Menelaah Kebijakan dan Program Anti Perundungan di Sekolah Indonesia

Oleh : Indy Hurun Ein


Tragedi ledakan di SMAN 72 merupakan sebuah bahan refleksi pendidikan di Indonesia. Beragam aspek dalam tragedi tersebut menjadi sorotan, salah satunya terkait perundungan di sekolah sebagai akar masalahnya. Perundungan menjadi diskusi akhir-akhir ini, baik di kanal Youtube, meja makan rumah, warung kopi, hingga perguruan tinggi. Berbagai ahli di bidang terkait, seperti psikologi dan pendidikan, juga berusaha mengurai penyelesaian masalah perundungan di sekolah yang semakin marak dan fatal ini. 



Salah satu pendekatan penyelsaian masalah ialah menggunakan top-down approach atau pendekatan dengan perspektif yang lebih general dan luas, diikuti dengan arahan spesifik untuk diimplementasikan ke berbagai konteks. Oleh karena itu, menelaah kebijakan pemerintah terkait perundungan merupakan hal yang substansial. Kabar baiknya, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang penanganan kekerasan di satuan pendidikan berhasil diterbitkan. Ini merupakan sebuah kemajuan besar karena prosedur penanganan kekearasan, termasuk perundungan dijelaskan secara rinci. Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 terdiri dari beberapa bagian, termasuk definisi dan bentuk kekerasan, cakupan lingkungan terkait, serta pencegahan dan penanganannya. Spesifik terkait pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk perundungan di satuan pendidikan, terdapat beberapa poin yang perlu diperhatikan, terutama dari lensa Psikologi Sekolah. 


Implementasi Program Anti-Perundungan


Dalam Permendikbudristek tersebut, terdapat penekanan terkait pentingnya perencanaan dan pelaksanaan anti kekerasan. Sayangnya, peraturan tersebut tidak memberikan spesifikasi terkait program apa yang dimaksud. Apakah ini berarti sekolah harus mendesain program anti perundungan ataukah pemerintah menyediakan program terkait yang secara general akan diimplementasikan di seluruh sekolah di Indonesia?


Berkaca dari negara-negara maju, salah satunya Amerika Serikat, sebelum ada pengembangan program anti perundungan, perlu adanya penelitian mendalam berbasis teori dan uji coba terkait efektivitas program tersebut di berbagai sekolah dengan komposisi siswa yang beragam. Lebih dari tiga dekade sudah para peneliti di Amerika Serikat berupaya untuk mendesain dan meneliti efektivitas program anti perundungan. Itu pun masih banyak sekali hal yang perlu diubah dan disesuaikan untuk benar-benar mengurangi kasus perundungan di sekolah karenya nyatanya, perundungan lebih kompleks dari yang terlihat. 


Indonesia pernah bekerja sama dengan United Nations Children's Fund (UNICEF) untuk adaptasi program ROOTS. Namun, hasil uji coba program tersebut di 12 sekolah di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Meskipun di Sulawesi Selatan terdapat penurunan jumlah perundungan di sekolah terkait, di Jawa Tengah justru menunjukkan hasil sebaliknya. 


Idealnya, perlu diadakan penelitian lanjutan dan modifikasi lebih untuk mencapai hasil meyakinkan bahwa program tersebut efektif. Sayangnya, Kemedikbudristekdikti pada saat itu mulai menjalankan program ini di berbagai sekolah tahun 2023. Ini menunjukkan program anti perundungan di Indonesia seharusnya perlu melewati pengujian cermat dan ilmiah, dan idealnya, didasari oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang mengkaji dasar, penyebab, pola, budaya, dan kebiasaan masyarakat Indonesia, dibandingkan adaptasi program dari negara lain. 


Selain itu, penting pula untuk berfokus pada aplikasi atau praktik pembelajaran sosial-emosional di sekolah. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia, cara sekolah menangani perundungan lebih merujuk pada pembahasan terkait pendidikan karakter, sosialisasi, poster, rutinitas seperti upacara, ekstrakurikuler, dan kerja bakti, juga hukuman bagi pelaku. Penelitian tersebut juga menyoroti bahwa guru menjadi pemegang tanggung jawab terbesar terkait hal ini. Padahal, isu ini menjadi tanggung jawab bersama, termasuk orang tua, siswa, konselor, komunitas, bahkan pemerintah. Oleh karena itu, perlu juga adanya reformasi sistem pendidikan yang juga menaruh perhatian mendalam terkait pembelajaran kompetensi sosial dan emosional bagi siswa juga pentingnya sarana dan prasarana yang mendukung.


Kapasitas, Sarana, dan Prasarana Sekolah


Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 menekankan pentingnya pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang terdiri dari perwakilan pendidik yang bukan kepala satuan pendidikan dan perwakilan orang tua. Di satu sisi, hal ini tentu sangat esensial karena perlu adanya kolaborasi semua pihak yang terkait dengan anak/pelajar. Di sisi lain, perlu adanya pihak di sekolah yang memiliki kredensial, pengetahuan, dan kemampuan khusus untuk membantu anak belajar terkait kompetensi sosial-emosional, seperti konselor sekolah. Sayangnya, hal ini tidak dicantumkan pada peraturan tersebut. Perlu adanya kolaborasi dengan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), terutama terkait pelatihan dan peran konselor di Indonesia, yang tidak hanya bertanggung jawab untuk penanganan responsif, melainkan juga preventif. 


Selain itu, perlu juga dipertimbangkan terkait fasilitas dan infrastruktur sekolah. Peraturan tersebut menekankan pentingnya ketersediaan ruang pemeriksaan, kanal pelaporan, gedung ramah disabilitas, juga ruang kelas yang layak. Apakah sekolah di Indonesia sudah siap dan memiliki sarana dan prasrana terkait? Apakah guru dan konselor memiliki cukup waktu dan tenaga untuk memperhatikan masalah kesehatan mental dan perundungan di sekolah? Hal-hal mendasar ini perlu dipenuhi terlebih dahulu sebelum program anti perundungan bisa diimplementasikan.


Dua poin ini merupakan segelintir refleksi terhadap kebijakan pemerintah terkait pencegahan dan penanganan perundungan yang semakin meresahkan. Tanpa pengembangan, penelitian, dan evaluasi program anti perundungan yang menyeluruh dan mendalam, serta tanpa disertai sarana dan prasana yang mendukung, peraturan apa pun akan berhenti sebagai dokumen administratif yang tidak berujung pada perubahan nyata. Studi di area ini masih terbatas dan membutuhkan pengembangan lebih lanjut demi tercapainya sekolah yang aman dan ramah bagi semua siswa.


Tentang Penulis

Indy Hurun Ein merupakan mahasiswi doktoral di bidang Psikologi Sekolah di University of Florida yang berfokus pada isu perundungan di sekolah dan pengembangan kompetensi sosial dan emosional anak.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama