Oleh : Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
*Bukan teknis, tapi sistem bisnis*
Selama lebih dari 15 tahun, masyarakat Indonesia dibiasakan untuk menerima hal yang tidak ada logikanya, yaitu: kuota yang sudah dibeli secara sah dapat dihanguskan begitu saja. Padahal yang dibeli masyarakat bukan jam, bukan masa aktif, bukan langganan waktu. Yang dibeli publik adalah volume data.
Namun industri telekomunikasi memutar logika, malah sebut: “Kuota boleh hangus, karena masa aktifnya habis.”
Dan selama 15 tahun pula negara membiarkannya! Sudah saatnya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menggerakkan instrumennya untuk menuntaskan kesalahan yang merugikan tersebut.
IAW akan terus konsisten meneriakkan ini.
Hari ini, seluruh fakta regulasi, ekonomi, governance, dan bukti dari provider sendiri semakin menunjukkan bahwa: kuota hangus bukan sekadar isu teknis. Ini adalah kejahatan ekonomi digital terbesar dalam sejarah Indonesia!
*Kesalahan persepsi yang diciptakan industri*
ATSI bersikukuh bahwa kuota tidak bisa berlaku permanen karena “terikat spektrum frekuensi”.
Pernyataan yang tidak hanya lemah secara hukum, tetapi juga kontradiktif secara teknis dan ekonomis. IAW menjawab:
1. Frekuensi tidak punya hubungan langsung dengan hak kepemilikan kuota. Ini buktinya: token listrik berbasis frekuensi, tetapi tidak berlaku hangus. E-money/e-toll: berbasis frekuensi tetapi tidak diberlakukan hangus. Saldo e-wallet juga tidak hangus. Jadi, jika semua layanan berbasis frekuensi lain saja tidak hangus, lalu mengapa kuota harus hangus? Ini bukan soal teknis. Ini soal model bisnis.
2. Yang dibeli masyarakat adalah barang digital (volume), bukan waktu. Pasal 1457 KUHPerdata mengatur jual beli adalah barang yang berpindah kepemilikan setelah dibayar. “Kuota adalah liter digital. Publik membeli liter air, bukan jam untuk minum air.”
3. Permenkominfo 5/2021 tidak pernah mengatakan kuota boleh dimusnahkan. ATSI mengutip pasal 74 ayat 2 PM 5/2021 mengenai batas waktu deposit. Tapi aturan itu tidak pernah menyebut kuota dapat dihanguskan. Regulasi tidak boleh ditafsirkan untuk merampas hak rakyat.
*Bukti terkuat justru provider senditi telah membuktikan kuota tidak perlu hangus*
Dalam 12 bulan terakhir, hampir seluruh operator merilis produk anti hangus. Pertama Telkomsel meluncurkan Terbaik Untukmu (2025); rollover kuota bulanan; kuota tersisa ditambahkan ke bulan berikutnya dan berlaku nasional.
Kedua, XLSmart, mempublikasikan My Package (2025), transparansi kuota real-time; adwal reset kuota dan aemua fitur dirancang agar kuota tidak hangus.
Ketiga, Indosat terbitkan produk Freedom No Hangus. Terakhir Smartfren menyatakan nonstop dan unlimited no hangus.
Dan semua rilis tersebut menggunakan frasa-frasa resmi:
“Kuota tidak akan hangus.”; “Rollover.”; “Transparansi penggunaan agar tidak ada kuota yang terbuang.”
Itu semua artinya, bahwa secara teknis, provider mampu membuat kuota tidak hangus. Karena itu, seluruh alasan teknis selama 15 tahun gugur total!
Ini yang disebut dalam hukum sebagai asas Estoppel, yakni “Jika Anda sekarang mengakui sesuatu bisa dilakukan, maka Anda tidak bisa berdalih bahwa dulu itu tidak mungkin.”
Dengan kata lain perubahan kebijakan provider adalah bukti paling kuat bahwa kuota hangus adalah kebijakan bisnis yang disengaja. Jadi sangat sulit untuk berkelit lagi bukan?
*Kronologi kritik IAW terhadap jejak 15 tahun yang tak terbantahkan*
IAW bukan baru bicara hari ini. Kritiknya panjang, tersistematik, dan terdokumentasi:
- Fase awal 2022 ada diskusi terkait transparansi telekomunikasi mengenai kuota hangus dengan komunitas jurnalis di restoran Muse Makassar, Blok M, Jakarta Selatan.
- IAW telah melayangkan pengaduan masyarakat ke Bareskrim Mabes Polri tanggal 21 September 2022, mengidentifikasi celah pelanggaran PSAK 23 dan ungkap “Fraud by Omission”. Mendefinisikan kuota hangus sebagai penghilangan informasi material. Menyertakan dokumen teknis analisis sistem billing seluruh operator dan sebut dugaan oligopoli telekomunikasi.
- Anggota Komisi I DPR, Okta Kumala Dewi, secara resmi membahas temuan IAW tentang kerugian kuota hangus yang mencapai Rp 63 triliun pada Juni 2025 (data awal yang kini terbukti konservatif).
- IAW secara resmi melayangkan tiga surat kritikan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 15 Juli 2025. Surat pertama secara khusus mendesak BEI untuk bertindak atas tidak diungkapnya nilai kuota hangus yang mencapai triliunan rupiah per tahun dalam laporan keuangan emiten telekomunikasi. IAW mempertanyakan kinerja pengawasan BEI dan menegaskan bahwa praktik ini berpotensi melanggar prinsip materialitas dalam PSAK 23 dan IFRS 15. Surat ini juga mendorong BEI untuk mewajibkan transparansi nilai transaksi kuota hangus serta membuka peluang restitusi publik dan gugatan class action bagi konsumen yang dirugikan. Sayangnya sampai sekarang BEI belum memberi respon yang seharusnya, apalagi buah kinerja mereka.
- Kritik IAW dapat diverifikasi dengan baik dan memiliki dasar yang kuat, jejak advokasi yang sistematis inilah yang kini memberikan pemahaman bahwa rilis "paket anti-hangus" oleh provider dapat dilihat sebagai sebuah pengakuan tidak langsung.
Fakta bahwa kritik IAW telah mendahului inovasi provider saat ini terkait "anti-hangus", itu mengubah inovasi tersebut dari sekadar "produk baru" menjadi sebuah bukti pengakuan (admission by conduct) terhadap kebenaran yang selama ini disebut IAW. Hal ini memperkuat argumen bahwa "hangusnya kuota" adalah pilihan bisnis, bukan keterpaksaan teknis.
Jika industri mengaku baru “menyempurnakan layanan” pada 2025, maka IAW tetap menyampaikan isu ini secara konsisten sampai perubahan nyata dilakukan oleh para provider!
*Kerugian publik dan negara 2010-2025*
Menggunakan formula konservatif 200 juta pelanggan dengan belanja kuota rata-rata Rp25.000 dan toleransi 10% kuota hangus, maka terhitung dikisaran tidak berlebih dari Rp613 triliun hilang dalam 15 tahun.
Kerugian itu meliputi:
1. Kerugian konsumen, karena nilai hak digital hilang.
2. Kerugian negara, PPN dihitung atas nilai penuh tetapi manfaat tidak diberikan. Ada potensi misleading revenue recognition. PNBP spektrum tidak mencerminkan pemanfaatan aktual. Potensi penyimpangan pajak korporasi akibat pengakuan pendapatan tidak akurat
3. Kerugian tata kelola industri, sebab hilangnya transparansi revenue. Tidak dicatat sebagai liabilitas (utang jasa). Mengarah pada fraud by omission kelas korporasi.
*Fraud by omission sebagai delik yang terbentuk sendiri*
Fraud by omission terjadi bila:
1. Ada kewajiban mengungkap informasi material.
2. Informasi itu disembunyikan.
3. Penyembunyian memberikan keuntungan finansial.
4. Pihak lain mengalami kerugian.
Faktanya, provider tidak pernah mengungkap nilai kuota hangus dalam laporan keuangan (padahal material). PSAK 23 dan IFRS 15 mewajibkan pengungkapan “pendapatan diterima di muka yang belum diberikan manfaatnya”. Kuota hangus adalah manfaat yang tidak diberikan.
Ini tidak hanya mismatch akuntansi. Ini berpotensi memasuki:
1. Pasal 20 UU Perlindungan Konsumen.
2. Pasal 1365 KUHPerdata, perbuatan melawam hukum (PMH).
3. Pasal 3 UU Tipikor, karena memperkaya korporasi dengan merugikan rakyat.
*Analisis hak keperdataan kuota sama dengan hak milik digital*
1. Pasal 4 UU Konsumen sebut hak atas manfaat barang/jasa.
2. Pasal 1338 KUHPerdata mengatur tentang itikad baik.
3. Pasal 1457 KUHPerdata mengatur tentang jual beli.
Kuota yang sudah dibayar sama dengan hak milik digital yang wajib diberikan penuh.
Menghanguskan kuota adalah:
1. Pelanggaran kontrak.
2. Pelanggaran itikad baik.
3. Pelanggaran perlindungan konsumen.
4. Pelanggaran keuangan negara (karena pajak dihitung atas layanan yang tidak diberikan).
5. Pelanggaran tata kelola industri berizin negara.
*Siapa yang bertanggung jawab?*
Dari uraian analisa di atas, maka patut dimintai pertanggung jawaban dari:
1. Direksi para operator, karena kebijakan kuota hangus adalah keputusan model bisnis.
2. Komisaris dan Komite Audit, sebab tidak menjalankan fungsi pengawasan liabilitas digital.
3. Auditor eksternal karena selama 15 tahun tidak pernah meminta pengungkapan nilai kuota hangus.
4. Regulator (Kominfo dan BRTI) sebab membiarkan fenomena yang bertentangan dengan hak ekonomi publik.
5. Pemerintah pada masa berlaku kuota hangus.
Jika PNBP dan pajak tidak mencerminkan kondisi riil, maka itu sama saja dengan negara dirugikan!
*Solusi terstruktur IAW*
1. Audit investigatif BPK terhadap Kominfo dan BRTI serta provider berlisensi negara dari tahun 2010–2024 untuk menghitung liabilitas digital yang tidak pernah dicatat.
2. Dilahirkan Perppu Perlindungan Konsumen Digital guna memastikan kuota adalah hak milik digital.
3. Rollover wajib nasional, dengan aturan kompensasi otomatis.
4. Dilakukan class action nasional oleh publik.
5. Dibentuk Satgas Tipikor Digital (KPK–Kejagung) guna menelisik potensi pasal 3 UU Tipikor.
6. Revisi total Permen Kominfo 5/2021
*Kuota hangus adalah simbol negara lemah*
Selama 15 tahun, publik membayar kuota yang tidak pernah sepenuhnya diberikan. Sekarang provider sudah membuktikan sendiri bahwa kuota tidak perlu hangus. Karena itu, semua alasan teknis dan regulasi runtuh dengan sendirinya.
Dan bila negara terus membiarkan kuota rakyat musnah tanpa jejak, maka sejarah akan mencatat: Indonesia adalah negara yang melindungi operator, bukan konsumen. Negara yang membiarkan Rp613 triliun hilang begitu saja. Negara yang gagal melindungi hak milik digital rakyatnya.
*IAW sudah bicara, dan kini, 200 juta-an rakyat bersuara bersama. Saatnya negara menjawab. Kami yakin Presiden Prabowo mumpuni untuk menuntaskan hal itu, menunjukkan bahwa negara kita tidak lemah!*
Kategori : Opini
Editor : AHS

Posting Komentar