Pendidikan Tinggi, Pilar yang Harus Dibangkitkan

Oleh: Shilva Lioni

Dosen Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas


Dalam beberapa waktu lalu kita baru saja memperingati hari pendidikan nasional dan juga hari kebangkitan nasional. Bulan Mei menjadi ruang refleksi bagi bangsa melalui dua peringatan hari besar tersebut. Dua hari ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan pengingat akan pentingnya pendidikan sebagai fondasi kemajuan bangsa. Namun pertanyaannya, apakah pendidikan tinggi sebagai pilar tertinggi dalam sistem pendidikan sudah benar-benar menjadi kekuatan pembangkit bangsa?


Shilva Lioni

Permasalahan terkait pendidikan nampaknya masih menyisakan banyak ruang untuk berbenah diri. Mulai dari kehadiran AI tanpa kebijaksanaan yang menghadirkan berbagai tindak kriminal plagiarisme dalam dunia akademik, kehadiran joki dalam praktik ruang perkuliahan, kurangnya media untuk berpikir kritis, kehadiran ijazah palsu, hingga tidak sejahtera nya para pendidik yang mengharuskan mereka membagi fokus dengan bekerja paruh waktu yakni melakukan pekerjaan ganda hingga bahkan terlilit pinjaman online.


Pendidikan semestinya memiliki fungsi sebagai wadah untuk berkembang dan bertumbuhnya ilmu pengetahuan, tempat lahirnya para peneliti dan pemikir, dan menjadi benteng pelindung ilmu, masyarakat, dan negara. Melindungi dalam hal ini yakni melindungi anak bangsa dari kebodohan, melindungi ilmu dari segala bentuk kecurangan, melindungi negara dengan berbagai inovasi dan pengetahuan yang dihasilkan, serta melindungi berbagai pihak dari intervensi kejahatan pikiran dan logika. Pendidikan tinggi seharusnya menjadi sebuah lembaga independen terlepas dari intervensi manapun, mampu menghargai posisinya sebagai ujung tombak tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan, integritas, dan idealisme. 


Namun sungguh disayangkan, bertolak dari berbagai permasalahan yang hadir, peran dan posisi pendidikan tinggi dewasa ini seakan menjadi kehilangan arah. Kampus yang diharapkan diisi oleh orang-orang pintar, berintegritas, dan memiliki sistem dan akar yang kuat, menjadi benteng bagi mereka yang lemah dan tidak tahu apa-apa seakan roboh. Budaya intelektual melemah, krisis moral meningkat, beban kerja berlebih, kesejahteraan dosen minim, serta etika akademik dipertanyakan.


Tak sedikit kampus yang megah secara fisik, tapi rapuh secara internal dan moral. Kasus-kasus kekerasan seksual, intoleransi, plagiarisme, dan budaya senioritas yang toksik menjadi potret buram dari krisis karakter yang menggerogoti dunia akademik. Mahasiswa yang seharusnya menjadi motor perubahan justru sering terjebak dalam sistem yang membungkam idealisme mereka. Budaya berpikir kritis justru makin menghilang dari ruang-ruang kuliah. Mahasiswa saat ini seakan lebih fokus mengejar nilai dan lulus cepat daripada mengejar makna dan kebenaran. Lebih jauh, tidak hanya itu, minimnya riset bermutu juga turut menandakan lemahnya budaya intelektual di kampus, yang diperparah oleh minimnya kesejahteraan, sistem birokratis, dan beban administratif yang menyita energi dosen padahal salah satu indikator kualitas perguruan tinggi adalah produktivitas riset. 


Ini adalah ironi di bulan kebangkitan ketika seharusnya ilmu menjadi kekuatan, para pendidik bahkan justru masih sibuk dengan mencari penghasilan tambahan, urusan administrasi, dan laporan kehadiran. Kita butuh kampus yang merdeka secara pikiran, terbuka secara budaya, dan adil dalam memberikan akses dan hak. Butuh dosen yang tidak sekadar mengajar, tetapi menginspirasi. Kita butuh mahasiswa yang tidak sekadar mengejar ijazah, tetapi memperjuangkan perubahan. 


Pendidikan tinggi bukan sekadar bangunan fisik, melainkan pilar hidup yang menopang masa depan bangsa. Sudah saatnya kita bangkitkan kembali pilar ini namun bukan dengan seremoni, tapi dengan keberanian untuk berbenah. Momen hari pendidikan nasional dan hari kebangkitan nasional seharusnya menjadi panggilan. 


Kita membutuhkan transformasi menyeluruh seperti kurikulum yang adaptif, riset yang berdampak, dosen yang dihargai, mahasiswa yang diberdayakan, dan kampus yang menjadi ruang aman untuk berpikir bebas dan bertumbuh. Karena seperti yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”. Sama halnya seperti semangat kebangkitan yang diwariskan tokoh-tokoh pergerakan nasional, kita harus ingat tidak ada kebangkitan tanpa kesadaran, dan tidak ada kemajuan tanpa pendidikan yang merdeka dan manusiawi.


Kategori : News


Editor     : AHS

1 Komentar

  1. Berharap pendidikan tinggi terus dibenahi untuk generasi ke depan yang lebih cerdas, maju, dan bermoral.

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama