif, bahkan diwarnai dengan skandal hilangnya berkas TPF Munir dari laci Presiden pada 2019.
"Kami menilai Komnas HAM dan Kejaksaan Agung yang seharusnya dapat mempermudah penyelesaian kasus Munir dan pelanggaran HAM berat, justru tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya," kata dia.
Mauladani mengatakan hal tersebut sangat terang terlihat dari kinerja Komnas HAM yang lamban dalam melakukan penyelidikan terhadap pembunuhan Munir yang masih menyisakan teka-teki dalang di balik kematian Munir tersebut. Hingga hari ini, kata dia, Komnas HAM tidak pernah secara terbuka menjelaskan kepada publik dan keluarga korban tentang proses penyelidikan yang telah dilakukan.
"Selain itu Komnas HAM juga terkesan menjadi bagian dari praktik impunitas karena enggan menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Padahal dalam temuan TPF maupun dalam perkara Pollycarpus (eksekutor yang sekaligus merupakan agen BIN) telah sangat terang bukti keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam rencana busuk pembunuhan Munir," jelas dia.
Di sisi lain, lanjut Mauladani, Jaksa Agung pada 2016 pernah berjanji kepada publik dan keluarga korban untuk melaksanakan peninjauan kembali dalam kasus Muchdi Pr demi menemukan dalang pembunuhan Munir yang sesungguhnya. Namun, kata dia, hampir 10 tahun sejak janjinya itu, Jaksa Agung tidak pernah sekalipun melakukan peninjauan kembali dalam kasus tersebut.
"Meskipun Muchdi Pr dinyatakan bebas karena pengadilan gagal membuktikan keterlibatan Muchdi dalam kasus pembunuhan Munir, berbagai fakta seperti kontak via telepon antara Muchdi dan Pollycarpus sesaat dan setelah kematian Munir, keterangan Kolonel Budi Santoso, serta keterangan Ongen mengarah pada keterlibatan mantan Danjen Kopassus tersebut. Sulit untuk percaya bahwa kematian Munir adalah kematian biasa yang tidak disertai dengan motif politik," ungkap dia.
Dia menilai keengganan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam penyelesaian kasus Munir dan Pelanggaran HAM berat dengan sendirinya menjadikan praktik impunitas kian menguat. Rekomendasi Komnas HAM tentang kasus-kasus pelanggaran HAM berat pun, kaya dia, “mentah” di hadapan Jaksa Agung. Berbagai rekomendasi Komnas HAM tersebut justru dikembalikan ke Komnas HAM karena dianggap tidak memadai oleh Kejaksaan Agung.
"Padahal Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memegang fungsi penyidikan dalam kasus pelanggaran HAM berat. Tidak berlebihan jika kami menilai bahwa Jaksa Agung dan Komnas HAM tidak memiliki komitmen yang serius dalam penyelesaian kasus Munir dan pelanggaran HAM berat di Indonesia," jelas dia.
HMI Hukum Brawijaya, kata dia, menilai praktik “ping-pong” berkas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung menjadi bukti lemahnya keseriusan negara dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Alih-alih memberikan kejelasan hukum, tutur dia, kedua lembaga tersebut justru memperpanjang impunitas dengan saling melempar tanggung jawab.
Karena itu, kata Mauladani, HMI Komisariat Hukum Brawijaya mendesak Komnas HAM RI untuk transparan dalam penyelidikan kasus Munir serta menetapkan pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Selain HMI Komisariat Hukum Brawijaya menuntut pertanggungjawaban Jaksa Agung RI atas dugaan praktik impunitas dalam kasus Munir, sekaligus menarik pernyataan bahwa Kasus Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat.
Pihaknya juga mendesak Kejaksaan Agung RI agar menindaklanjuti berbagai kasus pelanggaran HAM berat dengan penyidikan yang bertanggung jawab, serta melakukan pembaruan kebijakan yang mendorong kerja sama konstruktif dengan Komnas HAM RI.
"HMI Komisariat Hukum Brawijaya juga mengajak masyarakat luas untuk turut serta mengawal penegakan kasus pelanggaran HAM berat dengan terus menggaungkan tuntutan “Usut Tuntas” demi komitmen negara dan bangsa dalam menegakkan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia," pungkas Mauladani.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar