JAKARTA, suarapembaharuan.com - Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus menyesalkan sikap aparat penegak hukum di Sumatera Utara (Sumut) yang dinilai kurang peka dalam menangani kasus dugaan penjualan tanah eks HGU PTPN II yang nota bene milik negara namun dibiarkan dikuasai oleh konglomerasi.
![]() |
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus. Ist |
Iskandar menilai, ada dua kubu dalam hukum di daerah itu. "Kita yaitu rakyat yang mencuri singkong langsung ditangkap, dan konglomerat yang merampok tanah negara malah disambut karpet merah," tegas Iskandar Sitorus kepada wartawan, Minggu (8/6/2025).
Iskandar mengungkapkan, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid sudah terang-terangan menyatakan bahwa tanah eks-HGU PTPN II adalah tanah negara bebas. "Justru Citraland dan kroni BUMN seperti PTPN II dan anak usahanya PT PEN2 makin galak membangun pagar, menjual rumah, dan mengangkangi ribuan hektare lahan yang seharusnya jadi bagian dari reforma agraria rakyat" ungkap Iskandar.
Aktivis Iskandar mempertanyakan keberadaan polisi maupun kejaksaan di daerah tersebut yang seharusnya menjadi panglima dalam penegakan hukum. "Lalu di mana polisi dan jaksa?
Mati suri. Tak ada tanda-tanda kehidupan hukum di sana. Kalau bukan Kejagung dan Kapolri, siapa lagi? Masa ke Hansip?," tanya Iskandar lagi.
Iskandar menilai, kehadiran aparat penegak hukum di daerah tersebut, terkesan seperti tak ada gunanya. Sebaliknya, keberadaan institusi penegak hukum di sana terkesan seperti “dekorasi hukum" di daerah tersebut. "Aparat di Sumut seolah telah menyerah atau disandera kepentingan," tanya Iskandar.
Iskandar mendorong Kejaksaan Agung dan Kapolri untuk menaruh perhatian untuk kasus penjualan lahan eks PTPN II tersebut. "Jaksa Agung dan Kapolri diminta jangan diam terus. Jika pusat hukum negara tak bergerak, maka legitimasi negara akan hancur oleh ketamakan swasta dan kelumpuhan daerah. Apakah negara kalah melawan perusahaan real estate," tanya Iskandar lagi.
Iskandar mengungkap audit bicara dan fakta lelanjang dalam perkara tersebut antara lain :
1. Rp29–Rp40 triliun area tanah yang tak dihapus dari neraca Kemenkeu.
2. Rp8,27 miliar success fee tanpa kontrak, terindikasi gratifikasi.
3. Rp3,4 triliun per tahun skema bagi hasil yang berat sebelah.
4. Total potensi nilai pasar tanah 5.000 hektare dikisaran Rp4.711 (empat ribu tujuh ratus sebelas) triliun.
"Bayangkan itu jika diberikan ke rakyat. Tapi hari ini? Justru dijual ke kalangan atas sambil polisi dan jaksa berdiri menonton," tudingnya.
Tegakkan pasal, jangan bungkam!
Iskandar menyebutkan, bahwa di negara ini peraturan itu ada. Namun yang tidak ada adalah kemauan untuk menerapkannya berupa :
1. UU Tipikor pasal 2, 3, dan 18: Ada penyalahgunaan wewenang, perbuatan memperkaya diri, dan wajib sita hasil kejahatan.
2. KUHP Pasal 55 sebut semua yang terlibat ikut bertanggung jawab.
3. UUPA dan PP 18/2021 katakan bahwa tanah ex-HGU yang tak diperpanjang kembali otomatis menjadi tanah negara.
*Sindiran terbuka*
“Kalau aparat hukum sudah tahu tapi tetap diam, maka mereka bukan hanya lalai, tetapi sah ikut serta dalam penghilangan aset negara. Jika jaksa dan polisi daerah membisu, maka panggil yang di pusat untuk bicara.” paparnya.
Iskandar memaparkan tuntutan rakyat dalam menyikapi persoalan itu antara lain :
1. Kejaksaan Agung dan Kapolri ambil alih kasus mafia tanah Citraland–PTPN II.
2. Penyitaan aset proyek perumahan di atas tanah negara.
3. Penelusuran aliran dana ke pejabat yang sudah ‘terbeli’.
Disebutkan, negara ini sedang diuji. "Apakah hukum masih hidup, atau sekadar dekorasi mewah di gedung-gedung kejaksaan dan kantor polisi? Dan khusus untuk Kejaksaan Agung: Tentukan pilihan. Gunakan kekuasaan hukum, atau izinkan negeri ini dikencingi oleh para mafia tanah," sebutnya.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar