Dari Ladang ke Pengadilan: Gugatan Warga Demi Keadilan Tanah Negara di Sumatera Utara

MEDAN, suarapembaharuan.com — Aroma perjuangan rakyat kini akan menyeruak dari ruang sidang Pengadilan Negeri Medan. Nomor perkara 1091/Pdt.G/2025/PN.Mdn yang baru didaftarkan menjadi simbol bahwa tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II di Sumatera Utara bukan sekadar hamparan sawah dan kebun, melainkan cermin ketimpangan yang telah lama menunggu keadilan.


Ilustrasi

Di tengah penyidikan dugaan korupsi ratusan triliun rupiah yang ditangani Kejaksaan Agung dan kini Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, langkah hukum seorang warga, Iskandar H.P. Sitorus, menarik perhatian. Melalui gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang diajukan di PN Medan, ia mengalami kondisi yang sama dengan warga lainnya menuntut kejelasan nasib rakyat kecil di atas lahan negara yang semestinya menjadi objek reforma agraria, bukan malah menjadi barang dagangan.


Advokat: Gugatan Ini Bukan Sengketa Tanah Biasa


Dua advokat muda, Franjul M. Sianturi, S.E., S.H. dan Famati Gulo, S.H., M.H., dari Kantor Hukum Sakti Bintara Jaya & Rekan, menegaskan bahwa gugatan perdata ini sesungguhnya bukan perkara individual biasa, ini lebih pada bentuk perlawanan hukum dari seseorang warga terhadap praktik penguasaan lahan oleh orang jahat berbaju kewenangan yang menyalahi aturan negara.


“Klien kami bukan melawan negara, justru ia hendak memperjuangkan agar tanah negara tidak dijual-beli seenaknya. Gugatan ini mendukung upaya penegakan hukum pidana yang sedang dilakukan Kejaksaan Agung melalui Kejati Sumut. Kami hadir untuk meluruskan sejarah,” ujar Franjul di Medan, Selasa (…).


Dua Jalur: Pidana Korupsi dan Perdata Keadilan


Sekarang kasus ini kini berjalan di dua jalur. Di satu sisi, penyidik Kejati Sumut tengah membidik dugaan korupsi dalam penjualan aset PTPN I Regional 1 kepada PT Ciputra Land melalui skema kerja sama operasional yang dinilai merugikan negara. Di sisi lain, gugatan Iskandar Sitorus membuka pintu keadilan perdata bagi masyarakat penggarap yang selama puluhan tahun hidup di atas tanah eks HGU tanpa kepastian hukum.


“Melalui pengadilan perdata, kami ingin menegaskan bahwa rakyat tidak bisa terus disingkirkan. Mereka berhak atas redistribusi tanah melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), bukan dijadikan korban permainan bisnis,” tegas Famati Gulo.


Jejak Audit BPK: Lahan Negara Jadi Komoditas


Audit BPK selama dua dekade terakhir seolah memperkuat argumentasi para kuasa hukum penggugat. Tahun 2008, BPK menemukan 2.150 hektare lahan dikuasai pihak ketiga tanpa dasar hukum. Tahun 2016, muncul temuan penyewaan 1.500 hektare tanpa izin dengan potensi kerugian Rp1,8 triliun. Tahun 2021, BPK mencatat 1.243 hektare tanah aktif dibiarkan telantar. Dan pada 2023, pengalihan tanah ke pengembang tanpa tender diduga menyebabkan kerugian Rp3,4 triliun per tahun.


Temuan beruntun ini memperlihatkan bahwa masalah tanah PTPN II bukan sekadar administrasi, tapi struktur korupsi yang sistemik, yang menjerat aset negara menjadi komoditas pribadi.


CTS dan IAW: Mendorong Kejaksaan Bertindak Tegas


Komunitas Cinta Tanah Sumatera (CTS) bersama Indonesian Audit Watch (IAW) sejak lama mendorong Kejaksaan Agung agar kasus ini dijadikan prioritas nasional. Syukurnya, dalam laporan resmi yang terbaru diserahkan awal 2025 Kejagung dengan sigap menunjukkan keberpihakannya pada penegakan hukum yang luar biasa. Kedua organisasi itu menilai bahwa dugaan korupsi dalam pengelolaan lahan eks HGU PTPN II bisa mencapai ratusan triliun rupiah, menjadikannya kasus korupsi daerah yang terbesar.


CTS bahkan berencana mengajukan diri sebagai Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) pada sidang Tipikor yang akan digelar guna memberikan pandangan hukum agar tanah-tanah eks HGU ditetapkan sebagai objek TORA, Tanah Objek Reforma Agraria, dan dibagikan kepada masyarakat penggarap yang telah berpuluh tahun menunggu keadilan.


Harapan dari Tanah Sumatera


“Rakyat sudah terlalu lama membajak tanah negara tanpa rasa memiliki. Ini waktunya negara hadir. Langkah gugatan ini mungkin kecil, tapi resonansinya besar. Gugatan ini menjadi suara moral dari ladang-ladang yang sunyi, agar keadilan agraria tidak hanya berhenti di pidato, tapi hadir di putusan pengadilan," tutup Franjul M. Sianturi.


Kategori : News


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama