Ketika Pola Rekrutmen KPK Canggih Melahirkan Keberanian yang Selektif

Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)


Indonesia sudah punya setumpuk peraturan yang memerintahkan setiap K/L menerapkan pola rekrutmen terbaik, berbasis merit, integritas, dan kompetensi. Undang-Undang ASN, PP Manajemen ASN, sampai PermenPAN RB tentang rekrutmen berbasis merit, semua sudah lengkap. Ragamnya lebih lengkap daripada daftar bahan baku masak rendang.


Iskandar Sitorus. Ist

Namun yang tidak pernah diatur oleh hukum adalah, keberanian penyidik harus sama rata. Karena faktanya yang ada saat ini hanya keberanian yang seperti lampu jalan, tergantung siapa yang membayarnya.


*Rekrutmen KPK 2025 seleksi ketat, hasilnya ketat ke publik, longgar ke elite*


KPK hampir tiap tahun memamerkan proses rekrutmen yang katanya berbasis integritas, pengalaman jabatan 5 tahun (apa pun makna elastisnya), rekam jejak dan kompetensi.


Kedengarannya gagah. Tapi efek di lapangan?


Lucunya begini: rekrutmen yang sulit menghasilkan penyidik yang lebih sulit disentuh nuraninya ketika berhadapan dengan penguasa.


Seolah-olah tes kompetensinya bukan soal berani atau tidak berani, melainkan siapa yang harus dihindari.


*Dua OTT, dua Provinsi, dua nasib: Riau halal, Sumut haram*


Kita ambil contoh kasus Riau: operasi tangkap tangan terbukti; alurnya jelas; duitnya ada; alat buktinya lengkap. Dan karena “jodohnya cocok”, Gubernur Riau langsung halal disentuh.


Polanya rapi, padat, tegas. Seperti penyidik yang memang hafal SOP.


Sekarang lihat kasus Sumatera Utara: OTT juga; embuktian juga kuat; ang juga jelas; jabatan juga nyambung serta alurnya paralel dan identik.


Tapi ketika nama Bobby Nasution muncul, penyidik berubah: yang tadinya harimau, tiba-tiba puasa karnivora.


Seolah-olah ada fatwa tak tertulis bahwa Gubernur Sumut itu “najis politik”, atau tidak boleh disentuh tangan suci penyidik.


*Apakah ini citra penyidik yang diinginkan dari pola rekrutmen?*


Kalau dari perspektif hukum dan manajemen ASN, jawabannya jelas: tidak. Tapi dari perspektif “hasil nyata”, pola rekrutmen KPK 2025 terlihat seperti:

1. Nelatih penyidik membaca siapa yang boleh diperiksa, bukan apa yang harus diperiksa;

2. Melatih keberanian yang adaptif terhadap cuaca politik nasional;

3. Melatih integritas yang sangat fleksibel, mendekati elastisitas karet ban;

4. Melatih penyidik untuk menafsirkan OTT berdasarkan status sosial target, bukan unsur pidana.


Jika ini adalah “hasil yang diharapkan”, berarti KPK sedang mengubah diri dari penegak hukum menjadi penegak garis kepentingan.


*Publik melihat jetidakadilan yang kasat mata*


Keadilan itu sederhana bagi publik: “Kalau dua kasus sama, dua pejabat harus mendapat perlakuan sama.” Itu doang, tidak perlu publikasi atau rilis seanggun mungkin hanya untuk tidak terapkan hal yang sama!


Ketika satu OTT dianggap sakral dan satu lagi dianggap saksi, maka rekrutmen KPK bukan lagi persoalan administrasi. Ia berubah menjadi masalah etika publik: “Apakah rekrutmen itu memang didesain agar penyidik memiliki kecakapan memilih-milah mana yang aman diperiksa dan mana yang harus diselamatkan?”


Jika iya, berarti KPK sedang membangun generasi baru: penyidik yang ahli membaca angin kekuasaan, bukan ahli menegakkan hukum!


*Kritik populer: pola rekrutmen canggih, produk yang dihasilkan justru berbahaya*


Coba bayangkan: ada tes mental; ada tes kompetensi; ada tes integritas; ada masa jabatan minimal 5 tahun; ada verifikasi rekam jejak.


Tapi ketika sampai pada praktik: OTT Sumut malah berhenti mendadak. Bobby sampai sekarang seperti tidak boleh disentuh, dipanggil juga tidak!


OTT Riau sangar lancar, seperti tidak ada angin politik.


Publik melihatnya sebagai drama yang sangat jelas:

“KPK berani pada orang tertentu karena boleh. KPK takut pada orang tertentu karena dilarang.”


Maka fungsi rekrutmen itu akan bisa berubah menjadi: bukan memilih mereka yang paling berani, tetapi memilih mereka yang tahu kapan harus takut.


Inilah ironi: KPK membentuk penyidik yang bagus dalam teori, tapi buruk dalam keberanian.


*Kesimpulan tajam*


Jika KPK ingin sistem rekrutmennya dihormati, maka hasil penyidik harus menunjukkan keberanian yang merata, bukan selektif!


Kalau dua OTT menghasilkan dua perlakuan berbeda, maka rekrutmen 2025 gagal menjawab pertanyaan sederhana: “Untuk siapa penyidik bekerja, apakah untuk hukum, atau untuk kenyamanan kekuasaan?”


Ketika publik melihat Bobby haram disentuh, Riau halal, maka keadilan bukan saja tidak hadir, tapi dipermalukan oleh proses rekrutmen yang katanya profesional.


Kategori : News


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama