Akademisi Sebut Masalah Netralitas Penyelenggara Pemilu Jadi Ancaman Demokrasi

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A. menyebutkan masalah netralitas penyelenggara pemilu menjadi ancaman demokrasi. Menurut Irianto, demokrasi akan rusak jika para penyelenggara pemilu tidak netral saat pelaksanaan tahapan pemilu.



Hal ini disampaikan oleh Irianto dalam diskusi bertajuk "Ancaman Demokrasi: Dinasti Politik, Netralitas Penyelenggara Pemilu dan Politisasi Yudisial" di Jakarta, Senin (11/12/2023). Diskusi yang digelar dalam rangka peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional dan Hari Anti Korupsi merupakan kerjasama koalisi masyarakat sipil kawal pemilu demokratis dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.


"Hal yang kita hadapi hari ini, yang curang adalah penyelenggara negara karena dia juga kontestan di dalam pemilu. Jadi yang dikatakan netral, netral itu tidak ada, yang dikatakan A menjadi B, yang dikatakan C menjadi D," ujar Irianto.


"Mahkamah Konstitusi yang diperjuangkan selama ini tidak lagi jadi sakral akhirnya. Kemudian semua perangkat negara dari militer, polisi sampai perangkat desa, netralitas adalah omong kosong," kata Irianto menambahkan.



Irianto mengungkapkan yang diperjuangkan dalam negara hukum adalah supremasi hukum. Hal ini berarti, setiap tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara harus didasarkan pada hukum.


"Jadi bukan sebaliknya, penyelenggara negara mau apa baru hukumnya dibuat. Itu dasarnya setiap orang berkedudukan sama di depan hukum, tujuannya untuk memberi perlindungan pada warga negara dari kesewenang-wenangan dari penguasa," tandas dia.


Irianto mengatakan, buah dari reformasi telah melahirkan lembaga-lembaga penguat demokrasi, seperti MK, Ombudsman, Komisi Yudisial, Kompolnas, Komisi Kejaksaan, dan lain-lain. Hal tersebut karena masyarakat Indonesia saat itu tidak percaya polisi, tidak percaya hakim, tidak percaya jaksa. 



"Sekarang kita menjadi heran bagaimana kita perjuangkan 25 tahun yang lalu bisa dipakai begitu saja hanya untuk kepentingan politik pragmatis," tutur dia.


Apalagi, kata Irianto, seniman seperti Butet Kartaredjasa dan teman-temannya (seniman) diintimidasi karena melakukan kanalisasi dari sekolah-sekolah rakyat. 


"Orang-orang seniman, budayawan hanya menyampaikan dalam bentuk seni, masa hal tersebut dianggap mengancam. Dalam konstitusi, hak mengembangkan kebudayaan adalah hak konstitusional, hak dasar. Negara tidak boleh menderogasi hak dasar tersebut,x pungkas Irianto.


Kategori : News


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama