Fenomena Tongkat Komando

Oleh : Wiku Sapta


Ini cerita polisi 'hebat'. Di sebuah negeri yang kental adat istiadat. Karena pake tanda petik, di depan dan belakang kata Hebat, tentu artinya lain. 


Wiku Sapta

Bukan betulan hebat karena prestasi. Apalagi Presisi. Melainkan hebat lantaran heran berat. Ya saya heran berat, banget kadarnya, tentang sosok tadi. 


Heran, sebab prestasinya biasa saja. Menurut saya. Polisi manapun, diberi tongkat komando, saya yakin bisa. Meski belum bermelati tiga, pangkatnya. Fenomena.


Selain biasa saja, sosok ini seolah tenang-tenang saja. Tak gusar, walau segudang masalah mendera di jajaran petugas di bawahnya. Mulai memperkosa istri tersangka, nanduk warga sampai menganiaya. Memperburuk citra bhayangkara.


Pun menyangkut nasib warganya. Tahanan, misalnya. Kan tergolong warga juga. Warga yang butuh pembelajaran dan diberi ketegasan agar bisa berubah. Agar tak lagi menjadi 'sampah' masalah, ketika dikembalikan ke keluarganya.


Tahanan mati, salah satunya. Infonya dianiaya. Dikeroyok lebih 6 pria. Meregang nyawa di dalam markasnya. Petugasnya dimana? Saat mereka (tahanan) mencabut nyawa pelaku asusila? Tidurkah? Lalaikah?


Ini ada apa? Adakah evaluasi atas kepemimpinannya? Tak ada juga. Dia tenang-tenang saja. Slow, berkunjung kemana-mana. 


Tumbal alasan paling jitu, atas kejadian kematian itu, cuma dibebankan kepada warganya, selain anak buahnya. 


Ya, tahanan tadi tamengnya. Telah terjadi penganiayaan dalam penjara. Sehingga menyebabkan hilangnya nyawa. Kelar dong masalahnya.


Duh...semudah itu membebankannya kepada warga dan anak buahnya-yang notabene saya sebut tadi butuh ketegasan pemimpinnya!


Dia tetap tenang saja. Baik-baik saja. Apalagi, pimpinannya seolah membiarkan saja atas kelalainnya. Abai mengevaluasi dan menjatuhi sanksi tegas. 


Tak seperti biasanya. Ketegasan dan sanksi memindah memudar begitu saja. Saya rasa. Contoh; polisi hedonis naik motor mewah, langsung kena pindah. Didudukkan sebagai pelayan di markasnya. 


Istri pamer setoran arisan teman-temannya, juga divonis periksa. Kini jadi pamen biasa. Tanpa kursi dan jabatan. Begitu tegas atasannya kepada bawahannya.


Nah ini, banyak kejadian mencengangkan, tentu karena terekam kamera hape warga juga, kok dibiarin saja. 


Ah sudahlah, ini sepenggal cerita untuk sekadar membuka khasanah. Bahwa dalam perjalanan hidup kita, kualitas pembelajaran tak selamanya menjamin kita beda dengan pesaing kita.


Butuh keajaiban agar bisa berbeda.  Salah satunya, kaya raya dan selanjutnya, penentu kebijakan adalah kenalan kita. 



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama