Kritikan Terhadap Jokowi Bentuk Kontrol Mahasiswa Terhadap Penyelenggara Negara

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Kritik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) kepada Presiden Joko Widodo ditanggapi beragam oleh tokoh partai politik hingga masyarakat luas. 


Sahat Simatupang (tengah)

Pro - kontra terhadap tuduhan BEM UI kepada Jokowi sebagai The King of Lip Service memantik keriuhan politik tanah air sejak akun @BEMUI_Official mengunggah sebuah poster bertajuk "Jokowi: The King of Lip Service", Sabtu (26/6/2021) lalu.


Menanggapi pro kontra tudingan mahasiwa kepada Jokowi, mantan aktivis 98 Sahat Simatupang menilai kritik kepada Jokowi sebagai bentuk kontrol sosial mahasiswa kepada penyelenggara negara.


"Sebagai Presiden, Jokowi adalah pusat koordinasi penyelenggara negara. Ditangan seorang Presiden arah politik dan ekonomi ditentukan. Apalagi Indonesia menganut sistim presidensial. Kekuasan Presiden ada disemua bidang karena sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan," kata Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 ini, Jumat 2 Juli 2021.


Sahat mengatakan, Jokowi sebagai opinion leader sekaligus sebagai pusat koordinasi penyelenggara negara tentu aksi nyatanya ditunggu.


"Kalau Jokowi ngomong A kemudian rakyat mengartikan itu sebagai sebuah janki, kan rakyat menunggu. Kalau kemudian omongan atau janjinya itu belum terlaksana setidaknya sejak 2014 lalu atau tujuh tahun setelah jadi Presiden, kan wajar rakyat bersikap," kata mantan Direktorat Relawan Tim Kampanye Jokowi - Maruf Amin, Provinsi Sumut ini.  


Beberapa janji Jokowi yang masih jadi ganjalan dihati para aktivis 98, ujar Sahat adalah penguatan pemberantasan korupsi dan penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu.


"Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 berjanji akan memperkuat KPK bahkan menyebut penyidiknya jangan hanya 60 orang saja. Namun yang kami lihat justru sebaliknya, penyidik KPK yang berintegritas tergusur dari KPK. Nah, apakah salah kalau mahasiswa kemudian berkesimpulan Jokowi ngomong A, tapi faktanya B," kata Sahat.


Janji Jokowi lainnya yang membuat aktivis 98 masih menyimpan kegundahan, ujar Sahat, adalah penyelesaian pelanggaran HAM penembakan mahasiswa Trisakti Mei 1998 dan kerusuhan SARA dengan banyak korban etnis Tionghoa.


"Moral politik Jokowi dipertaruhkan karena dia pernah berjanji saat kampanye Pilpres 2014 akan menuntaskan pelanggaran HAM. Dan siapapun pasti sependapat, penembakan mahasiswa Trisakti dan kekerasan yang dialami etnis Tionghoa pada Mei 1998 adalah pelanggaran HAM," ujar Sahat.


Selain janji penguatan KPK dan penuntasan pelanggaran HAM, Sahat menyinggung janji Jokowi saat kampaye Pilpres 2014 lalu akan membeli kembali Indosat yang dijual kepada Singapore Technologies Telemedia pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri.


"Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 mengatakan, Indosat akan dibeli lagi dan menjadi satelit milik Indonesia untuk mengoperasikan pesawat tanpa awak atau drone," ujar Sahat.


Karena belum memiliki satelit sendiri, ujar Sahat, Jokowi mengatakan, sementara waktu drone Indonesia menumpang atau nebeng di satelit milik tetangga Indonesia.


"Namun nyatanya Indosat tak jadi dibeli. Apakah salah kalau kemudian Jokowi disebut hanya janji. Kalau kemudian ada pertimbangan lain sehingga Indosat tak jadi dibeli, mestinya Jokowi menyampaikan hal itu agar rakyat tak mencap nya sebagai pemimpin banyak janji. Jadi kalau ada aktivis 98 yang menyerang BEM UI karena menyebut Jokowi The King of Lip Service, saya pastikan itu aktivis 98 partisan atau pembela partainya," ujar Sahat.


Namun, sambung Sahat, tidak semua janji Jokowi yang tidak terwujud seperti pembangunan infrastruktur, jalan tol, bandara dan pelabuhan.


"Kita juga harus objektif, bahwa Jokowi menepati janji membangun berbagai infrastruktur," ujar Sahat. Hanya saja, tambah Sahat, infrastruktur yang dibangun itu belum mendongkrak ekonomi naik signifikan dan menjadi daya dorong pertumbuhan ekonomi 7 persen sesuai janji Jokowi.


Apalagi jalan tol yang sudah selesai dibangun, sambung Sahat, malah direncanakan akan dijual kepada swasta. Padahal dalam bisnis, kata Sahat menambahkan, menjual sebagian saham atau divestasi adalah hal wajar.


"Tapi karena yang dijual ini jalan tol, terkesan negara sedang menjual negara kepada swasta. Padahal jalan tol itu dibangun oleh biaya BUMN bukan dari anggaran pendapatan belanja negara atau APBN, namun mahasiswa terlanjur memvonis pemerintahanan Jokowi menjual jalan tol kepada swasta dan asing," ujar Sahat.


Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98, ujar Sahat, akan mengkritik Jokowi sekaligus mengawal pemerintahannya hingga 2024.


"Sepanjang dia (Jokowi) dan keluarganya tidak korupsi, tidak ada alasan mempercepat dia berhenti. Kami ingin Jokowi berhenti secara alami sesuai siklus lima tahunan. Tidak ada alasan yang cukup menjatuhkan presiden hanya karena janji politik. Namun secara moral politik, Jokowi sedang berada di titik terendah sehingga kritik BEM UI terkesan mengolok - olok seorang kepala negara, padahal tidak," kata Sahat mengakhiri. 






 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama