Aktivis 98 Desak Polri Tangkap Kelompok yang Ingin Menunda Pemilu 2024

JAKARTA, suarapembaharuan.com -- Aktivis 98 yang bergabung dalam wadah Perhimpunan Pergerakan 98 mendesak Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri menangkap kelompok yang ingin menunda Pemilu 2024.


Foto Sahat Simatupang dkk (dok.I News TV)

Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 Sahat Simatupang, mengatakan, desakan aktivis 98 kepada Polri agar menindak orang yang berupaya menunda Pemilu memiliki argumentasi dan dasar hukum karena melawan Undang - Undang Nomor 7/2017 Tentang Pemilu dan Keputusan KPU Nomor Nomor 21/2022. 


Sahat mengatakan, Polri memiliki kewenangan menegakkan hukum jika ada undang - undang yang dengan sengaja dilanggar. Sebab DPR dan pemerintah, ujarnya, telah memutuskan jadwal Pemilu dan Pilpres, Rabu 14 Februari 2024. Pengesahan jadwal Pemilu dan Pilpres 2024 itu, ujar Sahat, telah dituangkan ke dalam Keputusan KPU 21/2022 tentang hari dan tanggal pemungutan suara pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai amanat Pasal 167 ayat (2) dan Pasal 347 ayat (2) UU Nomor 7/2017.


" Jadi kelompok yang berupaya menunda Pemilu telah nyata - nyata ingin menggagalkan Pemilu 2024 dengan cara melawan UU Nomor 7/2017. Polri harus menindak mereka tanpa pandang bulu." kata Sahat Simatupang, Senin (7/3/2022). Ia menambahkan, niat kelompok yang meminta penundaan Pemilu 2024 tidak bisa dianggap bahagian dari demokrasi kebebasan mengemukakan pendapat seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jumat pekan lalu.


Sahat menambahkan, tidak ada seorang pun yang bisa menjamin usulan penundaan Pemilu 2024 itu tidak akan dimanfaatkan kelompok yang ingin menggagalkan Pemilu 2024." Kami ingin mengingatkan kita semua bahwa hak kebebasan berpendapat bisa diakhiri atas dasar sesuatu yang telah disepakati bersama.Fakta hukumnya, Keputusan KPU 21/2022 yang merupakan bagian tak terpisahkan dari 573 Pasal di dalam UU Nomor 7/2017 adalah kesepakatan bersama DPR dan pemerintah menetapkan jadwal Pemilu dan Pilpres, Rabu 14 Februari 2024. Menunda Pemilu 2024 sama artinya menggagalkan Pemilu. Polri sudah bisa bertindak." ujar Sahat.


Ia mengutarakan, Pasal 22 E Undang - Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa Pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.Konstruksi UUD 1945, ujarnya, tidak memberi ruang untuk dilakukan penundaan Pemilu. Begitu juga di UU Nomor 7/2017 tidak mengenai penundaan Pemilu, melainkan Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan yang dapat terjadi karena kerusuhan, bencana alam, gangguan keamanan dan gangguan lainnya.


" Meskipun ada ruang untuk menunda tahapan melalui UU Pemilu, tapi tidak boleh menerabas UUD 1945. Karena implikasi penundaan Pemilu adalah memperpanjang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. UUD 1945 tidak mengenal perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden walau satu hari saja." kata Sahat. 


Menurut Sahat, semuanya sudah jelas, Pemilu dan Pilpres dilaksanakan, Rabu 14 Februari 2024, dan masa jabatan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin berakhir 20 Oktober 2024." Secara hukum, etik dan moral mandat rakyat kepada anggota DPR dan Presiden Joko Widodo hasil Pemilu 2019 berakhir di 2024." katanya.


Jika melalui jalan amandemen UUD 1945, Sahat mengatakan, belum ditemukan hal mendasar dan mendesak merubah Pasal 7 dan Pasal 22 E UUD 1945 saat ini." Lebih baik DPR dan Presiden Joko Widodo fokus menyelasaikan tugas masing - masing maupun tugas bersama hingga 2024." katanya.


Sebelumnya Perhimpunan Pergerakan 98 mendesak Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjauh dari isu usulan perpanjangan masa jabatan presiden seperti wacana yang disampaikan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan serta pernyataan Ketua Umum Partai Golkar yang menyebut petani di Riau meminta Airlangga Hartarto mendengarkan aspirasi memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi.


Mereka percaya Presiden Joko Widodo pemimpin yang taat konstitusi dan menghormati sejarah pembatasan masa jabatan presiden dua periode yang diperjuangkan mahasiswa melalui gerakan reformasi 98. Sehingga alasan apapun tidak bisa dipakai untuk merubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode atau menyamarkannya dengan cara memperpanjang masa jabatan presiden walau hanya satu hari tanpa landasan konstitusi. 


Jika tetap memaksakan penundaan Pemilu yang diikuti perpanjangan masa jabatan presiden tanpa landasan konstitusi, ujar Sahat, ia yakin jalanan akan dipenuhi unjuk rasa penolakan." Silahkan kalau Presiden Joko Widodo, para ketua umum partai politik dan kelompok oportunis ingin Indonesia berdarah - darah lagi. Tapi kami percaya Joko Widodo - Ma'ruf Amin tidak ingin itu terjadi." ujar Sahat menegaskan.


Kategori : News

Editor     : AHS



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama