Luhut Pandjaitan dan LB Moerdani: Kesetiaan Tegak Lurus

Oleh : DR Drs RE Nainggolan M.M


Saya kira tidak berlebihan jika kita katakan sosok LB Moerdani dan Luhut Binsar Pandjaitan adalah dua “cermin” besar untuk melihat apa itu makna kesetiaan tegak lurus. Bukan kebetulan pula jika keduanya -- terlepas dari perbedaan usia dan pangkat militer yang terpaut jauh -- secara pribadi sangat dekat.


RE Nainggolan

Selain soal dedikasi dan tekad luar biasa untuk selalu menyelesaikan setiap tugas yang diamanahkan pimpinan mereka, seberat dan sebanyak apa pun itu, ada satu nilai yang begitu teguh dipegang keduanya: “Kesetiaan Tegak Lurus”.


Presiden Joko Widodo adalah tokoh yang punya kemampuan luar biasa, mampu memberi warna baru dalam sejarah politik dan kepemimpinan di negara kita. Di luar perkiraan banyak pihak sebelumnya, beliau mampu memimpin “orkestra birokrasi”, mulai dari tingkat kota di Solo, ibu kota Jakarta, hingga kini negara. Salah satu ciri paling menonjol adalah kemampuannya menempatkan the right man on the right place.


Begitulah sesungguhnya kepemimpinan. Pemimpin di puncak rantai komando tidak dituntut menguasai segala hal sampai ke urusan teknis. Lagi pula itu tidak mungkin. Yang paling tepat dan logis adalah, pemimpin harus bisa memilih dan mempercayai orang-orang dan tepat untuk mengurusi berbagai hal itu, dan sebagai top leader, dia menjadi puncak koordinasi dan pengambilan keputusan besar dan bersifat pokok.


Dalam kaitan itu, seorang pemimpin melihat setidaknya tiga hal saat memberikan kepercayaan kepada pembantu terdekatnya: kapabilitas, integritas, dan loyalitas. Kemampuan, integritas, dan kesetiaan. Ketiganya harus menjadi satu kesatuan yang utuh. Mampu tapi tak setia dan tidak punya integritas, sangat berbahaya. Hanya setia tapi tanpa kemampuan, justru akan menambah beban dan persoalan.


LB Moerdani juga dulu mendapatkan kepercayaan sangat besar dari Presiden Soeharto. Di sisi lain, mantan Menhankam/Pangab itu juga “membayar” kesetiaan itu dengan kesetiaan tegak lurus. Setia tidak sama dengan selalu ikut dan menurut, apalagi Asal Bapak Senang (ABS), tetapi justru setulus hati menjaga dan berani mengingatkan dengan santun jika dirasa langkah yang diambil oleh pimpinan itu berbahaya. Bahwa pada akhirnya pimpinan tetap pada keputusannya, sebagai staf harus tetap menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan.


Kita yakin, itulah yang dilihat Presiden Jokowi pada diri Luhut Pandjaitan. Pak Luhut diminta mengurusi penanganan Covid-19 sebagai Wakil Ketua Tim Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional sekaligus Koordinator PPKM Jawa-Bali, memimpin Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung, dan tugas-tugas besar lainnya. Beliau tidak mungkin diserahi tanggung jawab sebesar itu jika dia tidak mampu dan loyal.


Pak Luhut memang sosok get things done, mengeksekusi penyelesaian masalah dengan cepat dan taktis. Beliau seolah sudah tahu kunci-kunci setiap masalah, dan segera melakukan koordinasi yang tepat untuk menyelesaikannya. Sebagai pimpinan tertinggi, tentu saja Presiden Joko Widodo akan menyerahkan tugas kepada orang yang terbukti mampu menyelesaikannya. Sekali lagi, keberhasilan staf adalah keberhasilan pimpinan. Demikian pula kegagalan staf adalah kegagalan pimpinan pula.     


Mengambil Teladan

Pak Luhut sendiri secara terbuka mengakui LB Moerdani sebagai role model yang dia kagumi. Kekaguman itu mulai muncul saat dirinya masih menjadi perwira menengah berpangkat mayor. Sementara Benny Moerdani sudah menjadi perwira tinggi berpangkat menjadi Letjen dan menjabat Asintel Hankam/ABRI. Meski ada perbedaan usia dan pangkat yang sangat jauh—dan sesungguhnya Luhut kadang sungkan dengan itu—Moerdani selalu minta Luhut untuk memberikan laporan kemajuan pendidikan dan kariernya.


Pak Luhut ini juga orang yang sangat bisa menempatkan diri, dan dalam beberapa kesempatan dia pun selalu mengingatkan pentingnya sikap “know one’s place” itu. Ketika dia sering dipanggil ke kantor LB Moerdani, di satu sisi tentu saja sebagai seorang perwira menengah dia bangga, tetapi di sisi lain, lama-kelamaan dia juga merasa risih. Kebanggaan dipanggil oleh Panglima ABRI berubah menjadi rasa sungkan, karena pasti banyak yang mengetahui, dan banyak pula seniornya yang tidak senang. “Mungkin juga jadi iri, seorang perwira menengah dipanggil oleh jenderal bintang empat berjam-jam,” ungkap Luhut di suatu kesempatan.


Dengan sikap penuh hormat sebagai bawahan, Luhut juga pernah memberanikan diri mengatakan agar LB Moerdani sebaiknya memanggilnya melalui atasan lansungnya di kesatuan. Benny Moerdani sendiri menjadi sangat marah diingatkan begitu. Luhut menerima kemarahan itu sebagai risiko menyampaikan hal yang dianggapnya benar. Bukan hendak menantang atau memberontak, tetapi itu justru bentuk loyalitas dia, baik kepada Benny Moerdani maupun atasannya di kesatuan.


Demikian pula ketika pasca Benny Moerdani pensiun, Luhut menyadari “karier militernya” menjadi tersendat karena dianggap sebagai “anak emasnya Benny Moerdani”. Luhut tidak pernah mengeluhkannya.


“Saya terima itu dengan besar hati. Tidak jadi Danjen Kopassus, tidak jadi Kasdam atau Pangdam; bagi saya itu harus dibayar sebagai akibat kesetiaan yang tegak lurus. Dan saya bangga mampu menjalankan nilai-nilai yang diturunkan oleh Pak Benny kepada saya,” tulis Luhut di akun media sosial miliknya.


Kariernya kembali muncul di era Gus Dur. Luhut kembali menunjukkan loyalitas tegak lurusnya, ikut timbul dan tenggelam bersama guru bangsa itu. Ketika Presiden Abdurrahman Wahid keluar dari istana, terlihat jelas, Luhut tegar dan tetap berada di sisinya. Setelah Gus Dur turun dari istana, Luhut juga lagi-lagi juga ikut terpinggir dari pusaran kekuasaan. Kembali dia terima itu sebagai konsekuensi loyalitas. Dia tidak pernah meninggalkan Presiden Abdurrahman Wahid, walau situasi politik tidak lagi berpihak kepadanya.


Tidak heran, jika tokoh yang memiliki insting politik luar biasa seperti Presiden Joko Widodo, merasa nyaman memberi kepercayaan dan tugas-tugas besar kepadanya karena Luhut Binsar Pandjaitan adalah orang yang punya kemampuan, berintegritas, dan setia tegak lurus kepada pimpinannya.


Sering kali kita hanya mempersoalkan seseorang yang bisa mendapatkan banyak tugas, posisi penting, dan kepercayaan yang besar, tetapi tidak mau menggali lebih jauh mengapa dia bisa mendapatkannya. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Pak Luhut selalu berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya, berhasil pula mengeksekusi gagasan dan kegiatannya di bidang lain. Oleh karena itu, sangat tidak mengherankan jika beliau mendapatkan posisi dan kepercayaan penting di berbagai era pemerintahan, khususnya saat ini. 


Selamat mengabdi untuk bangsa dan Negara tercinta. Salam


Penulis adalah Bupati Tapanuli Utara, 1999-2004, dan Sekda Provinsi Sumut, 2008-2010.





Post a Comment

Lebih baru Lebih lama