Presiden Sebut Pertumbuhan Ekonomi 7,07 Persen, Aktivis 98: Kenaikan UMP Setara 2 Bungkus Pecal

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Pertumbuhan ekonomi 7,07 persen di kuartal II tahun ini yang di klaim Presiden Joko Widodo saat pidato kenegaraan HUT Kemerdekaan RI ke - 76, dipertanyakan Aktivis 98. 


Sahat Simatupang (Dok)

Menurut Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 Sahat Simatupang, klaim pemerintah tersebut seharusnya diikuti kenaikan upah buruh yang layak.


Namun faktanya, kata Sahat, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 rata - rata nasional sebesar 1,09 persen di kisaran Rp 30 ribu hingga Rp 75 ribu.


"Kenaikan UMP 2022 hanya setara dua bungkus pecal. Ini terjadi karena Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 yang merupakan anak kandung Undang - Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 memang disain para pengusaha untuk tidak menaikkan upah buruh yang layak dengan segala argumen yang disusun pengusaha." kata Sahat Simatupang, Selasa (21/12/2021).


Merujuk PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan, ujar Sahat,  disebutkan lima poin terkait aturan upah minimun. Yaitu, upah minimum tidak turun; pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum; upah di atas upah minimum disepakati antara pengusaha dengan pekerja; upah minimum ditetapkan oleh gubernur; kenaikan upah minimum memperhitungkan pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi daerah, maka titik berat penetapan UMP bukan ditentukan pengusaha, melainkan gubernur.


"Dalam konteks ini menjadi aneh jika Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berencana menggugat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait revisi UMP 2022 sebesar 5,1 persen atau setara Rp 225 ribu dari sebelumnya 0,85 persen setara Rp 37.749 karena pertumbuhan ekonomi RI diklaim Presiden sudah 7,07 persen." ujar Sahat.


Jika Apindo menggugat aturan revisi UMP DKI Jakarta 2022 tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) didasarkan argumen PP Nomor 36 Tahun 2021dan ketentuan UMP yang tidak boleh direvisi, sambung Sahat, semakin memperjelas semangat UU Cipta Kerja sebagai alat pengusaha menekan buruh.


"Sistem perekonomian Indonesia yang berwatak kronisme dan bukan berwatak Pancasilais menjadi penyebab sistim pengupahan murah. Kepentingan pengusaha sangat dominan, sementara pemerintah sebagai regulator lebih condong menjaga investasi. Ini sangat berbahaya." pungkas Sahat. 


Tuduhan Apindo kepada Anies Baswedan melanggar regulasi pengupahan yakni PP Nomor 36 Tahun 2021 di Pasal 26 mengenai cara perhitungan upah minimum dan pasal 27 mengenai UMP, menurut Sahat, terlalu mengada - ada. Esensi kenaikan UMP setiap tahun, sambung Sahat, adalah hidup layak." Jika UMP tinggi, buruh hidup layak, konsumsi meningkat, target pertumbuhan ekonomi tercapai." ujar Sahat. 


Apalagi, sambung Sahat, Apindo menyebut revisi UMP DKI Jakarta bertentangan dengan Pasal 29 tentang waktu penetapan Upah Minimum yang selambat-lambatnya ditetapkan pada tanggal 21 November 2021." Itu semakin menegaskan bahwa pengusaha memang berniat kenaikan UMP disemua provinsi setara dua bungkus pecal." pungkas Sahat.


Kategori : News

Editor     : AHS



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama