Hukum di Balik Transaksi Solar Non Subsidi Pertamina dengan Konsumen Industri

Oleh: Hendra Karianga

Dosen Fakultas Hukum Universitas Halmahera

Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

Praktisi Hukum



Jual beli Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar atau biosolar non subsidi antara PT Pertamina Patra Niaga Tbk dengan para konsumen industri merupakan praktik yang lazim terjadi dalam ranah hukum bisnis, terutama di era ekonomi global. Hukum ekonomi dan investasi memberikan keleluasaan terhadap setiap transaksi bisnis sebagai bagian dari prinsip pasar bebas (free market), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 jo Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 yang telah diubah dengan PP Nomor 25 Tahun 2025 tentang perdagangan bebas.


Seluruh perusahaan swasta nasional memiliki kebebasan melakukan transaksi bisnis dengan tujuan meningkatkan iklim investasi yang sehat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional (pro growth). Semakin marak transaksi bisnis yang terjadi, semakin baik pula potret perekonomian Indonesia. Kebebasan pasar merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari dalam era transformasi ekonomi digital dewasa ini.


PT Pertamina Patra Niaga, berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2003 yang telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), merupakan badan usaha milik pemerintah yang mengelola sektor minyak bumi dan gas. Dalam transaksi jual beli dengan para konsumen industri, Pertamina Patra Niaga tunduk pada perjanjian kerja sama (contract of work).


Dalam perspektif hukum, contract of work merupakan kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak—dalam hal ini antara PT Pertamina Patra Niaga dan konsumen industri—dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Masing-masing pihak terikat dan wajib melaksanakan isi perjanjian tersebut dengan itikad baik, sebagaimana ditegaskan dalam asas pacta sunt servanda, yaitu prinsip hukum yang menekankan konsistensi dan kepatuhan terhadap isi perjanjian.


Asas pacta sunt servanda menjadi ratio legis lahirnya Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas ini menjadi instrumen penting dalam hukum bisnis karena menjamin adanya kepastian hukum dan perlindungan terhadap kegiatan usaha, termasuk dalam contract of work antara PT Pertamina Patra Niaga dan para konsumen industri dalam jual beli serta pengangkutan BBM solar non subsidi.


Sebagai perusahaan milik negara, PT Pertamina Patra Niaga memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam menentukan harga dasar BBM solar non subsidi, mekanisme pengangkutan, serta risiko untung-rugi yang tertuang dalam kontrak jual beli.


Konflik hukum dapat timbul apabila terjadi pelanggaran atau ketidaktaatan dari salah satu pihak terhadap isi perjanjian. Seluruh perhitungan keuntungan dan kerugian harus didasarkan pada kontrak kerja yang telah disepakati bersama. Jika timbul sengketa, maka penyelesaiannya harus melalui instrumen hukum perdata karena sifat hubungan hukum tersebut bersifat privat dan tunduk pada mekanisme perdata di pengadilan.


PT Pertamina dalam Pusaran Kasus Korupsi

Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung RI melimpahkan perkara dugaan korupsi di tubuh Pertamina ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), disebutkan adanya dugaan praktik jual beli solar di bawah harga pasar yang bersifat manipulatif, sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp285,18 triliun.


Dalam perkara tersebut, disebutkan pelaku utama adalah Riza Chalid, bersama sejumlah pihak internal di PT Pertamina Patra Niaga, serta 13 perusahaan lokal sebagai konsumen industri, antara lain:


PT Berau Coal, PT Adaro Indonesia, PT Merah Putih Petroleum, PT Buma, PT Pamapersada Nusantara, PT Ganda Alam Makmur, PT Indocement Tunggal Prakarsa, PT Aneka Tambang, PT Maritim Barito Perkasa, PT Vale Indonesia, PT Nusa Halmahera Minerals, PT Indo Tambangraya, dan PT Parinusa Eka Persada.


Dalam perspektif hukum, tindakan manipulatif diartikan sebagai upaya mengendalikan atau memengaruhi pihak lain secara licik demi keuntungan pribadi dengan cara memutarbalikkan fakta atau berbohong. Dalam hukum bisnis, manipulasi dapat terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja menyembunyikan atau menyelewengkan fakta untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah.


Namun, jual beli BBM solar non subsidi antara PT Pertamina Patra Niaga dan 13 perusahaan konsumen industri merupakan transaksi bisnis murni (pure business transaction) yang dilandasi perjanjian jual beli (contract of work). Harga BBM non subsidi ditentukan oleh PT Pertamina Patra Niaga dan disepakati oleh para konsumen industri melalui mekanisme perjanjian yang sah.


Dengan demikian, tanggung jawab atas keuntungan maupun kerugian berada pada masing-masing pihak, sebagaimana diatur dalam kontrak yang disepakati. Tidak terdapat dasar hukum untuk mengkategorikan hubungan bisnis tersebut sebagai tindak manipulatif.


Sementara itu, dugaan manipulasi harga yang melibatkan dua perusahaan asing yang berdomisili di Singapura, yaitu BP Singapore Pte. Ltd. dan Sinochen International Oil Pte. Ltd., dapat saja terjadi mengingat keterbatasan pengawasan lintas yurisdiksi serta sistem manajemen perusahaan asing yang cenderung tertutup.


Sebaliknya, kontrak kerja antara Pertamina Patra Niaga dan para konsumen industri di dalam negeri dilakukan secara transparan, akuntabel, serta berlandaskan Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.


Waspadai Kriminalisasi Kontrak Bisnis

Dalam surat dakwaannya terhadap empat terdakwa internal PT Pertamina Patra Niaga, termasuk mantan direktur Riva Siahaan dkk., JPU menyebutkan adanya dugaan tindak pidana manipulatif dalam transaksi jual beli solar di bawah harga pasar yang merugikan negara. Namun, terkait kerja sama antara Pertamina Patra Niaga dan 13 perusahaan konsumen industri, seluruh proses dilakukan secara terbuka, berdasarkan kontrak kerja yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.


Pemberantasan korupsi di lingkungan BUMN harus didukung sepenuhnya, namun pelaksanaannya wajib dilakukan secara objektif, profesional, dan berkeadilan, tanpa menyeret hubungan hukum keperdataan menjadi perkara pidana. Apabila perjanjian bisnis yang sah dikriminalisasi, maka hal tersebut dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan menakuti investor dalam negeri.


Kontrak kerja jual beli BBM non subsidi antara PT Pertamina Patra Niaga dan para konsumen industri telah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip hukum bisnis. Jika terjadi kerugian, hal tersebut merupakan tanggung jawab masing-masing pihak sebagaimana diatur dalam perjanjian, bukan tanggung jawab bersama apalagi unsur pidana.


Menggiring perjanjian bisnis ke ranah hukum pidana merupakan bentuk kriminalisasi kontrak, dan hal tersebut jelas tidak dibenarkan dalam sistem hukum Indonesia.


Presiden Prabowo Subianto, dalam sambutannya pada acara penyerahan barang bukti hasil sitaan kasus CPO kelapa sawit di Kejaksaan Agung RI, telah menegaskan agar aparat penegak hukum tidak mencari-cari kesalahan atau kasus. Penegakan hukum harus dilakukan dengan benar, profesional, dan berkeadilan. (*)


Kategori : Opini


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama