JAKARTA, suarapembaharuan.com — Pakar komunikasi dan jurnalis senior Wicaksono menegaskan bahwa off the record dalam praktik jurnalistik bukanlah basa-basi, melainkan kontrak moral. Pandangannya itu ia sampaikan melalui tulisan berjudul “Malaikat, Iblis, dan Off the Record”.
“Suatu hari seorang pejabat mengundang kalangan pers. Di depan para wartawan, sang narasumber berbicara tentang banyak hal, termasuk isu-isu mutakhir. Suaranya pelan, penuh jeda, seolah sedang menimbang setiap kata. Lalu keluar kalimat sakral itu: ‘Semua ini off the record, ya’,” tulis Wicaksono, dikutip dari akun Facebooknya, Jumat (5/9).
Ia mengibaratkan narasumber sebagai malaikat yang membawa cahaya berupa pengetahuan, sedangkan wartawan adalah penjaga kitab suci yang wajib menjaga titipan itu. “Off the record adalah cara malaikat ini melindungi dirinya, sekaligus menjaga agar informasi tidak menimbulkan kekacauan sebelum waktunya. Wartawan yang mendengarkan, dalam hal ini, ibarat penjaga kitab suci: mereka berhak mendengar, tapi tidak berhak membacakannya ke khalayak,” ujarnya.
Namun di luar ruangan, kata Wicaksono, selalu ada “iblis” yang menunggu, yakni wartawan yang tidak hadir dalam pertemuan tetapi menerima bocoran dari dalam. “Padahal, dalam tradisi jurnalisme yang sehat, off the record itu melekat pada informasi, bukan pada siapa yang mendengar. Begitu kata sakral itu diucapkan, informasi otomatis disegel, seperti kitab dengan sampul terkunci,” tulisnya.
Menurut Wicaksono, pelanggaran off the record akan menghancurkan ekosistem kepercayaan antara narasumber dan jurnalis. “Sekali pagar off the record dilanggar, dampaknya jauh lebih besar daripada sekadar kehilangan satu berita. Narasumber akan berhitung ulang. Mereka bisa memilih untuk diam, berbicara normatif, atau bahkan tidak lagi percaya pada media. Malaikat berhenti turun ke bumi,” tegasnya.
Ia juga menolak dalih “publik berhak tahu” sebagai pembenaran. “Sama seperti dokter yang tidak boleh membuka rekam medis pasien sembarangan, atau pengacara yang tidak boleh membocorkan rahasia klien, wartawan pun tidak bisa membenarkan pengkhianatan dengan dalih kepentingan publik,” tulisnya.
Wicaksono menambahkan, di Amerika Serikat dan Inggris, prinsip off the record dihormati secara ketat dengan sanksi tegas bagi pelanggarnya. Di Indonesia, praktik ini kerap dianggap cair, sehingga rawan dilanggar demi kepentingan pribadi.
“Off the record adalah kontrak moral. Ia berdiri bukan di atas pasal hukum, melainkan pada rasa saling percaya. Dan yang bisa menghancurkan kontrak itu bukan karena publik terlalu ingin tahu, melainkan karena wartawan memilih menjadi iblis kecil yang tergoda untuk mengkhianati malaikat yang sudah memberi cahaya,” tutupnya.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar