JAKARTA, suarapembaharuan.com — Di tengah komitmen reformasi Polri yang terus disampaikan ke publik, penanganan sejumlah laporan pidana masih menjadi perhatian masyarakat. Salah satunya adalah kasus dugaan penipuan dan penggelapan bisnis solar industri senilai Rp3 miliar yang dilaporkan pengusaha asal Jakarta, Anggara Pardede, ke Polres Metro Jakarta Selatan.
Hingga kini, perkara tersebut masih berada pada tahap penyelidikan. Padahal, hampir dua tahun telah berlalu sejak peristiwa awal terjadi dan hampir satu tahun sejak laporan resmi dibuat. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mengenai kepastian hukum yang seharusnya menjadi bagian dari semangat reformasi institusi kepolisian.
“Yang saya alami ini seolah bertolak belakang dengan semangat reformasi Polri. Prosesnya lambat, tidak transparan, dan tidak memberi kepastian,” ujar Anggara di Jakarta, Senin (22/12).
Kasus ini bermula pada April 2023, saat Anggara diperkenalkan oleh rekannya, Irwan Jefta Manopode, kepada pasangan suami istri Yeni Rahmawati dan Husni. Kepada Anggara, pasangan tersebut mengaku memiliki pengalaman dalam bisnis jual beli solar industri dan menyebut pernah bekerja di perusahaan migas di Makassar. Atas dasar kepercayaan tersebut, para pihak kemudian menandatangani perjanjian penitipan modal usaha pada Juni 2023.
Pada tahap awal kerja sama, aktivitas bisnis disebut berjalan relatif lancar. Transaksi pengiriman solar dilakukan di wilayah Sulawesi hingga sepuluh kali, dengan volume bertahap mulai dari 10 kiloliter, meningkat menjadi 20 kiloliter, hingga 30 kiloliter. Namun seiring waktu, Anggara menilai mulai terjadi perubahan pola pembayaran. Dari yang semula tiga hari, kemudian molor menjadi tujuh hari, bahkan hingga 14 sampai 21 hari.
Permasalahan mulai mencuat pada pertengahan Juli 2023 ketika Yeni dan Husni menawarkan rencana ekspansi bisnis ke Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Mereka menjanjikan potensi pasar yang lebih besar dan mengklaim telah memiliki antrean pembeli dari kalangan kontraktor tambang, termasuk yang disebut-sebut berkaitan dengan proyek Amman Mineral.
Anggara kembali diyakinkan untuk menambah modal. Proposal biaya diajukan, mencakup pembelian solar, sewa kapal, hingga biaya operasional lainnya. Pada awal Agustus 2023, kapal SPOB Permata Barito mengangkut sekitar 150.000 liter solar industri yang dibeli dari PT AKR Corporindo Cabang Benoa, Bali. Seluruh pembayaran dilakukan Anggara melalui transfer bank.
Namun, pengiriman tersebut tidak menghasilkan penjualan sebagaimana dijanjikan. Berbagai alasan disampaikan, mulai dari pembatalan transaksi oleh calon pembeli hingga kendala teknis. Kapal pengangkut bahkan disebut berbulan-bulan berada di Pelabuhan Benete dan diklaim berada di luar jangkauan pengawasan Syahbandar.
Selama periode tersebut, Anggara mengaku terus diminta menalangi berbagai biaya tambahan, mulai dari demobilisasi kapal, pembayaran gaji karyawan, sewa mobil tangki, sewa tangki duduk, hingga pengurusan perizinan. Dalam pertemuan langsung dengan Yeni dan Husni, keduanya kemudian membuat pernyataan tertulis yang menyatakan bertanggung jawab atas seluruh kewajiban pembayaran solar serta biaya operasional.
“Tapi sampai sekarang, janji itu tak sepenuhnya terealisasi,” kata Anggara.
Merasa mengalami kerugian, Anggara akhirnya melaporkan peristiwa ini ke SPKT Polres Metro Jakarta Selatan pada 4 April 2024. Laporan tersebut terdaftar dengan Nomor LP/B/1023/V/2024/SPKT/POLRES METRO JAKSEL/POLDA METRO JAYA. Total kerugian yang dilaporkan mencapai Rp3 miliar, dengan aliran dana ke sejumlah rekening, termasuk perusahaan migas dan rekening perorangan, sesuai arahan pihak terlapor.
Dalam perkembangannya, Polres Metro Jakarta Selatan melalui Satuan Reserse Kriminal telah menerbitkan beberapa Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP), masing-masing tertanggal 5 September 2024, 26 September 2024, dan 13 Januari 2025. Meski demikian, Anggara menilai substansi SP2HP tersebut belum menyentuh inti dugaan tindak pidana.
“Isinya hanya soal penelusuran perusahaan yang diduga bekerja sama dengan Yeni. Tidak ada langkah konkret ke arah penetapan tersangka atau naik ke penyidikan,” ujarnya.
Kekecewaan pelapor bertambah setelah mengetahui bahwa Yeni dan Husni telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara serupa di Sumbawa, NTB. Dalam kasus tersebut, keduanya diduga terlibat penipuan bisnis suplai bahan bakar minyak fiktif yang merugikan pengusaha lain hingga Rp7 miliar. Polda NTB menyatakan penetapan tersangka dilakukan setelah gelar perkara pada Juli lalu.
Bagi Anggara, fakta tersebut seharusnya menjadi pertimbangan penting bagi penyidik Polres Metro Jakarta Selatan untuk mempercepat penanganan laporannya. Ia menilai berlarut-larutnya proses hukum menjadi cerminan tantangan klasik penegakan hukum sekaligus ujian atas komitmen reformasi Polri yang menekankan profesionalitas, transparansi, dan kepastian hukum.
Anggara mengaku kini menghadapi tekanan psikologis dan ekonomi akibat perkara yang belum kunjung tuntas. Ia khawatir aset, dokumen, serta aliran dana yang berkaitan dengan kasus ini berpotensi dialihkan seiring waktu yang terus berjalan.
“Saya hanya ingin kepastian. Mau lanjut ke penyidikan, P21, atau SP3. Jangan digantung seperti ini,” tegasnya.
Ia berharap kepolisian dapat menuntaskan perkara ini secara objektif dan profesional, sejalan dengan semangat pembenahan internal yang terus digaungkan.
“Kalau reformasi Polri itu nyata, kasus seperti ini seharusnya tidak dibiarkan berlarut. Keadilan tidak boleh kalah oleh waktu,” pungkas Anggara.
Kategori : News
Editor : AHS



Posting Komentar