MBG : Apakah Mimpi Besar Menjadi Kenyataan atau Justru Menambah Luka?

 Penulis : Agnes Ria Febriyanti

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Socio Legal Studies Universitas Indonesia


Dalam upaya mengatasi permasalahan gizi buruk di Indonesia, Program Masyarakat Bergerak untuk Gizi (MBG) hadir dengan harapan yang besar. Program MBG yang diluncurkan Presiden Prabowo pada 6 Januari 2025 sempat disambut sebagai angin segar bagi jutaan anak Indonesia yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan gizi buruk. Seperti sebuah lentera yang menyinari jalan gelap menuju perbaikan gizi masyarakat, MBG diharapkan dapat menjadi solusi ambisius yang membawa perubahan signifikan bagi kesehatan rakyat Indonesia terutama bagi masyarakat yang berada dalam kondisi rentan. 



Dengan anggaran ratusan triliun rupiah, MBG menjadi salah satu program sosial dengan alokasi terbesar dalam sejarah anggaran negara. Namun setelah satu tahun berlalu, muncul pertanyaan yang tak bisa dihindari dari benak masyarakat, apakah program sebesar ini benar-benar memberi perubahan nyata, atau justru menjadi simbol ambisi yang belum matang?


Makanan Bergizi, Namun Keamanan Pangan Terabaikan


Diluncurkan dengan harapan besar, MBG dihadirkan dalam rangka menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak kurang mampu. Tapi realitanya, bagaimana mungkin sebuah program sebesar ini tidak mampu memastikan kualitas makanan yang dikonsumsi? Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan CISDI pada 2025 memperlihatkan bahwa lebih dari 6.000 anak menjadi korban keracunan setelah mengkonsumsi makanan MBG, yang disayangkan makanan tersebut bahkan telah terkontaminasi bakteri E. coli dan Salmonella (CISDI, 2025). Dari sini kita harus lebih memperhatikan bahwasanya keamanan pangan yang seharusnya menjadi prioritas utama malah terabaikan, menciptakan polemik baru yang mengancam keberlanjutan program ini. 

 

Penyediaan makanan bergizi sudah sepatutnya dan seharusnya selalu mengedepankan kebersihan dan keamanan yang ketat. Tetapi di tengah anggaran yang sangat besar, mengapa banyak dapur penyedia makanan yang tidak memenuhi standar hygiene? Menurut data dari Badan Gizi Nasional (BGN), hingga akhir September 2025, hanya 198 dari 10.012 dapur MBG yang telah memperoleh Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS), yang berarti sekitar 1,98%. Menarik bukan? Angka ini jauh di bawah target yang ditetapkan, di mana BGN menargetkan seluruh dapur MBG akan memiliki SLHS sebelum akhir Oktober 2025. Hal ini seperti membangun istana megah di atas pasir, indah di luar tetapi rapuh di dalam. Lantas, capaian apa yang tepat? Mengejar kuantitas tanpa memprioritaskan kualitas adalah resep bencana yang dapat meruntuhkan harapan besar dalam sekejap. 



Tepat Sasaran atau Pemborosan Sumber Daya?


Selain masalah keamanan, penulis melihat perencanaan yang tidak berbasis data juga menjadi salah satu titik lemah dalam pelaksanaan MBG. Mengapa wilayah dengan angka stunting tertinggi, seperti Papua justru mendapat alokasi dapur yang minim? Sementara daerah dengan kondisi gizi yang lebih baik malah kelebihan pasokan. Mengapa masih timbul ketidakmerataan dalam distribusi sumber daya. Padahal jika melihat dalam segi kebutuhan yang paling mendesak justru ada di daerah-daerah yang tertinggal. Apakah perencanaan ini terlalu berfokus pada angka dan target yang mudah dicapai tanpa mempertimbangkan kebutuhan riil di lapangan?


Penulis melihat bahwa distribusi yang kurang tepat ini seharusnya menjadi perhatian serius. Salah satu tantangan terbesar program ini adalah distribusi dan pengadaan bahan makanan yang tidak tepat sasaran. Dengan adanya ketimpangan semacam ini, program yang bertujuan untuk menyejahterakan justru berpotensi menambah jurang kesenjangan sosial antar wilayah. Apakah kita terlalu cepat menilai keberhasilan sebuah program berdasarkan angka besar tanpa melihat dampaknya pada kelompok yang paling membutuhkan? Pemerataan distribusi sumber daya menjadi hal yang sangat krusial, karena jika distribusi tidak dilakukan berdasarkan kebutuhan yang mendalam, maka program ini hanya akan memenuhi target di atas kertas, tanpa menciptakan perubahan nyata di lapangan. Maka dari  itu, program MBG harus mampu mengakomodasi kondisi lokal dan memastikan bahwa alokasi sumber daya benar-benar tepat sasaran, dengan memberi perhatian lebih pada daerah yang paling membutuhkan perhatian.


Sehingga dengan anggaran yang sangat besar, program ini tentunya membutuhkan pengelolaan yang hati-hati. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa dana ratusan triliun ini digunakan dengan efisien dan tepat sasaran? Maka tentunya dibutuhkan transparansi yang memadai, MBG mampu menjadi lahan subur untuk praktik penyalahgunaan dan korupsi yang merugikan rakyat. Untuk itu, penting untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan.



Dimensi Hukum dan Risiko Korupsi dalam Implementasi MBG

Dimensi hukum dalam pelaksanaan MBG menjadi aspek yang tidak bisa diabaikan, terutama karena besarnya nilai anggaran dan kompleksitas alur pelaksanaan di lapangan. Dugaan adanya konflik kepentingan, penyimpangan anggaran, dan potensi penggelapan dana menunjukkan bahwa program ini rawan terhadap praktik korupsi terselubung. Ketika dana publik yang semestinya diperuntukkan bagi masyarakat miskin dikelola tanpa transparansi, ruang untuk manipulasi laporan dan penyalahgunaan kewenangan terbuka lebar. Kasus mitra dapur yang tidak dibayar, dugaan monopoli pengadaan peralatan, hingga penyaluran dana yang tak tepat sasaran menggambarkan satu hal: pengawasan hukum terhadap proyek sebesar MBG belum berjalan sebagaimana mestinya. 


Penulis melihat, sudah saatnya hukum tidak hanya menjadi tameng formalitas, tetapi berdiri sebagai pelita yang menerangi jalur kebijakan publik. Penguatan aspek hukum mutlak diperlukan melalui penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas publik. Audit menyeluruh oleh lembaga independen harus dilakukan untuk menelusuri potensi kerugian negara dan memastikan bahwa setiap rupiah benar-benar berpihak pada rakyat. Mekanisme pengawasan digital dan keterlibatan masyarakat sipil bisa menjadi benteng agar uang rakyat tak tersesat di jalan yang gelap. Pada akhirnya, pertanyaan paling mendasar muncul: apakah program ini masih layak disebut “Makan Bergizi Gratis” bila kejujuran dan integritas justru menjadi bahan yang langka di dalamnya?


Dinamika terkait persoalan MBG kerap menjadikan masyarakat membutuhkan sebagai korban. Sehingga program ini perlu dilakukan perbaikan secara mendalam. Apakah kita akan terus memperbanyak jumlah dapur, atau lebih baik memperbaiki kualitas dapur yang sudah ada? Walaupun MBG memiliki potensi besar, penulis merasa perlu dipertanyakan secara mendalam tentang apakah program ini benar-benar bisa mengatasi akar masalah gizi buruk. Apakah memberi makan anak-anak dengan program semacam ini cukup untuk menyelesaikan masalah ketimpangan sosial dan ekonomi yang mendalam. 


Stunting dan gizi buruk adalah hasil dari ketidaksetaraan yang lebih besar dalam distribusi kekayaan dan akses terhadap kebutuhan dasar. Oleh karena itu, untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan, program MBG perlu lebih dari sekadar memberi makan, harus ada solusi struktural yang lebih dalam untuk memastikan kesejahteraan masyarakat secara merata dan berkelanjutan.


Kategori : Opini


Editor      : AHS

5 Komentar

  1. Kadang mimpi besar memang terlihat indah di awal, tapi proses mewujudkannya justru yang paling menguji. Ada yang berhasil dan bahagia, tapi ada juga yang terluka karena ekspektasi tak sesuai kenyataan.

    BalasHapus
  2. Mimpi besar itu bukan soal hasil akhirnya, tapi keberanian untuk tetap melangkah meski penuh rintangan. Luka bisa sembuh, tapi penyesalan karena tidak mencoba akan tinggal selamanya

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama