Audiensi dengan Komnas HAM, Koalisi Masyarakat Sipil: Hentikan Praktik Impunitas, Reformasi Peradilan Militer

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (selanjutnya Koalisi) melakukan audiensi dengan Komnas HAM di Jakarta pada Jumat (12/12/2025) berkaitan dengan temuan kekerasan yang dilakukan oleh oknum prajurit TNI, dan korban ketidakadilan peradilan militer. Koalisi meminta agar segala praktik impunitas dihentikan dan peradilan militer direformasi.



"Audiensi ini merupakan bagian dari upaya gerakan masyarakat sipil untuk mengecam tindak kekerasan TNI dan praktik impunitas yang terjadi pada peradilan militer. Kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI selama ini kerap berakhir tanpa penyelesaian yang adil akibat mekanisme peradilan militer yang tertutup, tidak independen, dan tidak memberikan ruang bagi korban untuk memperoleh keadilan," ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, ⁠Irvan Saputra dari LBH Medan seusai audensi dengan Komnas HAM.


Irvan menegaskan kasus-kasus pelanggaran hukum yang melibatkan anggota TNI kembali memperjelas kelemahan struktural sistem Peradilan Militer. Dalam kasus pembunuhan MHS, kata Irvan,  pelaku yang merupakan anggota TNI hanya dijatuhi hukuman kurungan sembilan bulan oleh Peradilan Militer. 


"Putusan yang sangat ringan ini tidak hanya mencederai rasa keadilan keluarga korban, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistem Peradilan Militer memberi pertanggungjawaban yang setimpal. Proses persidangan yang tertutup dari pengawasan publik, menjadikan ketimpangan ini semakin sulit untuk dikoreksi," tandas Irvan.


Sementara itu, kata Irvan, kasus pembunuhan jurnalis Rico Pasaribu beserta keluarganya memperlihatkan problem impunitas yang jauh lebih mengkhawatirkan. Meski beberapa pelaku pernah diproses, kata dia, namun dalang, aktor intelektual, dan jaringan yang bertanggung jawab belum pernah diseret ke pengadilan hingga hari ini. 


"Minimnya transparansi serta tidak adanya kemajuan signifikan menunjukkan bagaimana mekanisme hukum yang berlaku selama ini tidak mampu mengungkap kebenaran secara tuntas dan tidak menjamin keadilan bagi keluarga korban," ungkap Irvan. 



Irvan mengatakan Koalisi menilai bahwa dua kasus tersebut bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi refleksi sistemik dari watak peradilan militer yang menutup diri dari kontrol publik. Selian itu, kata dia, peradilan militer memberikan standar penghukuman yang lebih rendah, serta mengaburkan pertanggungjawaban pidana anggota TNI dalam tindak kriminal yang dilakukan. 


"Hal ini semakin menegaskan bahwa Peradilan militer tidak dirancang untuk mengadili tindak pidana umum. Fungsi utamanya adalah menjaga disiplin internal, bukan menangani kejahatan terhadap warga sipil. Ketika pembunuhan, penyiksaan, atau kejahatan lainnya justru diadili secara tertutup di ranah militer, maka keadilan substantif tidak pernah benar-benar tercapai," jelas dia.


Koalisi Masyarakat Sipil memandang, bahwa praktik peradilan militer hingga detik ini masih menyisakan ruang hampa. Peradilan militer berlawanan dengan prinsip negara demokratis dan amanat Reformasi 1998. 


"Agenda reformasi TNI secara eksplisit mengharuskan pemisahan yurisdiksi antara tindak pidana umum dan pelanggaran militer. Namun hingga kini, implementasi prinsip tersebut belum dijalankan secara penuh," tutur dia.


Karena itu, kata Irvan, Koalisi secara tegas menyatakan bahwa seluruh tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI, termasuk pembunuhan, penyiksaan, kekerasan seksual, penghilangan nyawa, maupun tindak kriminal lainnya, wajib diadili melalui peradilan umum, dan bukan melalui peradilan militer. 


"Kami mendesak pemerintah, DPR, dan TNI untuk segera mengambil langkah konkret dan terukur guna memastikan bahwa setiap prajurit yang melakukan tindak pidana umum diproses melalui peradilan umum, dengan transparansi penuh, dan akuntabilitas yang dapat diawasi publik," pungkas Irvan.


Kategori : News


Editor     : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama