Oleh : Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
*Ketika negara cepat bertindak tapi lupa mencatat*
Indonesia sedang berpacu dengan waktu. Kerusakan hutan telah mencapai titik yang mengkhawatirkan, dan negara dituntut bertindak cepat, tegas, bahkan keras. Di tengah situasi itu, lahirlah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) sebagai instrumen darurat untuk menghentikan perambahan, sawit ilegal, dan tambang tanpa izin. Namun di sinilah ironi lama negara kembali berulang, yaitu kita cepat menertibkan, tetapi lambat, bahkan lalai, mengelola konsekuensinya!
Seperti banyak episode sebelumnya dalam sejarah pengelolaan aset negara, tindakan di lapangan sering kali berhenti pada “berhasil direbut kembali”, tanpa pernah menjawab pertanyaan paling krusial, lalu aset negara itu secara hukum dan keuangan dikelola oleh siapa, dicatat di mana, dan dipertanggungjawabkan bagaimana?
*Satgas PKH instrumen administratif, bukan penegak hukum*
Perlu ditegaskan sejak awal bahwa Satgas PKH bukan lembaga penegak hukum. Ia dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan dan kebijakan administratif Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun Menteri ESDM. Mandatnya adalah penertiban administratif dan pengamanan kawasan hutan, bukan penyidikan, penyitaan, atau perampasan aset dalam pengertian hukum pidana!
Dalam sistem hukum Indonesia, kewenangan untuk menyita, merampas, dan menentukan nasib hukum suatu aset, hanya dapat dilakukan oleh penyidik dan pengadilan melalui proses hukum yang sah.
Masalah muncul ketika penertiban administratif bergeser menjadi penguasaan fisik dan pengalihan pengelolaan lahan, tanpa putusan pengadilan, tanpa mekanisme keuangan negara, dan tanpa jejak akuntabilitas yang jelas.
*Dari penertiban ke pengalihan, itu titik rawan tata kelola*
Dalam sejumlah kasus, lahan sawit atau tambang yang ditertibkan Satgas PKH tidak sepenuhnya dikembalikan ke dalam sistem pengelolaan Kementerian LHK, melainkan langsung dikelola oleh BUMN, salah satunya PT Agrinas Palma Nusantara.
Di titik inilah problem sistemik negara kembali terbuka!
Salah satu ujian terkait hal itu mulai terlihat saat masyarakat di wilayah Padanglawas Utara (Paluta di Sumut) dan Rokan Hulu (Rohul di Riau) menggugat keberadaan Plasma perkebunan ke pengadilan negeri. Ternyata PT Agrinas sendiri tidak dalam posisi yang tidak memahami esensi sebagai korporasi perkebunan.
Kawasan hutan adalah kekayaan negara yang dikuasai oleh negara, dan dalam rezim keuangan negara, ia tunduk pada prinsip Barang Milik Negara (BMN). Artinya, setiap pengalihan pemanfaatan atau pengelolaan wajib melalui Penetapan Status Penggunaan (PSP) oleh Menteri Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), disertai penilaian, pencatatan, dan pengawasan.
Satgas PKH tidak memiliki kewenangan menerbitkan PSP, tidak memiliki fungsi penilaian aset, dan bukan pengelola kekayaan negara. Ketika penguasaan lahan berpindah tanpa mekanisme itu, maka negara sedang mengulangi kesalahan klasik yakni: aset diambil alih secara fisik, tetapi hilang secara administratif!
*Pola lama yang selalu diingatkan BPK*
Apa yang terjadi dalam penertiban kawasan hutan ini sejatinya bukan hal baru. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama lebih dari dua dekade secara konsisten menemukan pola yang sama dalam pengelolaan aset negara, yakni: aset negara dikuasai tanpa dasar hukum yang lengkap, pengalihan pengelolaan tanpa persetujuan Menteri Keuangan, tidak tercatat dalam sistem BMN, tidak dinilai secara independen, dan tidak jelas manfaat ekonominya bagi negara!
Pola ini muncul dalam kasus aset eks BLBI, aset rampasan tindak pidana, eks HGU, hingga aset hasil penyitaan korupsi. Kini, pola serupa berisiko terulang dalam konteks penertiban kawasan hutan.
Ini bukan soal niat buruk, melainkan desain negara yang selalu memisahkan penegakan hukum dari tata kelola keuangan negara.
*Risiko terbesar Satgas PKH, legalisasi atas ketidak-legalan*
Lebih jauh, praktik ini membawa risiko kebijakan yang serius. Jika lahan sawit ilegal langsung dikelola oleh BUMN perkebunan tanpa proses perubahan peruntukan kawasan hutan dan tanpa putusan pengadilan, maka negara berpotensi melakukan legalisasi administratif atas pelanggaran ekologis. Alih-alih memulihkan fungsi hutan, negara justru mengubah pelanggaran menjadi bisnis yang sah, tanpa pernah menuntaskan cacat hukumnya.
Dalam logika audit dan tata kelola, ini bukan pemulihan, melainkan pemindahan masalah!
*Kritik sistemik, negara selalu menangkap, jarang mampu mengelola*
Kasus Satgas PKH hanyalah satu bab dari kritik yang lebih besar bahwa Indonesia pandai merebut aset, tetapi lemah mengelolanya. Hal yang sama terjadi pada aset rampasan korupsi, aset sitaan KPK, Kejaksaan, Polri dan aset eks kredit macet, hingga aset hasil penertiban kawasan.
Negara hadir di tahap awal, fase penyitaan, penertiban, penguasaan, tetapi menghilang di tahap paling penting, yakni pencatatan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban keuangan. Akibatnya, aset negara hidup di ruang abu-abu, yaitu bukan milik pelaku lama, namun belum sepenuhnya menjadi kekayaan negara!
*Jalan keluar tegas, cepat tetapi tetap sah*
Solusinya bukan menghentikan Satgas PKH. Kecepatan dan ketegasannya dibutuhkan dalam darurat ekologis. Namun negara harus disiplin pada pembagian peran, yakni: Satgas menertibkan dan mengamankan, penyidik menyelidiki jika ada unsur pidana, Pengadilan memutuskan, DJKN mencatat dan mengelola aset negara, dan BPK mengawasi secara menyeluruh.
Tanpa disiplin ini, setiap keberhasilan di lapangan hanya akan menjadi temuan audit di masa depan!
*Negara hukum diuji justru saat darurat*
Darurat lingkungan tidak boleh dijawab dengan darurat hukum. Negara tidak boleh mengorbankan kepastian hukum demi kecepatan administratif yang semu. *Satgas PKH seharusnya menjadi simbol ketegasan negara yang taat konstitusi, bukan contoh baru bagaimana negara kembali mengulangi kesalahan lama dalam pengelolaan asetnya sendiri.*
Karena pada akhirnya, kekuatan negara hukum bukan diukur dari seberapa cepat ia mengambil alih tanah, tetapi dari seberapa rapi ia mencatat, mengelola, dan mempertanggungjawabkan setiap jengkal kekayaan rakyatnya!
Kategori : News
Editor : ARS

Posting Komentar