Bangunan Rp200 Triliun PNBP Di Atas Pasir: Kekacauan Tarif 10% dan Ancaman Koreksi BPK atas Kinerja Menteri ESDM

Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)


*Ruang rapat yang menguapkan aroma kekeliruan*


Saya pernah masuk ruang tripartit, tapi suasana awal Februari 2025 itu lain. Ada aroma aneh, yakni aroma “kita tahu salah, tapi kita paksakan saja”.



Di depan, pejabat-pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sibuk membuka slide yang tiba-tiba muncul bergaya superhero: “penetapan tarif 10%”. Tidak ada THP revisi. Tidak ada tanggapan perusahaan. Tidak ada Konsep LHP baru. Yang ada hanyalah keberanian melompat jurang tanpa jembatan.


Saya sampai harus bertanya dalam hati: “kenapa Kementerian ini begitu berani menabrak aturan yang dibuatnya sendiri?”


Padahal hanya dua minggu sebelumnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sudah mengirim Surat S-30, itu dokumen resmi dan sah, yang menegaskan tarif 2% untuk bijih Nikel kadar rendah yang masuk ke smelter HPAL. Bukan 10%. Tidak 8%. Atau bukan interpretasi liar!


Semuanya jelas. Semuanya legal. Semuanya terekam. Namun di forum itu, tarif berubah seperti sulapan.


*Fondasi retak di balik euforia Rp200 triliun*


Saya tidak anti pencapaian. Saya menghargai Menteri ESDM yang dengan bangga memamerkan Penerimaan Negara Bukan Pajak mendekati Rp200 triliun. Masalahnya sederhana: Anda tidak bisa memamerkan bangunan tinggi kalau Anda tahu fondasinya retak. 


Dan retakan itu, tidak kecil. Retakannya menyebar mulai dari tahun 2018 sampai 2025, berlapis-lapis pada 16 wajib bayar, dan memuncak ketika tarif 10% dipaksakan tanpa landasan hukum. Maka publik tidak bisa menerima kondisi itu!


Saya hampir bisa dengar suara Balai Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan akan bersiul: “hmm… ini bahan koreksi besar.”


Karena BPK tidak peduli angka besar. BPK peduli legalitas proses. Dan proses di Kementerian ESDM ini, saya harus jujur katakan, berantakan!


*Kronologi yang berjalan mulus...lalu disalahkan sendiri*


Mari saya catat runtut, agar publik tidak bingung, in kronologinya:

1. BPKP keluarkan Temuan Hasil Pemeriksaan. Tarif: 2%. Dasarnya Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2022+hilirisasi baterai. Itu sah, legal, sesuai prosedur.

2. BPKP kirim surat S-30 tanggal 20 Januari 2025, kalimat resminya jelas: penjualan ke smelter HPAL=tarif 2%. Mau apalagi? Tinggal bahas, finalkan, tetapkan.

3. Tahapan menurut PP 1/2021, ada empat langkah wajib yakni: THP, tanggapan wajib bayar, konsep LHP dan tripartit. Tidak boleh loncat.

4. Yang terjadi? Malah loncat. Titik!


Dalam tripartit tiba-tiba muncul angka 10% seperti tokoh antagonis dalam film. Tidak ada THP revisi. Tidak ada tanggapan. Tidak ada konsep LHP baru. Inilah lompatan maut administrasi!


Dan saya hanya bisa membatin: “buat apa kita punya PP 1/2021 kalau dilanggar sendiri?”


*Cara BPK melihat kekacauan ini*


Sebagai orang yang sudah 15 tahun bicara dengan auditor negara, izinkan saya memprediksi bagaimana mereka akan menilai hal itu:

1. BPK akan melakukan uji kepatuhan regulasi. Pertanyaannya: apakah tarif 10% ditetapkan sesuai PP 1/2021? Jawabannya: tidak. Dan tidaknya ini fatal. Hasilnya? “Ketidakpatuhan material terhadap peraturan perundangan.” Itu satu kalimat, tapi efeknya seperti palu godam ke laporan kinerja Menteri ESDM!

2. BPK akan melakukan uji validitas penetapan, maka akan membandingkan dua jalur: jalur sah (2%), dan jalur liar (10%). Karena jalur kedua tidak memiliki basis audit trail, hasilnya pasti: PNBP 10%=tidak dapat diakui.

3. BPK akan memeriksa audit trail. Ini yang paling sakit. BPK akan mencari: THP revisi (tidak ada); tanggapan perusahaan atas tarif baru (tidak ada); konsep LHP baru (tidak ada) dan dasar hukum perubahan (tidak ada). Nah, kalau empat dokumen kunci tidak ada? Maka tarif 10% dianggap tidak sah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan!

4. BPK tentu akan melakukan uji materialitas, yakni akan bertanya: “kalau perusahaan menggugat SK tarif 10% ke PTUN, apakah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bisa menang?”Jawabannya: tidak. Tidak mungkin. Tidak akan. Dan kalau keputusan kemungkinan besar kalah? BPK wajib mengeluarkan koreksi material. Dan ini akan dicatat, dipublikasikan, dan diperdebatkan DPR.


*Apa dampaknya ke kinerja Menteri? Ini saya paparkan tanpa ambang-ambang*


Beginilah kalau kementerian ESDM terlalu percaya diri memaksakan angka:

1. PNBP Rp200 triliun berpotensi dikoreksi BPK. Dan koreksi BPK bukan catatan sampingan. Itu bisa mengurangi legitimasi seluruh kinerja menteri.

2. DPR akan memblender isu ini di rapat Komisi VII dan Banggar. Politik DPR tidak peduli dalih teknis. Yang mereka lihat: “mengapa Menteri biarkan strukturnya kerja di luar hukum?”

3. Reputasi Menteri tergores: “penerimaan besar tapi prosedur gagal”. Ini jenis kerusakan reputasi yang melekat.

4. Risiko Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) karena pos minerba dianggap tidak valid.

5. Kementerian ESDM bisa kalah di PTUN. Surat Ketetapan tarif 10% sangat mudah dibatalkan.


*Pelajaran 10 tahun BPK yang enteng saja diulang*


Saya lumayan hafal betul pola temuan minerba BPK sejak 2014, yaitu: pelompatan prosedur, penetapan tidak sesuai regulasi, perhitungan lintas perusahaan yang tidak sah, dan koreksi ratusan miliar setiap tahun.


Dan semua ini sedang diulang lagi di bawah hidung Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.


Kalau saya Menteri, saya sudah marah besar. Karena staf teknis sedang “mempersiapkan koreksi besar atas nama saya.”


*IAW beri jalan keluar terbaik*


Saya katakan ini agar Menteri tidak masuk lubang yang sama:

1. Hentikan pemaksaan 10%.

2. Ikuti PP 1/2021 tanpa modifikasi liar.

3. Kalau mau tarif baru, buat THP revisi resmi.

4. Beri hak tanggapan perusahaan.

5. Finalisasi Konsep LHP yang sah.

6. Jalankan tripartit sebagai forum klarifikasi, bukan forum sulap tarif.


Dengan langkah itu, maka angka PNBP tetap kuat,

tidak dikoreksi BPK, tidak diserang DPR, dan Menteri bisa tidur dengan tenang.


Karena saya ulangi: Indonesia tidak butuh PNBP tinggi yang salah. Indonesia butuh PNBP yang benar, sah, dan bertahan dalam audit hukum apa pun.


*Penutup*


Kalau struktur di bawah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral terus memaksakan proses cacat seperti ini, maka jangan salahkan siapa-siapa ketika angka Rp200 triliun berubah jadi “angka koreksi”. *Karena pada akhirnya, yang diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan bukan jumlahnya, melainkan kejujurannya!


Kategori : News


Editor     : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama