Menggugat Negara yang Tutup Mata: Perjalanan 33 Tahun Sengketа Lahan yang Membongkar Kegagalan Sistem PIR-Trans di Tapanuli Selatan

Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)


Kalau ada proyek pemerintah yang dari jauh kelihatan mulia tapi dari dekat baunya busuk, itulah kasus PIR-Trans PT Victorindo Alam Lestari (VAL) di Ujung Batu, Tapanuli Selatan adalah salah satu contohnya. 



Bayangkan, izin diberikan tahun 1996, tanah dibuka besar-besaran, rakyat ditempatkan, sertifikat dijadikan agunan, kebun dijanjikan. Tapi 33 tahun kemudian, yang tumbuh justru konflik, sengketa, dan lahan yang raib entah ke mana.


Dan selama itu, negara bukannya tak punya aturan, tapi aturan lengkap hanya berhenti sebagai kertas. Di lapangan, yang memanen adalah investor. Yang menanggung sengsara adalah transmigran. Dan yang cuci tangan? Banyak!


Mari kita bedah secara populer tetapi presisi hukum.


1. Awal yang mulia, izin yang rapi, desain yang sempurna, semua di atas kertas. Itu tahun 1996, dengan Keputusan Menteri Transmigrasi KEP.07/MEN/1996, PT VAL diberi mandat untuk mengelola: total lahan: 16.500 Ha; inti: 3.000 Ha; plasma: 12.000 Ha; pemukiman: 1.000 Ha; fasilitas umum: 500 Ha dan untuk 4.000 KK transmigran, masing-masing 3 Ha.


Regulasinya jelas. Formatnya berjenjang. Kewajiban perusahaan lengkap yaitu: membangun kebun plasma, membina KUD, menempatkan transmigran, dan melapor tiap tiga bulan. Masalahnya: VAL tidak menjalankan isi izin. Dan negara tidak mengeceknya!


2. Tanda bahaya sudah muncul sejak 1996, tapi dibiarkan. Departemen Dalam Negeri tahun itu sudah mengeluarkan surat peringatan karena:

- KUD dikuasai investor; 

- Sertifikat tanah petani dipakai jadi agunan bank;

- Tidak ada pengaturan tertulis antar-instansi dan

- Potensi konflik sangat besar.


Kalau di proyek infrastruktur ini disebut “alarm kebakaran”, maka tahun 1996 sudah ada asap. Tapi sistem justru mematikan alarmnya.


3. Perubahan lahan plasma tanpa konsep akuntabilitas, itu tahun 2000–2001 dimana lahan plasma dipangkas dari 3 Ha/KK ke 2 Ha/KK. Dokumen pendukungnya justru dari keputusan Bupati, surat Gubernur, dan persetujuan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Alasan resminya karena keterbatasan lahan.


Pertanyaannya, bagaimana mungkin lahan plasma berkurang, tetapi lahan inti perusahaan tetap 3.000 Ha dan bahkan dibuka lebih luas? Skema PIR-Trans justru mengatur: lahan inti = maksimal 20% dari total areal HPL. Artinya, seharusnya ±600 Ha, bukan 3.000 Ha. Akibatnya, investor dapat bonus ribuan hektar. Petani justru dipotong.


4. Fakta menohok, plasma tidak dibangun, inti justru dilebihkan. Ini inti masalahnya:

- Rencana plasma: 12.000 Ha terealisasi.

- Realisasi plasma: 3.000 Ha tidak terwujud.

- Batas inti: ±600 Ha terealisasi.

- Realisasi inti: 3.000 Ha tidak terwujud.


Dan selama 33 tahun, perusahaan juga menguasai 412 Ha tanah tambahan yang tidak pernah kembali ke transmigran. Clean land dilakukan di luar aturan. Pembangunan kebun plasma tak sesuai kewajiban.


5. Manipulasi kepesertaan dan hilangnya hak warga, padahal dasar hukum yang benar adalah Permen 49/1990 mengatur tentang:

- Penetapan peserta adalah kewenangan Kanwil Nakertrans;

- Hanya pemegang SHM yang sah diakui;

- Perubahan data tidak boleh semena-mena.


Tapi apa yang terjadi? 200 KK peserta sah. Hanya 12 KK yang mendapatkan kembali hak lahannya. 188 KK yang punya legal standing kuat masih kehilangan lahan sampai hari ini. Itu bukan hanya salah urus. Ini indikasi pola eksekusi transmigrasi yang diselewengkan.


6. Pelanggaran hukum: lengkap, sistematis dan berlapis. Berikut bentuk pelanggaran yang dapat dibuktikan dengan dokumen resmi sebagai bahan bagi aparat penegak hukum:


A. Pelanggaran perizinan transmigrasi:

- Tidak melaksanakan kewajiban plasma, itu melanggar KEP.07/MEN/1996;

- Mengubah kepesertaan di luar Permen 49/1990;

- Tidak melapor triwulan, ini melanggar syarat izin.


B. Pelanggaran agraria, berupa lenguasaan lahan 3.000 Ha inti, itu melanggar prinsip 20% HPL. 412 Ha dikuasai tanpa dasar, ini berpotensi tindak pidana pertanahan.


C. Pelanggaran perkoperasian dan pembiayaan, karena sertifikat SHM dijadikan agunan, itu tidak sesuai prinsip KUD. KUD didominasi investor, ini melanggar UU 25/1992. Kesimpulan hukum: kasus ini memenuhi unsur penyimpangan administratif dan pidana.


7. Mengapa negara tidak bertindak? Jawabannya klasik: karena perizinan tidak pernah dievaluasi. Padahal pasal 2 KEP.07/MEN/1996 jelas mengatur bahwa izin akan ditinjau kembali jika perusahaan tidak memenuhi kewajibannya. Kalau aturan ditegakkan sejak tahun 2000, maka kasus 33 tahun ini tidak akan pernah ada!


8. Jalan keluar: anjuran tegas IAW kepada Pemerintah dan APH:


A. Diaudit komprehensif, dengan melibatkan: Kementerian ATR/BPN; Kementerian Ketenagakerjaan; BPKP; Kejaksaan Tinggi Sumut dan Polda Sumut.

Audit harus mencakup:

- Realisasi inti vs plasma;

- Penggunaan agunan KKPA;

- Kepesertaan berdasarkan SHM;

- Penguasaan 412 Ha.

B. Pembekuan izin dan status quo lahan sengketa sampai verifikasi selesai.

C. Restitusi 188 KK merujuk pada:

- Permen 49/1990;

- SK Menteri 1996;

- SHM yang sah.

D. Penegakan hukum dalam bentuk:

- Perdata: class action para transmigran;

- Pidana: penyelidikan penguasaan lahan ilegal;

- Administratif: peninjauan ulang dan sanksi izin.

E. Reformasi PIR-Trans nasional harus belajar dari kasus VAL maka harus jadi preseden agar skema kemitraan tidak lagi jadi ajang penguasaan lahan terselubung dan KUD tidak dijadikan pintu belakang investor.


*Ini bukan sekadar sengketa, ini potret kelemahan pengawasan negara*


Kasus ini bukan konflik lokal. Itu cermin nasional tentang bagaimana: regulasi kuat tetapi pengawasan lemah sehingga investor dominan tapi rakyat jadi korban.


PIR-Trans adalah proyek negara yang seharusnya menciptakan keadilan ekonomi. Tapi di Ujung Batu, yang terjadi adalah: investor panen 33 tahun sementara rakyat panen janji! Dan sekarang waktunya negara membalik keadaan!


*Kesimpulan IAW*


Kasus VAL adalah kombinasi sempurna antara kelalaian negara dan keberanian investor yang tahu bahwa negara tidak akan mengecek.


IAW menyatakan:

- 188 KK memiliki legal standing kuat;

- Penyimpangan perizinan dapat dibuktikan;

- Penguasaan lahan inti berlebih adalah pelanggaran serius;

- Pemerintah wajib meninjau izin, bukan sekadar memediasi.


Aparat penegak hukum harus masuk dengan perspektif kejahatan korporasi, bukan konflik kebiasaan.


*Ini bukan sekadar sengketa administratif. Itu pelanggaran struktural yang berlangsung 33 tahun. Dan sekarang, waktunya negara hadir.*


Kategori : News


Editor      : ARS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama