Melawan Para Pembunuh Demokrasi (Dalam Rangka Peringatan Hari HAM dan Hari Antikorupsi)

Oleh: Sukidi (Cendikiawan)


JAKARTA, suarapembaharuan.com - Kita di sini, hari ini adalah untuk melawan mereka yang ingin membunuh demokrasi di negara ini, against those who wants to kill our democracy. Saya sendiri pernah terkungkung rasa takut terutama pada masa-masa akhir studi saya di Harvard, saat menulis disertasi, ketakutan karena demokrasi yang sedemikian mapan di Amerika, yang usianya sudah ratusan tahun dan begitu well established, mungkin salah satu demokrasi yang stabil di dunia, berhasil dirusak, berhasil dibunuh, secara pelan-pelan oleh apa yang tradisi di Amerika disebut sebagai The American Machiavelli. 


Ilustrasi

The American Machiavelli ini bernama Donald Trump. Buat saya Donald Trump ini adalah figur sempurna dari seorang penguasa yang Machiavellian, yang menggunakan politik dan kekuasaan dengan cara-cara yang brutal, bahkan telah menampilkan dirinya sebagai figur yang begitu didambakan oleh Machiavelli, pemimpin yang ditakuti. Trump juga mengenal apa yang dikenal di Amerika sebagai politic of fear, politik ketakutan. 


Para imigran takut untuk dideportasi, para Muslim di Amerika takut untuk didiskriminasi dan ketakutan lainnya. Saya mengalami fase di mana Amerika memiliki figur yang bagus soal demokrasi yaitu Presiden Obama dan saya juga mengalami fase di mana Amerika memiliki figur yang buruk soal demokrasi yaitu presiden Donald Trump. 


Amerika yang sudah memiliki pengalaman ratusan tahun dengan demokrasi yang mapan, dengan institusi demokrasi yang mapan, dengan hukum yang relatif sudah bagus, itu pun mengalami satu situasi di mana demokrasi di Amerika mengalami yang disebut sebagai democratic backsliding. Inilah yang akhir-akhir ini kita rasakan juga di Indonesia.


Saya merasakan republik ini berada dalam era resesi dan kemerosotan demokrasi. Demokrasi kita sedang dibunuh secara perlahan, secara gradual, dan secara sistematis, terutama oleh para penguasa Machiavellian yang mempraktekkan kekuasaan dan politik secara brutal melalui instrumen Konstitusi, melalui instrumen hukum, melalui pelemahan instrumen demokrasi lainnya. Dan juga yang tak kalah pentingnya adalah dirubahnya negara hukum menjadi negara kekuasaan. Saya ingin memulai dengan satu figure yang saya tulis di kolom Tempo, representasi terbaik dari Machiavellian Ruler adalah The Javanese Machieveliian. 


The Javanese Machieveliian ini membunuh pondasi demokrasi melalui moralitas yang dirobek-robek. Jadi, pondasi moral dan etika itu dirobek di dalam demokrasi. Kenapa? karena Machiavelli Jawa ini percaya bahwa politik dan kekuasaan itu punya yang disebut sebagai kebenaran efektif, politik Machiavelli tidak percaya bahwa dia hidup dalam dunia yang imajiner, yang ideal.


Ada tiga nasehat yang diberikan oleh Machiavelli kepada the prince atau sang pangeran. Pertama adalah pangeran harus bisa menjadi seorang hipokrit dan pembohong, seperti yang disampaikan oleh Al tadi to be great hipokrit and liar. 


Nasehat kedua adalah seorang pangeran untuk mencapai hal-hal besar dia harus belajar untuk menipu. Dan ke tiga, penguasa never like legitimate a reason to break his promise. Tapi yang mengejutkan saya, nasihat ini yang sudah disampaikan lebih dari 500 tahun yang lalu, yang menginspirasi seorang Profesor di Chicago untuk menyebut Machiavelli sebagai a teacher of evil, guru kejahatan. 


Machiavelli dilarang bukunya di Italia karena mengajarkan brutalitas di dalam kekuasaan itu sendiri. Meskipun Machiavelli di Florence, Itali sana, tetapi saya melihat bahwa nasihat-nasihat Machiavelli ini hidup dalam politik kita, pembunuh utama demokrasi kita, atau yang kita sebut Machiavellian ruler.


Itulah yang terjadi dalam politik kita hari ini. Untuk pertama kalinya Machiavelli Jawa melepaskan etika dan moral dari pertarungan kekuasaan itu sendiri, dari etika dan moral bangsa, kekuasaan menjadi brutal. Saya ingin menyebut bahwa salah satu instrumen yang digunakan oleh penguasa Machiavelli adalah melalui instrumen hukum. Di sini demokrasi dibunuh, ditelekung melalui instrumen hukum, instrumen Konstitusi. Untuk memberikan legitimasi kepada penguasa agar ambisi politik terpenuhi. Demokrasi kita mengalami kemunduran terutama melalui penelikungan dan manipulasi hukum itu sendiri dan ini membahayakan sekali karena kita baru merasakannya sekarang. 


Kenapa kita baru sadar sekarang ketika perjalanan bangsa sudah begitu panjang, karena kita tertipu dengan topeng kerakyatan, topeng kebohongan, topeng yang diperagakan sedemikian halus, sedemikian kasat mata, yang membuat kita tidak bisa begitu melihat dengan jernih sebenarnya apa yang terjadi. Yang terjadi hari ini adalah kekuasaan dipertahankan melalui suatu pertempuran yang begitu brutal. Atas nama gotong-royong, kelompok oposisi diberangus, ditarik ke kekuasaan sehingga ruang gerak oposisi menjadi semakin sempit. 


Ini memberikan ruang kekuasaan berjalan tanpa check and balances. Kekuasaan berjalan tanpa kontrol dan kritik. Karena seluruh kekuatan baik dari oposisi termasuk masyarakat sipil ditarik pada lingkaran kekuasaan. Yang kita harapkan dari masyarakat kampus ternyata tidak terjadi. Kampus tidak lebih menjadi tempat yang sunyi tak ubahnya seperti kuburan. Kelompok-kelompok masyarakat sipil juga dibungkam dengan berbagai macam cara.


Yang terjadi hari ini adalah negara hukum sudah di robek-robek menjadi negara dengan pendekatan kekuasaan. Kekuasaan menjadi instrumen utama untuk menentukan segalanya. Bisa kita cek satu persatu seluruh institusi hukum sudah dilemahkan. Ini terjadi dalam sejarah Indonesia modern di mana seluruh institusi hukum dikendalikan oleh orang-orang yang bermasalah secara moral, orang-orang yang di Amerika disebut sebagai American kakistocracy. 


Indonesia kakistocracy adalah the worst government by the worst people, pemerintah terburuk oleh orang-orang yang secara moral juga paling buruk diantara kita. Sekarang di dunia hukum kita saksikan ketua KPK menjadi tersangka, lembaga hukum lain juga seperti MK. Tatanan nilai moral dan etika menjadi jungkir balik karena pendekatan Machiavellian yang memperlakukan kekuasaan dan politik memang diraih dan dipertahankan dengan cara kelicikan, dengan cara immoral, dengan cara kemunafikan. 


Saat ini kita hanya memiliki demokrasi di atas kertas, kita hanya memiliki konstitusi juga di atas kertas, kita tidak punya demokrasi dan konstitusi yang substansial hidup di masyarakat. Pemilu memang di depan mata, netralitas diteriakkan di mana-mana. Tetapi saya tidak percaya bahwa Pemilu akan berjalan secara Netral. Apakah ada yang percaya Pemilu akan berjalan secara Netral?. 


Demokrasi dibunuh secara pelan, secara gradual, secara sistematis, tetapi kita baru menyadarinya sekarang. Negara hukum dirobek-robek menjadi negara kekuasaan. Republik untuk semua menjadi Republik untuk melayani kepentingan satu orang, satu keluarga, satu golongan, dan yang terakhir adalah masyarakat sipil begitu dipinggirkan, dan ini berjalan begitu halus karena ini dijalankan dengan topeng kekuasaan dan topeng kerakyatan.


Kategori : News


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama