IWPG: Kurikulum Perdamaian Wajib di Sekolah di Indonesia

CHEONGJU, KOREA SELATAN, suarapembaharuan.com - Tiga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan International Woman’s Peace Group (IWPG) dalam rangkaian acara “International Woman’s Peace Conference 2025”, yang diselenggarakan oleh IWPG di Cheongju, Provinsi Chungcheongbuk-do, (sekitar 130 km dari Ibu Kota Korea Selatan, Seoul).


Tiga wanita pimpinan LSM Indonesia menunjukkan dokumen MoU dengan IWPG di Cheongju, Korea Selatan. Mereka adalah Forisni Aprilista (Lentera Kartini), Attaya Rumaisha (Yayasan Lentera Habibi) dan Amrina Habibi (Balai Syura Ureung Inong Aceh).

MoU tersebut, pada intinya kerja sama pengakhiran perang dan menanamkan perdamaian sebagai gaya hidup di negara masing-masing. Untuk itu, kurikulum perdamaian wajib ada di sekolah-sekolah di Indonesia. IWPG akan mendukung semua upaya dalam peningkatan perdamaian di Indonesia.


Dari pihak IWPG, MoU ditandatangani oleh Direktur Global IWPG, Kang Yeon-kyung. Dari pihak LSM Indonesia masing-masing ditandatangani oleh Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Amrina Habibi, Board of Director Yayasan Lentera Habibi, Attaya Rumaisha, dan Presidium LSM Lentera Kartini, Kalimantan Tengah, Forisni Aprilista.


Pada saat yang sama, IWPG juga menandatangani MoU dengan sejumlah LSM dari Filipina dan Amerika Serikat.


MoU itu diawali dengan diskusi antara LSM Indonesia, Filipina, Amerika Serikat dengan IWPG, ditegaskan bahwa Korea Selatan sendiri telah memasukkan pendidikan perdamaian dalam kurikulum dasar, terutama di sekolah dasar. Bahan ajarnya bisa disampaikan lewat gambar dan aktivitas kreatif. 


“Namun sehebat apa pun pendidikan, jika perang terjadi, semuanya hilang. Karena itu perdamaian harus dijaga bersama,” ujar Kepala IWPG Inchon, Korea, Hwang Mi Sean pada diskusi, yang menghadirkan suara aktivis, pejabat, jurnalis, hingga anak muda, yang sama-sama percaya bahwa pendidikan adalah kunci menjaga perdamaian.


Forisni Aprilista, pimpinan LSM Lentera Kartini, menekankan pentingnya mendidik anak sejak dini dengan tanggung jawab dan solidaritas, bahkan dari hal sederhana seperti merapikan tempat tidur. “Tantangannya adalah budaya patriarkal di Indonesia masih kerap mengutamakan anak laki-laki untuk bersekolah, sementara anak perempuan dianggap cukup berumah tangga. Namun gerakan perempuan kini terus memperjuangkan akses pendidikan setara.” Katanya.


Amrina Habibi dari Aceh menambahkan, “Peran ayah dalam pengasuhan sangat penting. Selama 30 tahun konflik, banyak perempuan Aceh menanggung beban ganda sebagai pengasuh dan pencari nafkah. Perdamaian Aceh hadir berkat kolaborasi lokal dan internasional, tetapi harus terus dijaga mulai dari keluarga.” katanya.


Amrina menilai, Indonesia masih tertinggal. Pendidikan karakter sudah ada, tapi tidak berjalan optimal, apalagi sering terkendala pergantian menteri.


"International Woman's Peace Conference 2025" diikuti ratusan tokoh wanita dari berbagai belahan dunia.

Anak muda juga bersuara lewat Attaya Rumaisha, Board of Director Yayasan Lentera Habibi Aceh. Ia menyoroti lemahnya kualitas guru di Indonesia, karena profesi itu sering dipilih karena keterpaksaan. Malah, para pendidik tak jarang menciptakan rasa tidak damai dalam hati anak didiknya.


“Pendidikan perdamaian tidak boleh hanya jadi teori. Harus hidup dalam praktik di sekolah dan komunitas,” katanya.


Hwang Mi Sean menjawab dengan membandingkan pengalaman Korea. Dahulu, keluarga memprioritaskan anak laki-laki, sama seperti di banyak budaya Indonesia. Kini situasi berubah, tetapi muncul tantangan baru: keluarga semakin kecil, anak makin sedikit, dan tata krama perlahan terkikis.


Jurnalis Indonesia yang hadir dalam diskusi itu,  Jeis Montesori mencontohkan pengalamannya meliput konflik Poso. Ia mengusulkan kurikulum lokal khusus tentang toleransi, resolusi konflik, dan keadilan sosial, serta festival seni-literasi bertema perdamaian. Budaya lokal seperti gotong royong juga harus dihidupkan kembali agar masyarakat tidak semakin individualistis.


Menuju Kota Perdamaian

Pertanyaan menarik datang dari Ana Milana Puspitasari: “Bagaimana memperluas pendidikan perdamaian agar kota menjadi landmark perdamaian?”


Amrina mengatakan, hal itu tidak sulit dilakukan jika ada kesatuan hati para wanita. Dia mencontohkan tentang gampong damai di Aceh, di mana perempuan membentuk lingkaran perdamaian dari tingkat desa hingga kabupaten. “Jika nilai damai masuk ke ruang-ruang kecil, bangsa akan semakin kuat,” ujarnya.


Mendengar itu, Hwang Mi Sean mengaku terharu, mencontohkan Kota Kapalong di Filipina, yang berubah dari kriminalitas tinggi menjadi kota damai setelah pemimpinnya belajar nilai perdamaian. IWPG sangat diterima di Filipina, terutama di daerah konflik berkepanjangan, di sekitar Davao.


Bagi Hwang Mi Sean, media memegang peran vital. “IWPG butuh jurnalis untuk menyebarkan berita perdamaian ke seluruh dunia, sama pentingnya dengan politisi yang bisa mendorong keputusan strategis.”


Jeis menambahkan, keputusan PBB sering tak diterima semua negara, contohnya Israel. Karena itu, relawan IWPG di tiap negara harus diperkuat agar program benar-benar terwujud.


Diskusi ini menunjukkan bahwa meski berbeda latar, Indonesia dan Korea punya kerinduan sama: menciptakan dunia damai melalui pendidikan.


Seperti ditegaskan Hwang Mi Sean, “Melalui pendidikan, semuanya bisa berubah. Yang dilakukan IWPG dan HWPL adalah perubahan untuk semua. We Are One.” [nr]


Kategori : News


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama