Pilihan Rakyat Dibatasi, Parliamentary Threshold Biang Korupsi Dalam Demokrasi

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Pusat Monitoring Politik dan Hukum Indonesia (PMPHI) menilai, sistem pemilihan umum (Pemilu) dengan menganut ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) merupakan sumber dari korupsi berjemaah di Tanah Air.


Gandi Parapat

Koordinator PMPHI, Gandi Parapat mengatakan, sistem parliamentary threshold di dalam negara ini juga seakan menghalangi kebebasan bagi rakyat yang menginginkan calon pemimpin berintegritas, berkarakter, memiliki hati nurani yang selalu diinginkan masyarakat.  


"Parliamentary threshold membatasi ruang gerak masyarakat dalam menentukan calon pemimpin bangsa itu. Termasuk membatasi perwakilan rakyat untuk duduk di parlemen. Padahal, banyak tokoh yang dianggap mampu memimpin bangsa ini," ujar Gandi Parapat, Selasa (14/12/2021).


Gandi mengungkapkan, ruang gerak masyarakat dalam memilih calon pemimpin yang diinginkan sangat terbatas. Demokrasi di negeri ini hanya memberikan pilihan sesuai dengan sistem parliamentary threshold. Sistem ini ditengarai menguntungkan partai besar di negeri ini.


Parliamentary threshold hanya memberikan ruang kepada ketua umum partai untuk memimpin bangsa ini. Sementara itu, calon pemimpin lain di negeri ini, yang mumpuni namun karena tidak menakhodai partai politik (Parpol), sulit untuk dapat diusung dalam demokrasi di negeri ini. 


Saat ini, ada calon pemimpin yang layak untuk memimpin negeri ini menggantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pemilihan presiden (Pilpres) pada tahun 2024 mendatang. Namun peluang mereka untuk diusung partai politik sangat tipis. Soalnya, seluruh ketua umum partai politik besar berambisi untuk menjadi presiden.


PMPHI menganalisis, Jenderal Andika Perkasa, mantan Meneg BUMN Dahlan Iskan, mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Meneg BUMN Erick Tohir, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Kepala BIN Budi Gunawan, Mendagri Tito Karnavian, Menko Polhukam Mahfud MD dan lainnya, mempunyai potensi besar untuk membangun bangsa ini.


"Namun peluang mereka untuk memimpin bangsa ini sangat tipis karena tidak mempunyai perahu dari partai politik. Alhasil, pilihan masyarakat menjadi dibatasi. Persoalan ini juga menjadi biang keladi pemilihan kepala daerah (Pilkada), yang akhirnya menyuburkan korupsi," ungkap Gandi Parapat.


Oleh karena itu, Gandi Parapat mendukung Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri terkait parliamentary threshold menjadi 0 persen. Upaya ini dapat menekan biaya politik dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.


"Biaya politik calon kepala daerah untuk ikut pilkada sangat besar. Dana yang dikeluarkan mulai dari membeli perahu partai, sosialisasi, kampanye bahkan hingga pelaksanaan pilkada. Memiliki uang Rp 100 miliar tidak cukup untuk menjadi calon. Alhasil, setelah terpilih, kepala daerah berusaha untuk mengembalikan uang yang dikeluarkan saat pilkada. Begitu juga dengan biaya calon legislatif," pungkas Gandi.


Kategori : News

Editor     : AHS



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama