Pemberian Plasma Oleh Satgas PKH dan PT Agrinas Bagi Masyarakat Adat Paluta Sebagai Legitimasi Sosial

MEDAN, suarapembaharuan.com - Gugatan masyarakat adat dari beberapa desa di Kecamatan Simangambat, Padang Lawas Utara diharapkan mendapat respon positif dari Satgas PKH dan PT Agrinas hingga para tergugat dengan menjadikan Plasma sebagai legitimasi sosial.


Lian Guntur bersama masyarakat adat didampingi kuasa hukumnya, Franjul M Sianturi, S.E, S.H dan Famati Gulo, S.E, M.H.

Dalam agenda sidang mediasi di Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan pada Kamis, 25 September 2025 lalu, masyarakat adat yang diwakili oleh Penggugat, Lian Guntur menyampaikan, permintaan atau tuntutan masyarakat sangat sederhana yakni adanya pengalokasikan plasma buat masyarakat adat. 


"Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dan perusahaan perkebunan BUMN PT Agrinas Palma Nusantara (PT Agrinas) beserta para tergugat lainnya mau mematuhi kewajiban menunaikan persyaratan pengalokasian plasma," tegas Lian Guntur didampingi kuasa hukumnya, Franjul M Sianturi, S.E, S.H dan Famati Gulo, S.E, M.H.


Lebih lanjut, dalam agenda mediasi yang berlangsung sangat akrab dan dipimpin oleh Hakim Mediator Firman Ares Bernando, S.H permintaan pengalokasian plasma sepertinya mendapat respon positif dimana Satgas PKH dan PT Agrinas serta tergugat lainnya memahami upaya warga yang patuh pada perundangan tersebut.


 Sehingga, Satgas PKH dan PT Agrinas serta tergugat lainnya meminta Penggugat segera menyiapkan dokumen resume untuk selanjutnya dibahas oleh para tergugat. 


Sementara itu, kuasa hukum penggugat, Franjul M. Sianturi dan Famati Gulo dari Kantor Hukum Sakti Bintara Jaya dihadapan wartawan menyampaikan, resume perdamaian diajukan kepada hakim mediator pada Senin, 29 September yang akan datang. 


Dalam keterangannya, Franjul menyampaikan, Plasma bukan sekadar beban hukum, melainkan instrumen penting untuk memastikan keberlanjutan perkebunan, memperkuat hubungan sosial, dan menjaga kepatuhan perusahaan.


Ia juga menerangkan, tergugat dalam perkara ini bukan sembarang pihak. Ada Satgas PKH dan PT Agrinas Palma Nusantara, perusahaan BUMN penerima mandat pengelolaan lahan sawit sitaan negara dan pihak lainnya dan bagi masyarakat adat, plasma adalah hak konstitusional, bagian dari penghidupan turun-temurun di tanah leluhur mereka.


"Bahwa konsekuensi hukum dari negara jika plasma diabaikan, mulai dari sanksi administratif berupa teguran, denda, penghentian kegiatan, hingga pencabutan izin dan gugatan perdata terkait plasma sudah banyak dimenangkan masyarakat di daerah lain, bahkan pidana bisa menjerat dengan ancaman lima tahun penjara dan denda Rp10 miliar sesuai pasal 107 UU Perkebunan. Ombudsman RI juga sudah menegaskan bahwa tuntutan plasma adalah hal wajar dan sesuai hukum," tegas Franjul.


Sementara, Lian Guntur menyampaikan, masyarakat mengajukan usulan jalan tengah berupa, Satgas dan perusahaan membuat komitmen tertulis untuk memenuhi kewajiban plasma, realisasi plasma dilakukan secara bertahap, dimulai dari penyediaan lahan, bibit, sarana produksi, hingga pendampingan teknis, dengan target maksimal tiga tahun dan dibentuk tim pengawasan bersama, yang melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, dan perusahaan.


"Bagi masyarakat adat, plasma adalah bentuk keadilan yang bisa menyelamatkan ekonomi keluarga di tengah dominasi perusahaan sawit besar. Bagi perusahaan, pemenuhan plasma justru bisa menjadi investasi sosial yang akan memperkuat legitimasi dan kepastian hukum, sehingga dengan plasma, perusahaan terhindar dari sanksi, gugatan, bahkan pidana. Tapi lebih dari itu, perusahaan justru akan memperoleh legitimasi sosial di mata masyarakat,” tegas Lian.


Lian juga menegaskan, mediasi ini menjadi ujian, apakah perusahaan benar-benar beritikad baik, atau justru hendak membiarkan konflik berkepanjangan dan semoga kepada masyarakat diberi solusi yang berkeadilan. 


Plasma, dalam bahasa hukum perkebunan, bukan istilah asing. Ia adalah kebun masyarakat yang seharusnya dibangun oleh perusahaan besar, kisaran minimal 20 persen dari luas perkebunan. Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2021 menegaskan hal itu, bahkan Permentan No. 98/2013 memberi tenggat tiga tahun sejak izin keluar untuk memberikannya.


Kategori : News


Editor     : ARS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama