JAKARTA, suarapembaharuan.com - Beberapa perusahaan rekanan disebut mulai terseret kasus dugaan korupsi tata kelola bahan bakar minyak (BBM) yang menyeret mantan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. Dalam surat dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, tercantum beberapa perusahaan termasuk PT Berau Coal, PT Bukit Makmur Mandiri Utama, PT Merah Putih Petroleum, PT Adaro Indonesia, PT Pamapersada Nusantara serta PT Vale Indonesia Tbk yang disebut menikmati harga solar non-subsidi di bawah ketentuan pasar selama periode 2021-2023.
![]() |
| Ilustrasi |
Berdasarkan dakwaan, kerugian negara akibat penjualan solar non-subsidi dibawah harga pasar mencapai Rp 2,54 triliun. Namun, penyebutan nama-nama tersebut dinilai belum tentu menandakan adanya pelanggaran dari sisi pembeli, melainkan potensi kelalaian tata kelola dari pihak pemasok BBM.
Menurut pengamat hukum Fernandes Raja Saor, salah satu inti dakwaan adalah penetapan harga jual BBM oleh Patra Niaga yang terlalu rendah. “Jaksa menuduh bahwa terdakwa menjual BBM non-subsidi kepada perusahaan swasta dengan harga yang lebih murah dari harga jual minimum (bottom price) yang seharusnya bahkan ada yang lebih rendah dari harga pokok produksi Pertamina Patra Niaga,” jelasnya pada Jumat (14/11).
Fernandes menambahkan bahwa dalam rantai bisnis migas, pembeli tidak memiliki kendali atas perhitungan harga dasar, melainkan tunduk pada penawaran resmi dari pemasok. “Pembeli kan biasanya menggunakan proses tender untuk mencari harga termurah dan selama ini membeli BBM dari Patra Niaga karena selalu ditawarkan harga termurah. HPP dan Bottom Price Patra Niaga kan bukan informasi umum juga jadi wajar kalau pembeli tidak mengetahui harganya berapa, " jelas Fernandes menambahkan.
Fernandes Raja Saor mengingatkan langkah hati-hati perlu diambil agar pemberitaan tidak menimbulkan kesan penyertaan kolektif. "Masyarakat harus paham bahwa nama pembeli itu muncul sebagai penerima manfaat pasif, bukan pelaku aktif. Sebelum adanya bukti yang menunjukkan ada perbuatan pidana yang dilakukan, framing publik harus hati-hati agar tidak menimbulkan panic reaction di bursa atau sentimen negatif yang tidak berdasar,” tandas Fernandes.
Terkait itu, ada aturan dan prinsip yang perlu dicermati terkait konsekuensi hukum perusahaan atau korporasi swasta yang sebagian merupakan perusahaan anak dari sebuah holding company. Secara umum sesuai Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), pengambilan keputusan oleh anak perusahaan yang berstatus Perseroan Terbatas (PT) di Indonesia tidak secara otomatis dipertanggungjawabkan oleh holding company (perusahaan induk).
Fernandes Raja Saor mengatakan kasus ini justru bisa menjadi momentum bagi perusahaan untuk menunjukkan komitmen terhadap transparansi dan kepatuhan kontraktual. "Kalau perusahaam secara terbuka menjelaskan posisi mereka dan siap bekerja sama dengan audit investigatif, itu akan meningkatkan kredibilitas korporasi di mata investor,” ujar Fernandes.
Sejauh ini, Kejaksaan belum menetapkan pihak-pihak korporasi sebagai tersangka. Dakwaan masih terfokus pada dugaan pelanggaran tata kelola internal di Pertamina Patra Niaga, terutama pada proses persetujuan harga dan evaluasi profitabilitas produk solar industri.
Kategori : News
Editor : AHS

Posting Komentar